Negara Memblé, kalau Pemimpinnya Suka Berdiam Diri (2)

0
1,030 views

[media-credit name=”Google” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]DARI forum diskusi terbuka di Unika Atma Jaya Jakarta, 12 Agustus 2011 lalu, J.Kristiadi menggulirkan gagasan menarik. Menurut pengamat politik senior CSIS, di khasanah masyarakat Indonesia sekarang ini sudah banyak bertebaran gagasan-gagasan yang cemerlang sekaligus baik. “Itu yang perlu diakomodasi oleh partai-partai politik,” ungkapnya pada forum diskusi bertajuk Revitalisasi Kepemimpinan Nasional.

Mengapa harus partai politik?

Menurut J. Kristiadi, parpol memanglah sebuah badan politik sekaligus merupakan sumber pemegang kekuasaan. Parpol punya kewajiban moral mendidik orang agar bisa berpolitik dengan santun, cerdas, dan bermoral. “Perlu dibuat aturan yang jelas agar pikiran-pikiran yang tersebar di masyarakat itu bisa dimanfaatkan oleh mereka yang terpilih menjadi pemimpin dan wakil rakyat,” papar J. Kristiadi.

[media-credit name=”Google” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]Negara tidak “hadir”

Namun teramat sayang, lanjut J. Kristiadi, di banyak kesempatan atau malah saat krisis nasional justru negara sering kali tidak “hadir”. Ini sebuah dilema politik yang mestinya segera diakhiri.

Seorang pemimpin nasional mestinya tahu kalau “diam” itu tidak berarti “emas”, melainkan justru memicu kerancuan. Diamnya seorang pemimpin justru membuka ruang bagi para bawahannya untuk tidak bergerak alias tidak melakukan apa-apa.

“Sebenarnya pemimpin nasional kita sudah tahu dan ikut prihatin menyaksikan banyak instruksi-instruksinya hanya diikuti oleh 50 % saja. Tapi ya itu tadi, yang kita sangat prihatinkan adalah mengapa sebagai pemimpin pun dia juga tidak berbuat apa-apa,” kata J. Kristiadi.

Negara bisa memblé, bila pemimpinnya hanya suka berdiam diri. Karena itu, tandasnya, harus ada aturan jelas yang mengontrol kinerja pemimpin nasional. “DPR perlu menyusun undang-undang politik yang mengatur secara jelas tentang sistem politik kita, dana politik, tatanan pemerintahan, kedaulatan pangan, keamanan, dan masih banyak lagi,”papar J. Kristiadi. “Interkoneksi antar undang-undang pun juga perlu dibuat lebih jelas dan gamblang,” tandas alumnus Kolese de Britto Yogyakarta ini.

Lantas kita bisa berbuat apa sekarang? Menurut dia, kita perlu menggalang kekuatan dengan semua pihak yang bisa mendorong Presiden dan DPR bersedia menyusun UU yang mengatur kekuasaan. “Kepimimpinan nasional diharapkan agar pertama-tama bisa mewujudkan isi kebijakannya yang berguna bagi semua orang,” jawabnya.

“Yang kita butuhkan adalah karakter seseorang yang mampu menggalang kekuatan untuk mendukung kebijakan pro-rakyat tersebut sehingga bisa diimplementasikan dengan mulus,” tandas J. Kristiadi. (Selesai)

Royani Lim, bekerja di lembaga nirlaba di Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here