“Paras Teologi Rakyat” ; Ambruknya Teologi Istana (2)

1
1,304 views

Dalam percakapan sehari-hari teologi istana masih menjadi istilah asing yang masih mencari tempat untuk menjadi kosa kata sehari-hari kita. Dari perilaku penganutnya terutama di ranah ekonomi dan politik, penulis melukis sketsanya. Dalam tulisan ini, teologi rakyat adalah kontras dari teologi istana.

Teologi rakyat popularitasnya masih rendah di kalangan masyarakat luas karena para teolog istana melekatkannya dengan perlawanan, bahkan subversi terhadap negara. Pelukisan paras teologi rakyat, sebagaimana teologi pembebasan, harapannya menghantar pembaca kepada bela rasa dengan rakyat yang dimiskinkan dan ditindas yang menjadi hati teologi ini.

Pelukisan teologi rakyat harapannya membantu pembaca untuk melukis sketsa teologi istana dalam konteks Indonesia. Teologi rakyat ruang hidupnya diantara komunitas korban-penyintas dan kemudian mereka yang berpihak pada perjuangan untuk keadilan korban. Sebagaimana teologi pembebasan, ia pertama-tama aksi liberatif.  Teolog istana menghalangi ruang hidupnya secara sistematis dengan melabeli teologi rakyat sebagai terlarang.

Paras teologi kerakyatan menyingkap dalam perjumpaan dengan korban-penyintas dan pembacaan narasi mereka. Teolog utamanya korban-penyintas yang mengisahkan penderitaan dan memperjuangkan keadilan korban demi pemartabatan Indonesia. Tata bahasanya sederhana. Kosa katanya lahir dari pergumulan rakyat yang membela kesucian kehidupan dari ancaman kematian paksa secara prematur. Aksi diam, puasa, dan jahit mulut menjadi bahasa simbolis teologi rakyat. Kisah-kisah kemanusiaan mereka secara tersirat melukis narasi-narasi akan Allah.

Sebagaimana rahim, kisah-kisah kemanusiaan mengandung narasi-narasi akan Allah. Petinggi negara seringkali menyepelekan rakyat sebagai yang miskin pengetahuan, bahkan buta politik.  Pejabat agama pun seringkali memandang para teolog rakyat ini minim pengetahuannya, bahkan buta agama. Mereka insignifikan baik dihadapan pejabat negara maupun negara. Para penguasa ini enggan, bahkan menolak mendengarkan kisah rakyat yang berpeluh darah ini.

Keberanian korban-penyintas dan dukungan pembela rasa mereka menyeruakkan narasi korban-penyintas ke ruang publik. Selain kisah lisan, mereka melihat kemendesakan mengisahkan kesaksiannya dalam tulisan sebagai kenangan bersama. Para pembela rasa korban-penyintas menuangkan kisah-kisah korban-penyintas dalam beragam ekspresi, seperti lagu, lukisan, drama, dan film dokumenter.

Sebagian korban-penyintas membutuhkan tangan orang lain untuk mengisahkan penderitaan dan perjuangannya. Sebagaimana dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia terakhir, kebenaran tragedi disangkal dan dakwaan hukum terhadap pelanggaran kemanusiaan terhadap rakyat yang tak bersalah digugurkan pelaku.

Korban-penyintas dan keluarga korban terlibat dalam revisi pembelajaran sejarah yang menyertakan para korban tragedi kemanusiaan di dalamnya. Tantangannya, penyingkapan kebenaran tragedi kemanusiaan oleh korban-penyintas dan pembelanya berhadapan dengan mereka yang menjadi alamat telunjuk korban-penyintas dan pembelanya yang menyangkal kebenaran tragedi sebagai kebohongan.

Aparat negara, termasuk hukum, bahkan pascareformasi belum menunjukkan kesungguhannya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Dalam ranah ekonomi, tangan negara berubah menjadi tangan gurita yang mencekik leher rakyat. Istana meluntur simbolisasinya, tinggal pencitraan politiknya sebagai ruang kerja pemimpin rakyat. Alih-alih semakin memusatkan perhatian pada rakyat, aparat negara kehilangan fokus dalam mengemudikan bahtera negara.

Rakyat kemudian menjadi ancaman yang harus diblokade setiap kali pejabat negara mengunjungi wilayah kepemimpinannya. Rakyat menanggapi lawatan mereka bukan dengan tangan terbuka, melainkan dengan tangan terkepal. Dalam bahasa rakyat, Istana semakin kehilangan rakyat sebagai fondasinya dan tinggal menunggu waktu keambrukannya. Meminjam bahasa Kitab Suci Kristiani, Istana demikian dibangun ‘di atas pasir,’ bukan ‘di atas batu.’

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah [yang didirikan di atas pasir] itu dan hebatlah kerusakannya.[10]

bersambung

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here