Pelantikan dan Dies Natalis ISKA

0
384 views
Dies Natalis ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) di Aula KWI. (Royani Lim)

POLITISASI perbedaan membuat terjadinya polarisasi di masyarakat. Perbedaan SARA yang dipolitisasi memicu konflik di tanahair dan menjadi ancaman perpecahan bangsa. Menjadi tugas seluruh elemen masyarakat – termasuk ISKA – untuk mencari jalan keluar dari masalah yang tidak bisa dipandang sebelah mata ini.

Demikian ungkap Hargo, Ketua baru ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) periode 2017-2021 membuka acara dies natalis ISKA ke-59 di Gedung KWI, Jl. Cut Meutia (29/5). Hargo dan jajaran kepengurusan ISKA baru saja dikukuhkan oleh Mgr. Ignatius Suharyo dan Mgr. Vincentius Sensi Potokota dalam misa di aula KWI, Jl. Cut Meutia Jakarta.

Tema yang diusung ISKA kepengurusan baru ini adalah ‘Merawat komitmen kebangsaan dengan landasan keberagaman, merawat Pancasila sebagai asar komitmen kebangsaan.’ Hargo mengajak anggota ISKA untuk bersama dalam gerakan konstektual tanpa sekat merawat kebangsaan.

Orasi Irjenpol Remigius Sigid Tri Hardjanto

Pembicara tunggal dalam acara dies natalis ISKA awalnya direncanakan akan diisi oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Tetapi Kapolri berhalangan hadir karena mendapat tugas dari Presiden Jokowi. Sebagai pengganti, Kapolri mengutus Irjenpol Sigid Tri Hardjanto, Kepala Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK).

Sigid Tri Hardjanto membuka orasinya dengan mengemukakan kekhawatirannya akan kondisi bernegara saat ini yang bertolak belakang dengan keinginan para pendiri bangsa. Itu sebagaimana dimuat di dalam Mukadimah UUD 1945 yakni membentuk pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Silahturami kontinyu

Sigid mengemukakan perlunya silahturami kontinu pemuka agama dalam mempertahankan kerukunan. Komitmen landasan kebhinnekaan yang merupakan konsensus masyarakat harus dijaga. Konsensus masyarakat tersebut dulu dinyatakan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, diwakili para pemuda dari berbagai suku bangsa. Konsensus ini perlu dirawat oleh seluruh warga negara Indonesia.

Menurut Kepala STIK-PTIK sejak 19 Oktober 2016 ini, permasalahan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh ideologi, politik, ekonomi, maupun teknologi global. Kondisi ini dimana batas antar negara mengabur, paska terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan Brexit.

Donald Trump berpandangan bahwa defisit perdagangan Amerika Serikat terlalu besar sekarang ini, maka impor perlu dibatasi. Kebijakan Amerika Serikat juga akan lebih protektif kepada warga negaranya. Semasa kampanye, Trump kerap mendengungkan akan membatalkan perjanjian-perjanjian yang merugikan kepentingan Amerika Serikat.

Sedangkan masalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang dikenal sebagai Brexit, akan menyebabkan efek domino skala besar bagi Inggris. Tidak hanya antar negara Eropa tetapi akan mempengaruhi luar Eropa juga.

Isu lain adalah krisis di Semenanjung Korea. Isu ini penting karena Indonesia mempunyai hubungan diplomatik dengan Korea Selatan dan Korea Utara. ASEAN juga meminta Korea Utara menahan diri uji coba rudal.

Isu dalam negeri

Sigid Tri Hardjanto memaparkan bahwa Pilkada DKI menciptakan perpecahan di masyarakat. Serta munculnya aneka hoax yang memicu aksi massa anarkis. Semua hal ini membahayakan kesatuan NKRI

Tetapi Sigid berpandangan bahwa wawasan kebangsaan di Indonesia kuat karena:

  • NKRI terdiri dari banyak pulau, membuat terjadinya pertukaran budaya.
  • Masyarakat yang agamis, menanamkan bibit kebangsaan.
  • Suku-suku di Indonesia toleran dan akomodatif. Terbukti dengan diterimanya bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu walaupun pengguna bahasa Jawa jumlahnya terbanyak.
  • Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibanding emerging countries lain seperti Meksiko dan Brazil.
  • Karakteristik bagus untuk berkembang pesat.
  • Kaya akan energi terbarukan (angin, tenaga surya dll)
  • Kaya akan sumber daya alam
  • Bonus demografis: 30 persen penduduk tergolong usia produktif.

Menurut dia, ancaman serius bangsa saat iniadalah:

  • Lunturnya kesadaran berbangsa dan bernegara antar umat beragama atau di antara penganut agama sendiri.
  • Munculnya gerakan ingin menggantikan ideologi negara
  • Munculnya gerakan pro kekerasan.

Polri bertugas mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Maka Polri harus menjadi dinamisator dalam wadah negara NKRI. Selain itu juga Polri menjadi katalisator yaitu penetralisir perbedaan pendapat, serta juga berperan sebagai negosiator yaitu juru runding dalam konflik sosial.

Kebijakan Polri yang dilakukan adalah proaktif , preempif dalam setiap konflik sosial, penyelesaian yang komprehensif, mencegah intoleransi, dan penegakkan hukum secara tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.

Di akhir orasinya, Sigid mengharapkan ISKA bisa menjadi wadah komunikasi, kerja sama berkontribusi merawat kebangsaan. “Jadilah 100% Katolik, 100% Indonesia, bukan hanya dalam kehidupan beragama tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat, “tegas jenderal polisi asal dari Muntilan, Jateng.

“Berani mati membela negara, berani hidup sesuai ajaran Gereja. Mengabdi Tuhan dan bangsa.”

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here