Pentas Seni Lima Gunung pada Puncak Perayaan 100 Tahun Seminari Mertoyudan (2)

0
1,494 views

Satu puisi “Penari di Tanah Cinta” meluncur dibaca penyair Dorothea Rosa Herliany berkolaborasi dengan puisi “Malam Surgawi” Atika dan pembacaan “Life Sentences” pegiat Wardah Hafidz.

“Jutaan orang bergerak menuju puncak peradaban, insan menggapai-gapai jati dirinya yang berkecamuk, dalam teknologi, kultur, birokrasi, pertarungan, dan akhirnya adalah perang melawan diri sendiri. Ini adalah gerakan kaki bahkan jemari, yang meruyak membangunkan mimpi kita, tentang kebajikan memahami kala’,” demikian beberapa bait puisi yang dibacakan Rosa Herliany itu.

Para tokoh seniman petani kemudian menyajikan performa kolaborasi “Ritus Lima Gunung”, masing-masing Cipto “Ondo Gunung”, Sitras Anjilin “Ondo Jiwo”, Nana “Tembang Ondo Tresno”, Ismanto “Ondo Lara Jiwa”, Supadi “Tembang Ondo Kencono”, Sumarno “Ondo Kesurupan”, dan Pangadi “Ondo Ponco Warno”. “Ondo” artinya tangga.

Berbagai pementasan lainnya seperti tarian “Kipas Mega” oleh sejumlah perempuan Gunung Merbabu yang menggambarkan kiprah keseharian mereka sebagai petani perempuan gunung dan sendratari “Sekar Agung” (Andong) gambaran energi atas kegagahan lima gunung.

Selain itu, tarian “Geculan Bocah”, “Gupolo Gunung”, dan “Soreng” (Merbabu), masing-masing antara lain tentang karakter polos dan lucu anak-anak gunung, simbol gupala sebagai penjaga kelestarian alam dengan ekosistemnya, serta semangat kepahlawanan gunung.

Sekelompok seniman petani lainnya dari Desa Petung, Kecamatan Candimulyo menyuguhkan “Akapela Gunung”, berupa kolaborasi tembang akapela dusun dengan tarian tradisional “Grasak” dan performa kehidupan sehari-hari masyarakat desa “Ensiklopedia Wonoseni” dari Dusun Wonolelo, Kecamatan Bandongan.

Komunitas “Gadung Mlati” (Merapi) dalam rangkaian pergelaran berdurasi 90 menit tersebut menyuguhkan performa gerak “Lara Jiwo” dengan tabuhan musik drum berbalut anyaman bambu, di atas sejumlah tatanan papan terbuat dari bambu setinggi tiga meter.

Di luar arena panggung, sejumlah kelompok seniman petani lainnya mementaskan keseniannya di beberapa tempat di halaman rindang seminari itu antara lain “Lengger Krandegan”, “Jaran Papat”, “Tarian Asap”, dan musik “Pitutur”.

Nampak secara istimewa pada kesempatan itu, seniman petani Padepokan “Tjipto Boedojo Tutup Ngisor” (Merapi) pimpinan Sitras Anjilin menyuguhkan wayang orang dengan lakon “Arjunawiwaha Gunung”.

Lakon wayang “Arjunawiwaha” yang pakemnya bertutur perkawinan Arjuna (Widya Sumpena) dengan Dewi Supraba (Nana), ditekuk menjadi tidak sekadar bercerita percintaan mereka, melainkan diteruskan tentang kelahiran generasi baru Pandawa yang menang menghadapi angkara murka disimbolkan para Kurawa.

“Pesan dari pentas wayang orang ini memang ajakan merenungkan pentingnya pendidikan untuk melahirkan generasi muda yang tangguh, lebih baik dari generasi-generasi sebelumnya, dan bisa diandalkan untuk hidup yang lebih baik,” kata Sitras usai menjadi dalang pementasan itu.

Dikisahkan pada babak akhir lakon “Arjunawiwaha Gunung” itu, enam anak dengan pakaian wayang orang yang menggambarkan para cucu Pandawa, memenangi peperangan melawan para Kurawa.

Artikel Terkait:

Pentas Seni Lima Gunung pada Puncak Perayaan 100 Tahun Seminari Mertoyudan (1)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here