Paroki St. Odilia – Bandung: Komunikasi tanpa Kekerasan, Membangun Peradaban Kasih

0
970 views
Seminar komunikasi tanpa kekerasan bersama Romo Macarius Maharsono Probho SJ di Paroki St. Odilia Cicadas, Bandung. (Anastasia Cakunani)

BAGAIMANA rasanya ketika kita berbicara tidak ada yang memperhatikan dan mendengarkan, atau ketika kita berbicara dengan orang namun ia malah sibuk dengan HP atau asik dengan hal-hal lain ? Tentu orang tersebut akan merasa jengkel, marah, merasa dilecehkan, tidak diterima, dan berbagai perasaan negatif lainnya.

Sebaliknya ketika kita berbicara dan orang lain mendengarkan dengan penuh kesungguhan, menatap dengan penuh perhatian, maka kita akan merasa senang, merasa diterima, dihargai, dicintai, dan berbagai perasaan positif lainnya.

Demikianlah salah satu pelajaran yang dapat diambil dalam Seminar Keluarga (20/5/2017) dengan topik “Komunikasi Tanpa Kekerasan” yang diselenggarakan oleh Panitia HUT ke-80 Paroki St. Odilia Cicadas Bandung.

Seminar ini menghadirkan pembicara Rm. Macarius Maharsono Probho SJ, yang saat ini menjabat sebagai Pastur Kepala di Paroki St. Antonius Kotabaru Yogyakarta. Selama 20 tahun tahun, Romo Mahar asal Bedono – Ambarawa ini menjadi  imam misionaris Jesuit di Thailand.

Presentasi Romo Maharsono, pastor Jesuit IIndonesia yang selama 20 tahun  menjadi imam misionaris di Thailand. (Anastasia Cakunani)

Kekerasan menjadi menu keseharian

Kekerasan akhir-akhir ini menjadi semakin biasa kita lihat. Disadari atau tidak, kekerasan sudah menjadi keseharian hidup kita, ditambah lagi dengan berbagai macam peristiwa seperti peperangan, konflik antar suku dan agama, perebutan kekuasaan, pemaksaan kehendak dan masih banyak lagi.

Kekerasan juga terjadi dalam lingkup terkecil, yaitu keluarga, dalam bentuk kekerasan fisik, non-fisik (psikis), verbal (kata-kata) dan non verbal. Kekerasan dalam keluarga dapat menimbulkan berbagai macam konflik yang mempengaruhi keharmonisan serta keutuhan keluarga.

Komunikasi tanpa Kekerasan (Non Violent Communication – NVC) adalah salah satu bentuk komunikasi yang mendasarkan pada cinta kasih, empati, keterbukaan, dan saling pengertian.

Para peserta menyimak presentasi seminar tentang komunikasi tanpa kekerasan bersama Romo Marhasono SJ. (Anastasia Cakunani)

 Empat tahap dalam “Komunikasi Tanpa Kekerasan” yaitu:

  • Pengamatan (observation): Mengamati fakta-fakta , yaitu apa yang dilihat, didengar, diingat, dibayangkan,atau disentuh yang bukan merupakan suatu evaluasi, tetapi lebih spesifik pada waktu dan konteksnya.
  • Perasaan (feelings): Merupakan emosi atau perasaan yang muncul terkait dengan apa yang telah diamati. Perasaan disini lebih mencerminkan apakah kebutuhan kita terpenuhi atau tidak. Mengidentifikasi perasaan membuat kita lebih mudah berhubungan satu dengan lainnya.
  • Kebutuhan (needs): Kebutuhan atau nilai-nilai universal seseorang, bukan merupakan kesukaan atau tindakan tertentu. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan, yang apabila terpenuhi /tidak terpenuhi, dapat mengakibatkan munculnya perasaan tertentu.
  • Permintaan (request): Meminta kepada pihak lain untuk melakukan  tindakan tertentu, tanpa menuntut atau memaksa. Permintaan tersebut membuat seseorang harus mau menerima jawaban “tidak”. Permintaan dikatakan dengan bahasa yang jelas, positif, dan aksi yang konkret, yang dapat memperkaya hidupnya.

Dalam mengidentifikasi ‘perasaan’ dan ‘kebutuhan’, peserta diajak bermain dengan ‘Kartu Perasaan’ dan ‘Kartu Kebutuhan’. Permainan ini terjadi dalam sharing kelompok sehingga mereka dapat dengan mudah menemukan perasaannya, sementara teman-teman dalam kelompok membantu untuk mengenali kebutuhannya.

Bentuk komunikasi tanpa kekerasan selanjutnya dipraktikkan dalam bentuk drama. Masing-masing kelompok menampilkan suatu adegan dimana terjadi ‘komunikasi tanpa kekerasan’. Sambil melihat adegan drama ini peserta diajak untuk mengamati perasaan orang lain, kebutuhan, dan cara-cara menyampaikan permintaan kepada orang lain.

Non-kekerasan

Pelajaran tentang ‘non-kekerasan’ juga disampaikan Rm. Maharsono SJ dalam peragaan dengan tepung jagung.  Peserta dapat mengambil makna dan belajar dari tepung jagung yang diberi air, ketika kita berusaha dengan sekuat tenaga memaksakan kemauan kita,maka justru akan mendapatkan perlawanan kuat dari pihak lain. Sebaliknya jika melakukan  dengan kelembutan dan tanpa kekerasan maka pihak lain justru akan menerimanya.

Bentuk-bentuk penyampaian kinestetik yang disampaikan oleh Rm. Maharsono SJ dalam seminar ini sungguh membuat peserta tidak merasa jenuh dan dapat lebih meresapi maknanya .

Membangun ‘komunikasi tanpa kekerasan’ adalah membangun ‘Budaya Kasih’, dan itu selalu dimulai dari Allah sendiri. Kedamaian dapat diciptakan mulai dari diri sendiri yaitu ketika kita dapat menjadi pribadi tanpa kekerasan, yang selalu memancarkan kasih dan kebaikan bagi orang-orang di sekitar kita.

Pada bagian akhir, Rm. Maharsono, SJ mengajarkan ‘Doa Berkat’ yaitu dengan menyebutkan satu nama dalam satu tarikan nafas, dan kemudian mengucapkan satu kata berkat dalam hembusan nafas keluar. Melalui doa ini kita bisa saling memberikan berkat yang akan menciptakan kedamaian dan keadilan bagi banyak orang.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here