Pijar Vatikan II: 505 Gosip Didi Kempot dan Doa Rosario (36A)

0
645 views
RIP Didi Kempot

SEPEKAN yang lalu, mega bintang dan maestro lagu-lagu campursari Didi Kempot meninggal dunia. 05052020 tanggal cantik itu, menjadi tanggal sial bagi para Sad Bois, para Sad Gerls.

Kepergian pujaan mereka: Pakdé Dionisius Prasetyo alias Didi Kempot, ‘bak petir menyambar di siang hari. Tidak ada yang menduga, tidak ada yang mengira.

Maklum, selama ini para Sobat Ambyar – demikian para Sad Bois dan Sad Gerls itu berhimpun – tidak pernah mendengar sedikit pun, kalau Didi Kempot pernah sakit.

Selama ini, ia baik-baik dan sehat-sehat saja. Jadwal manggungnya yang padat, ia lakoni dengan lancar. Dalam usia 53 tahun, DK lagi ada di puncak karir. Sepekan lalu, 5 Mei pagi hari, Didi Kempot mengeluh sakit dan langsung dibawa ke IGD Rumah Sakit Kasih Ibu di Solo.

Menurut dr. Divan Fernandez, Didi Kempot tiba di IGD pada pukul 07.25 WIB. Kondisinya tidak sadar, henti jantung, henti nafas. “Dilakukan tindakan resusitasi, namun pasien tidak tertolong. Pukul 7.45 ia dinyatakan meninggal,” ujar Manajer Humas RS Kasih Ibu itu.

Dalam celetukan orang Jawa di kampung, mungkin Didi Kempot kena angin duduk. Begitulah, maut rupanya datang bak “pencuri di waktu malam”.

Maut datang kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja ia mau.

Kepergian Didi Kempot, pujaan para “broken hearters” itu, meninggalkan duka yang sangat dalam. Kaget, sedih, Gusti nyuwun kawelasan, bener nih berita, sungguh tak bisa dipercaya, dan kata-kata semacam itu, dalam sekejap langsung menyebar di dunia maya.

Meninggalnya The Godfather of  Broken-Heart menjadi trending topik para netizen selama berhari-hari.

Kepergian mas Didi Kempot, The Lord of Ambyar, telah membuat hati para penggemarnya, sungguh-sungguh “ambyar”, hancur berkeping-keping.

Sepekan ini, kita kenyang disuguhi acara TV “In Memoriam Didi Kempot”. Media cetak dan online juga menyajikan “obituari” Didi Kempot dari banyak kalangan dengan pelbagai versinya.

DK dalam berita

Saya sendiri mendengar kabar kepergian Didi Kempot dari WA Grup teman-teman Merto-73. Seperti biasa, pagi itu kami lagi saling mengucap selamat untuk yang berulang tahun.

Hari itu, malah ada doa khusus untuk Romo M. Purwatma, sahabat angkatan kami, yang dipanggil Tuhan 100 hari yang lalu. Tiba-tiba, seorang teman dari Solo meng-upload berita mengejutkan: screenshot tayangan “breaking news” Kompas TV,  yang memberitakan kalau Didi Kempot meninggal

Bergegaslah saya ke depan TV. Saya lihat Ibu mertua lagi minum kopi sambil melihat tayangan entertainment. Saya bilang, ganti sebentar dong ke channel Kompas TV, lagi ada berita heboh Didi Kempot meninggal.

“Siapa tuh, Didi Kempot ?,” kata ibu mertua saya dengan ènthèngnya.

Saya tidak bisa bilang apa-apa pada mertua tercinta yang memang bukan orang Jawa dan tidak bisa berbahasa Jawa. Ia juga tidak pernah tahu, lagu campursari itu lagu macam apa.

Jadi, tentu saja ia tidak mengenal Didi Kempot.

Mau bilang apa. Tentu saja, kepada ibu mertua yang demikian, saya tidak bisa menjelaskan betapa pagi ini sobat ambyar seluruh dunia, para fans mega bintang Didi Kempot, sedang menangis tersedu-sedu meratapi “Lord” mereka yang pergi begini mendadak.

Bahwa ibu mertua saya tidak perhatian, tidak ngeh  dan tidak merasa apa-apa dengan berita meninggalnya Didi Kempot itu, mengingatkan saya pada adagium terkenal Thomas Aquinas yang pernah kami terima sejak kuliah Filsafat Ketuhanan dulu: “quidquid recipitur, recipitur secundum modum recipientis. (Cf. Summa Theologiae, 1a, q.75,a.5;3a,q.5).

Prinsip “quidquid recipitur, ad modum recipientis recipitur” (apa saja diterima menurut cara penerimanya), sebagai penjelasan gagasan Thomas Aquinas sebelumnya: “cognitum autem est in cognoscente secundum modum cognoscentis” (Semua dipikirkan menurut cara orang memikirkannya), tentu juga berlaku untuk berita duka meninggalnya Didi Kempot ini.

Untuk mertua saya, meninggalnya Didi Kempot tidak membawa perasaan apa-apa, karena memang Ibu mertua saya tidak tahu apa pun dan kenal sedikit pun tentang Didi Kempot.

Kesukaan beliau adalah nonton serial Bajaj Bajuri.

Didi Kempot dan lagu tersohornya Stasiun Balapan maupun Sèwu Kutho, sama sekali tak pernah mampir di “memori” batin mertua saya. Maka, sikapnya terhadap Didi Kempot yang melegenda itu, bak bumi dengan langit bila dibandingkan dengan sikap para pengagum berat “Lord Didi”.

Perkaranya, di antara para fans yang merasa kehilangan Didi Kempot, pastilah ada “cara pandang” yang berbeda-beda mengenai Sang “Bapak Loro Ati Nasional” itu.

Sesungguhnyalah, tentang kejadian apa pun, menurut Thomas Aquinas, orang memang boleh, bisa dan berhak memandangnya “ad modum recipientis, recipitur”.

Di balik nama Dionisius itu

Berdasarkan prinsip Thomas Aquinas itu, kepada teman-teman Katolik, tentu juga bisa ditanyakan: “Menurut anda, siapa Didi Kempot itu dan kiprahnya selama ini ?

Pasti jawabnya akan beragam. Di pelbagai WA Group ‘katolik’ yang saya ikuti, banyak yang mengatakan: “Suwerr saudara-saudara, baru hari ini saya tahu, kalau nama asli Didi Kempot itu ternyata Dionisius Prasetyo. Dionisius itu bukannya nama baptis? Berarti Didik Kempot itu Katolik dong? Didi Kempot ‘kan adiknya Mamik “kepodang” (karena trade-marknya almarhum Mamik adalah rambut di atas kuping yang dicat kuning jadi seperti burung kepodang). Kalau Mamik Katolik, berarti bisa dipastikan adiknya juga Katolik,” kata seorang teman di salah satu WA grup kami dengan semangatnya.

Tentang issue Katolik ini, ada juga yang bertanya: “Ada yang tahu, Didi Kempot sekarang tinggal di Paroki mana ya? Teman-teman Solo bisa info, nanti misa pemakamannya DK di mana? Siapa yang mimpin ? Di masa pandemi gini, pakai misa requiem di gereja nggak ya?”

Dijawab: “Kayaknya di masa begini, prosedur pemakaman Covid-19 dari Pemerintah harus diikuti tanpa pandang bulu. Cukup acara penutupan peti di Rumah Sakit lalu berkat sekadarnya di  pemakaman,”kata seorang teman dengan yakinnya.

Ada lagi yang bertanya: “Siapa ya yang akan mimpin doa pemakaman? Romo Paroki atau Pro-Diakon? Mestinya untuk orang sekaliber Didi Kempot, yang mimpin upacara itu Uskup Semarang atau setidaknya pak FX Rudy Walikota,” kata seorang teman dengan “pede”nya.

Seperti kita tahu, selain menjabat sebagai Walikota Solo, Pak Rudy juga sudah lama menjadi Prodiakon Paroki Santa Maria Regina Purbawardayan, Solo.

Begitu nama pak FX Rudy disebut, teman lain menyahut: “Berita ini bener ngga ya! Kabarnya sebelum DK meninggal, ia sempat dapat Sakramen Perminyakan. Infonya, atas permintaan sendiri lewat pak FX Rudy Walkota Solo.”

Menggosipkan DK

Tidak hanya soal nama baptis dan acara pemakaman yang dipergunjingkan. Tidak lama setelah Didi Kempot dikabarkan meninggal, langsung beredar foto-foto jenazah almarhum.

Ada dua foto yang beredar di pelbagai grup WA yang saya ikuti. Yang pertama versi pakai jas hitam dan celana panjang, yang kedua versi pakai surjan warna putih.

Begitu foto-foto itu diunggah, kontan bermacam komentar bermunculan. “Mosok itu Didi Kempot! Wajahnya nggak jelas gitu. Jangan-jangan itu orang lain yang wajahnya “diserupakan” Didi Kempot.”

Melihat dua foto dengan baju berbeda, perdebatan pun jadi tambah ramai. “Jadi yang bener yang mana nih? Yang hitam atau yang putih?”

Dijawab: “Yang hitam”.

Ditimpali lagi: “Kok tangannya ngga nggenggam rosario? Bukan Didi Kempot kali.”

Ada juga teman yang komentar “Dari tetangga sebelah yang benar adalah yang pakai jas hitam. Itu dandanan Rumah Sakit atas permintaan isterinya. Yang pakai surjan putih dan di dekatnya ada salibnya, itu bukan jenasahnya Didi Kempot. Itu  jenasah Mamik Prakoso kakak Didi Kempot,” ujar teman yang “sok teu” (sok tahu) ini.

“Debat publik” di WA semakin ramai, ketika seorang teman mengupload foto KTP Dionisius Prasetyo yang ternyata beragama Islam. Juga foto jenasah yang dipocong dan masuk peti kayu sederhana berwarna coklat.

Komentar teman yang mengupload foto-foto itu cukup provokatif: “Sudah jelas ya temans, DK itu tidak Katolik lagi. Sudah mualaf sejak 1997. Lagi pula karena permintaan keluarga besar, maka jenasah yang sudah masuk peti Katolik, kemudian diganti peti lain dengan gaya “pocongan”.

Case closed ya bro and sis!

Bawèl dan keponya netizen Katolik

Membaca gunjingan yang ngga ada juntrungnya tentang kekatolikan Didi Kempot, seorang teman imam, dengan agak ketus berkomentar begini: “Orang Katolik itu bawèl ya kalau sudah “ngglendhengi” orang lain. Kalaupun Didi Kempot itu sudah jadi mualaf, terus yo njuk ngopo? Kalau pun sampai meninggalnya, dia masih memakai nama Dionisius dan dikubur secara agama lain, terus kita ini yo njuk ngopo ?

Nglendhengi” yang artinya mirip kata Jawa lain “ngrasani” itu, artinya ngegosip, ngerumpi, ngomong diam-diam belakang dengan nada dan isi kurang baik. “Yo njuk ngopo”, itu artinya “ya terus kita (bisa) ngapain,” kata orang Jakarta.

Setelah agak lama pause, pendapat teman Romo soal “njuk ngopo” itu, ditanggapi teman lain dengan celetukan begini: “Bukan bawel mo, cuma kepo saja. He.. he.. he .”

Kepo itu bahasa anak gaul yang artinya “pengin tahu saja”.

Kebawèlan dan kekepoan teman-teman grup WA yang memang mayoritas anggotanya Katolik itu, menurut saya sudah “kebablasen”.

Tidak hanya di WA “Katolik”, dari pagi sampai sore, rasa-rasanya hari itu semua medsos tidak ada capeknya ngomongin Didi Kempot sudah mualaf, jenasahnya, pemakamannya, ternyata punya 3 anak dari isteri pertama, punya 2 anak masih kecil dari isteri kedua, dan  omongan-omongan lain sekitar itu.

Ketika kemudian muncul video wajah “close up” almarhum Didi Kempot (atau orang yang mirip Didi Kempot), yang dikafani dan diciumi banyak orang, dengan diiringi lantunan doa-doa berbahasa Arab, masih juga ada yang komentar: “Lho itu bukannya video meninggalnya Tuan Guru Zuhdi dari Martapura?”

Saking jengkelnya, teman-teman akan kebawèlan para netizen menggunjingkan agama Didi Kempot, banyak yang lalu mengunggah penjelasan dengan pelbagai versinya.

 Di Youtube misalnya saja, diunggah penjelasan itu dengan judul-judul seperti :

  • Parah. Agama Didi Kempot terus dikulik netizen. Sahabat geram dan beberkan bukti KTP-nya
  • Didi Kempot Mualaf. Ini Penjelasan Doyok.
  • Bikin perdebatan, ternyata ini agama yang dianut Didi Kempot
  • Perjalanan rohani Didi Kempot. Jadi mualaf hingga mengaji ke GM.

Apakah penjelasan atau sanggahan semacam itu, sengaja ditujukan untuk para netizen Katolik atau Kristen?

Mungkin. Tetapi mungkin juga, itu ditujukan untuk kalangan mereka sendiri. DC ketika mewawancara GM tentang Didi Kempot, kesan saya ia membutuhkan statement jelas dari ulama seperti GM tentang agama Lord Ambyar DK.

Mereka membutuhkan kejelasan itu. Maklum. Meskipun sudah jadi mualaf, namun tetap saja sampai meninggalnya, ada “ganjelan” nama Dionisius yang menandakan Didi Kempot pernah dibaptis sebagai seorang Kristen. Bahkan jelas sekali di KTP Didi Kempot, nama yang tercantum di sana adalah Dionisius Prasetyo.

Dionisius tentu boleh dan sah-sah saja disingkat Didi, meski di kalangan umat Katolik, nama baptis Dionisius sebenarnya lebih umum disingkat Dion.

Karangan bunga Presiden Jokowi, yang terpajang di tembok makam Didi Kempot di Ngawi, juga menuliskan nama resmi almarhum Didi Kempot seperti di KTP almarhum, yaitu: Dionisius Prasetyo. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here