Pijar Vatikan: Arswendo, Pencerna dan Peracik Kehidupan Luar Biasa dan Mukjizat Maria (31E)

0
337 views
Arswendo by Wikipedia

DI balik perjuangan hidup dan imannya sebagai narapidana LP Cipinang, seorang Arswendo tidak sedikit pun meninggalkan keunikan, rasa humor dan ketulusan persahabatannya.

Romo Mudji misalnya, ketika bezoek Mas Wendo di penjara,  mendapatkan hadiah kejutan dari Mas Wendo: sebuah kalender tua tahun 1954. Mas Wendo tentu saja mengingat ulang tahun para sahabat dekatnya. Romo Mudji memang lahir tahun 1954.

“Luar biasa sahabat kita itu Kun,” kata Romo Mudji dengan kagum. Mas Wendo menemukan kalender 1954 itu di Gudang LP Cipinang.

Kalender kenangan dari Mas Wendo itu, kini terus terpajang di kamar kerja Romo Mudji.

Tentang waktu, kalender, jam dan hari, Celia, putrinya memberi kesaksian kepada para wartawan bahwa bapaknya itu tidak pernah lepas dari pekerjaan menulis. Kemana-mana ia membawa pena.

Apa yang dia amati, yang dia rasakan, yang dia pikirkan, yang dia dengar, yang dia baca, yang dia bayangkan, yang dia lihat, yang dia cerna, semua dia tuangkan dalam pelbagai bentuk tulisan yang kreatif.

Cara Arswendo mendengar, mengamati, melihat dan mencerna, sungguh sangat unik dan kadang tidak “lumrah”.

Sejak dari Roma, saya suka cerita ke Mas Wendo tentang keseharian saya atau liburan saya. Tahun 1990, waktu membantu di Paroki St. Mary Star of the Sea di kawasan Brooklyn New York misalnya, saya cerita ke Mas Wendo. Saya lagi nonton TV yang sedang menyiarkan wawancara Rose Kennedy.

Rose adalah ibu kandung JFK, satu-satunya presiden Amerika yang Katolik itu. Tahun itu, Rose Kennedy merayakan ulang tahunnya yang ke-100.

Kepada presenter NBC yang mewawancarainya, Rose Kennedy mengatakan:

“Pada usia yang ke 100 ini, Tuhan sudah memberi saya begitu banyak. Tak terhitung kasih Tuhan pada saya. Uang, harta, kekuasaan, kedudukan, itu tidak terlalu saya perhitungkan. Harta saya terindah adalah keluarga saya, suami dan anak cucu saya. Kepada Tuhan Yesus, saya tidak pernah berhenti bersyukur bahwa saya diberi Tuhan anugerah yang lengkap. Anak saya ada yang menjadi Presiden Amerika.

Ada yang dibunuh. Ada yang pemabuk. Ada yang bercerai. Ada yang  cacat. Sukses atau kegagalan, tawa atau tangis, suka atau duka, semua adalah anugerah dari Tuhan yang harus kita syukuri.

Nah, bahwa Tuhan memberi saya anak dan cucu yang cacat itu sungguh keistimewaan. Sebagai orang Katolik Irlandia, ibu saya mengajarkan kalau ada anak cacat dalam keluarga kita, itu artinya Tuhan sangat sayang kepada kita, karena Ia memberi salib lambang cinta Tuhan yang tak ternilai itu dalam keluarga kita untuk dipanggul.

Sayang, saya tak diberi anak yang menjadi Pastor. Itu saja satu-satunya kekecewaan saya. Untuk kami orang Irlandia, keluarga yang anaknya terpilih menjadi imam itu adalah keluarga yang terberkati.” 

Ketika saya ceritakan wawancara Rose Kennedy ini ke Mas Wendo, reaksinya sangat khas seorang Arswendo: “Dahsyat sekali.”

Kata “dahsyat” untuk saya adalah kata yang sangat Arswendo sekali. Romo Mudji juga jadi sering ikut mengatakannya.

Kalau Arswendo bilang “dahsyat”, itu artinya kejadian, sharing, cerita atau apapun yang ia dengar atau ia lihat belumlah selesai.

Sesudah mengucapkan kata itu biasanya Arswendo lalu mengolah. Tentu saja pengolahan dan pencernaannya diracik dalam ungkapannya yang unik, khas Arswendo pula.

Mukjizat melalui perantaraan Bunda Maria

Di Wisma Canossa misalnya, saya pernah diminta Ibu-Ibu WK dekenat Jakarta Barat untuk memberi Masukan pada retret dua hari mereka. Pada sebuah kesempatan sharing, ada dua ibu yang memberikan sharing yang sangat mencengangkan.

Sangat “dahsyat” dalam istilah Mas Wendo.

Ibu pertama sharing bahwa dia lama sekali menjadi ajudan pribadi Ibu Negara, isteri Presiden RI yang kedua. “Saya sering mengantarnya berdoa di Gereja Katedral,” katanya.

“Jadi silahkan anda menilai sendiri, beliau itu pengikut Kristus atau tidak?”

Ibu kedua cerita putus asanya punya anak yang kena leukemia. Ketika kritis dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto, ibu ini makin kalut karena diminta harus segera menyediakan darah untuk transfusi. Persediaan darah di RS Gatot Subroto waktu itu habis. Lagipula RS tidak punya persediaan darah yang langka.

Anak ibu ini memiliki golongan darah langka rhesus negatif. Ia shock dan putus asa. Tidak tahu apa yang harus ia buat. Saking kalutnya ia lalu jalan kaki melewati lapangan Banteng ke Gua Maria di samping Katedral.

“Horeluya”, novel Arswendo.

Di hadapan Bunda, ia menangis sejadi-jadinya. “Tolong Bunda, beri saya muzijatmu,” begitu ratapnya. Beberapa mudika yang lagi duduk-duduk jaga parkir, menghampiri ibu itu karena tidak tega mendengar isak tangisnya.

Kepada anak-anak muda itu, ia menceritakan kebutuhan cari darah langka untuk anaknya yang kena leukemia akut itu. Spontan, anak muda itu mengumpulkan teman-temannya yang bersedia menyumbang darah. Terkumpullah beberapa mudika. Mereka lalu bergegas ke RSPAD bersama ibu itu.

Mukjizatpun terjadi. Dari 9 mudika yang datang ke RSPAD, 7 di antaranya memiliki darah langka rhesus negatif itu. Selamatlah anaknya.

Kata ibu itu  “Jadi kalau ada orang terutama orang dari gereja lain yang tidak menghormati Bunda Maria, itu sungguh sangat keterlaluan. Bunda Maria itu Ibu Tuhan. Saya saksi mukjizatnya. Bunda Maria itu ibu kita yang selalu mendengarkan dan mengabulkan setiap permintaan kita.”

Cerita-cerita semacam ini sering saya sharingkan ke Mas Wendo. Cerita saya ziarah ke Santa Rita dari Cascia, tidak jauh dari kota Roma juga sangat menyentuh Mas Wendo.

Santa Rita bagi keluarga-keluarga di Italia diyakini sebagai “santa degli impossibili”, pelindung bagi hal-hal yang mustahil.

Santa Rita adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Suaminya adalah preman pemabuk, tukang selingkuh dan profesinya adalah pembunuh bayaran. Karena doa dan matiraga Santa Rita yang tak pernah henti, maka bertobatlah suami itu.

Sejak saat itu, begitu banyak ibu yang punya kesulitan rumah tangga terutama karena memiliki suami yang selingkuh, anak yang kena narkoba, dan masalah-masalah rumah tangga yang sepertinya mustahil disembuhkan, datang ke makam Santa Rita.

Sharing-sharing saya bertemu dengan kesaksian umat yang luar biasa seperti ini, tidak hanya dikomentari “dahsyat” oleh Mas Wendo.

Belakangan malah saya baru tahu kalau kisah ibu di Wisma Canossa yang anaknya kena leukemia dan tertolong oleh sumbangan darah mudika Katedral itu, akhirnya menginspirasi Arswendo menulis novelnya Horeluya. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here