Puncta 23.03.19 Lukas 15:1-3.11-32: Kemurahan Hati Bapa

0
1,115 views

KETIKA Sri Kresna akan datang ke Astina sebagai duta para Pandawa, Duryudana mengumpulkan para tua-tua dan penasehat kerajaan.

Ada Bisma, Pandita Durna, Prabu Salya, Adipati Karna dan Patih Sengkuni. Raja meminta nasehat mereka apa yang harus disampaikan kepada Kresna.

Semua para tetua menasehatkan agar Amarta dan separoh kerajaan Astina dikembalikan kepada Pandawa. Hanya Sengkuni dan Adipati Karna yang tidak setuju.

Namun suara mereka kalah dari para tua-tua. Duryudana akhirnya menyetujui kerajaan dikembalikan kepada Pandawa.

Diam-diam Sengkuni mundur menemui Gendari, ibu Duryudana sekaligus kakaknya. Sengkuni memprovokasi Gendari bahwa kerajaan Astina akan diserahkan kepada Pandawa.

Akhirnya Gendari marah kepada Duryudana. Ia mengancam akan bunuh diri kalau Duryudana menyerahkan kerajaan Astina.

Suasana ini dimanfaatkan oleh Sengkuni dan Karna untuk memanas-manasi Duryudana agar mempertahankan kerajaan. “Sedumuk bathuk senyari bumi”, sejengkal pun tak akan dikembalikan kepada anak-anak Pandu. Akhirnya Duryudana luluh oleh bujuk rayu mereka dan membatalkan kesepakatan dengan Kresna.

Terpenuhilah ramalah Narada, “Sapa sing ndhisiki cidra, bakal musna.” (siapa yang ingkar janji akan dihabisi).

Perang Bharatayuda dimulai.

Kalau dalam pewayangan itu, Dewi Gendari dan Sengkuni menjadi provokator kepada anak-anaknya. Mereka menjadi orangtua yang buruk tabiatnya.

Di dalam Injil hari ini, Yesus memberi contoh seorang Bapa yang murah hati kepada anak-anaknya. Anak bungsu meminta hak warisan. Ia berikan. Sikap si bungsu ini sudah kurang ajar. Warisan hanya bisa dibagi kalau orangtua meninggal. Dengan meminta warisan, si bungsu menganggap ayahnya sudah mati.

Ayahnya tetap sabar. Lalu si bungsu meninggalkan rumah, hidup berfoya-foya di kota bersama dengan pelacur dan orang jahat. Ayahnya tetap menanti dengan sabar.

Akhirnya terpuruklah nasibnya. Si bungsu jatuh miskin dan tak punya apa-apa lagi. Ia kelaparan, menderita. Baru terbukalah hatinya, betapa baiknya bapa. Ia memutuskan pulang.

Bapaknya dari jauh sudah melihatnya. Ia turun dari duduknya, berlari menemui anaknya yang telah kembali.

Tradisi Yahudi menempatkan ayah punya wibawa, harga diri dan otoritas.

Yesus membalik semua itu. Kasih Bapa tidak berubah. Bahkan lebih dari yang sudah-sudah. Bapanya berlari menjemput, merangkul, mencium. Ia membuat pesta besar karena sukacita.

Kakaknya iri melihat semua itu. Baginya orang salah harus dihukum seberat-beratnya. Ia merasa dalam posisi paling benar dan berhak atas kasih bapanya. Walaupun hidup serumah, namun hatinya jauh dari bapanya. Maka ia tidak mau masuk rumah, mengambil jarak, menjauh dari bapanya.

Sekali lagi bapanya keluar, menemui si sulung. Ungkapan si sulung menunjukkan statusnya. Ia menempatkan diri bukan sebagai anak bapa tetapi budak di rumah. Ia menganggap relasinya dengan ayahnya seperti bawahan dan atasan.

Bapanya menyadarkan, “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku. Segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu”.

Bapa itu sungguh luar biasa kasihnya. Itulah Allah yang maharahim. Yesus menunjukkan begitulah kasih Allah kepada kita orang berdosa.

Orang sakitlah (berdosa) yang memerlukan dokter. Justru kepada orang berdosa, kasih Allah nampak sangat luar biasa.

Namun kita yang di rumahnya pun juga dikasihinya. Iri hati adalah akar dosa. Berhati-hatilah.

Naik becak di tengah panas terik Jogja
Dari Malioboro menuju alun-alun utara
KasihMu Bapa sungguh luar biasa
Si bungsu dan si sulung Kau kasihi semua.

Berkah Dalem,

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here