Puasa, Jalan Sulit namun Mulia (2)

0
1,209 views

 

[media-credit name=”Ulul Huda” align=”alignleft” width=”150″][/media-credit]

SIKAP hidup dengan cita rasa kemanusiaan yang tinggi inilah yang disebut dalam Kitab Suci sebagai al’aqabah, jalan yang sulit (tapi mulia dan benar) yaitu perjuangan untuk membebaskan kaum mustadh’afin (orang-orang yang terbelenggu dan tertindas).

Jadi ada banyak manfaat dalam perintah ibadah puasa. Dengan puasa maka mereka yang kaya mencintai si miskin sekaligus dicintai si miskin. Mereka yang berpunya akan menempati satu ruang khusus di hati mereka yang masih bergulat dengan sengsara.

Harmoni sosial

Jika sudah ada cinta antara warga bangsa dan negara, sudah mencintai dan dicintai maka apalagi yang mungkin terjadi selain harmoni. Dan harmoni itulah akan terlahir rahmat-rahmat yang lain. Rahmat yang melimpah-limpah, bertambah-tambah, dan itulah berkah.

Hidup yang berkah dan diridhoi Alloh adalah ultimate goal yang layak kita canangkan dalam kehidupan kita sebagai manusia, dan dalam kehidupan kita sebagai warga bangsa dan negara.

Sebab, ibadah ritual apa pun, tak terkecuali ibadah puasa, dalam pandangan Islam tidak memiliki nilai apa pun kalau tidak mempunyai dampak positif, secara internal pada dirinya dan secara eksternal pada orang lain sekaligus.

Inilah barangkali yang dimaksudkan oleh Umar ibn Khattab tatkala mengatakan, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga.”

Mereka itu adalah orang yang telah menjadikan ibadah puasa sebagai sebuah rutinitas, tanpa roh (spirit). Termasuk juga, mereka yang melakukan ritual puasa pribadi, tapi melupakan pesan untuk melakukan puasa sosial. Puasa yang demikian adalah puasa yang tidak sinkron dengan janji-janji ideal Islam.

Demikianlah, menurut Al Quran, satu hikmah puasa adalah untuk mendidik jiwa agar mencapai derajat taqwa, pribadi yang mampu menahan diri dari berbagai godaan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun, lagi-lagi, pertanyaan yang selalu muncul adalah mengapa-ibarat baterai telepon seluler-daya setrumnya hanya bertahan sebulan? Bukankah mestinya puasa sebulan memiliki daya setrum penyebar kebajikan setidaknya selama setahun? Ini dikarenakan kebanyakan dari orang yang berpuasa pada realitasnya hanya pada puasa syariat, bukan puasa khakikat.

Tiga tingkatan

Menurut Imam Al-Gazali, puasa ada tiga tingkatan yaitu puasa orang awam, puasa orang khusus dan puasa orang super khusus. Puasa orang awam, menahan perut dan kemaluan terhadap menurunkan syahwat. Puasa orang khusus ialah menghindari pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan semua anggota tubuh dari berbagai dosa. Sedangkan puasa orang super khusus ialah puasa hati dari berbagai keingian yang rendah dan pikir-pikir yang tidak berharga, menahan hati dari selain Allah secara total.

Puasa orang awam baru sebatas puasa syariat, sedangkan puasa orang khusus dan puasa orang super khusus sudah masuk kategori puasa hakikat. (Bersambung)

Ulul Huda MA, mengasuk  pondok pesantren Al Hidayah di Karangsuci, Purwokerto; bersama para aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) ikut membentuk Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here