Orang Harus Mati Secara Bermartabat

0
1,994 views

ACAPKALI kita melihat dan mendengar, manusia yang sudah “saatnya meninggal” dicoba untuk “dibuat hidup terus”. Teknologi kedokteran yang semakin canggih kiranya telah memungkinkan hal itu.

Manusia tetaplah seorang manusia yang memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mati secara layak. Oleh karenanya, usaha mempertahankan hidup seseorang yang seharusnya sudah berada pada taraf kematian berarti tidak hormat pada hak orang  untuk mati secara manusiawi.

Kita tidak bisa mengontrol kekuasaan Tuhan atas kematian manusia. Kematian merupakan titik keberangkatan pada hidup kekal. Oleh karenanya, dokter sebisa mungkin menyembuhkan pasien, tetapi tidak boleh menunda kematian. Pasien yang bersangkutan sendirilah yang punya i hak menolak perpanjangan hidup. Ia tidak boleh dijauhkan dari kontak-kontak manusiawi, khususnya menjelang datangnya ajal.

Mati bermartabat

Bagaimanakah ceritanya agar bisa mati secara kristiani dan bermartabat?

Ajaran kristiani mengatakan, ketika kematian datang orang hendaknya tidak memberontak atau malah menolak datangnya ajal itu, melainkan bersedia menghadapinya dengan ihklas dan tenang. Ini karena memang sudah waktunya…

 

Yesus  yang tidak gentar menghadapi kematian memberi teladan nyata bagaimana sebaiknya kita –umat katolik—menyikapi peristiwa kematin. Jangan meresponnya dengan ketakutan, justru karena tetap meyakini  cinta Tuhan tetap menyertai orang yang tengah menjalani proses lelaku ini.

Meninggal secara bermartabat dalam bingkai iman kristiani berarti menyikapi lelaku kehidupan itu dengan perasaan penuh syukur. Rasa syukur ini adalah  antisipasi terhadap hidup abadi yang akan memanggil kita agar senantiasa memelihara hidup fana ini agar senantiasa bermakna.

Tidak seperti Filsuf Perancis Jean-Paul Sartre yang melihat kematian sebagai absurditas yang menghancurkan kehidupan. Pun pula pandangan Epikuros (pandangan atomis) yang menyatakan kematian merupakan akhir segala-galanya. Teolog katolik Prof Hans Küng  mengatakan,  kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan dan gelap karena cinta Tuhan hadir dalam situasi seperti itu.

Sumber: Hans Kung, Eternal Life?, Collins Publishers: London (1984), hlm. 187-218.

Mispan Indarjo, bekerja di sebuah lembaga internasional di Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here