Romo Kanjeng Mgr. Albertus Soegipranata SJ: Jejak Langkah Karya Romo Van Lith SJ (2)

3
7,644 views

LAGI-lagi ada rentang sejarah yang teramat panjang guna bisa mempertautkan kaitan erat antara Romo Kanjeng Mgr. Albertus Soegijpranata SJ dengan Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahjono, nama lengkap IJ Kasimo.

Di pentas sejarah politik bangsa ini, keduanya merupakan tokoh besar pada paruh pertama sejarah politik nasional Indonesia era Orde Lama. Namun  lebih tepatnya memang di tahun-tahun pertama sejak Indonesia lahir pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Sudah  pada tahun 1963, Romo Kanjeng mendapat penghormatan negara dengan titel pahlawan nasional. Itu terjadi hanya selang tiga hari setelah beliau meninggal dunia di Negeri Belanda di tengah kesibukannya mengikuti persiapan Konsili Vatikan II. IJ Kasimo baru mendapat penghargaan itu tahun 2012 ini, sejak tokoh penting di balik berdirinya Partai Katolik ini wafat tanggal 1 Agustus 1986.

Anak didik pertama Romo Van Lith SJ

Yang mempertautkan kedua tokoh penting Gereja Indonesia dan pahlawan nasional itu tak lain adalah Romo Van Lith SJ. Adalah misionaris Jesuit asal Belanda inilah yang berhasil “menemukan” dua orang murid pribumi pada generasi pertama sekolah calon pastur dan sekolah pendidikan  guru yang dirintis Romo Van Lith di Muntilan, Jawa Tengah.

Dari bangku seminari, muncullah nama Soegija yang kelak menjadi Uskup pribumi pertama yang memimpin Vikariat Apostolik Semarang dan kemudian Keuskupan Semarang. Sementara dari sekolah pendidikan calon guru Muntilah, lahirlah IJ Kasimo –menteri dan pendiri Partai Katolik—dan kemudian Drs. Frans Seda –putra Flores non seminaris—yang juga pernah duduk di jajaran kabinet era pemerintahan Presiden Soekarno.

Dari tangan Romo Van Lith SJ, tiga orang penting berhasil menjadi tokoh nasional di pentas sejarah politik nasional. Romo Kanjeng Mgr. Albertus Soegijapranata SJ menjadi orang pertama yang merintis jalan di panggung diplomasi politik ini.

Proses menjadi “Indonesia”

Darimana Romo Kanjeng mulai mengenal “politik” dan barangkali juga mulai “berpolitik”? Bisa jadi ketika beliau tengah menjalani studi filsafat dan teologi di Belanda kurun waktu 1919-1928. Persis pada tahun-tahun itulah, sejumlah pemuda Indonesia yang tengah studi di Belanda –sebagai imbal balik Politik Etis (Balas Budi) yang dilancarkan Belanda—juga lagi gencar-gencarnya “merumuskan” identitas bersama.

Awalnya hanyalah sebuah nama organisasi mahasiswa Indoneis yang lagi belajar di Nederland dan itu mereka beri nama Indische Vereeniging atau Perhimpunan India yang resmi berdiri tahun 1908. Belakangan, perisnya tahun 1922, organisasi itu mengalami perubahan nama: dari “Indische” menjadi “Indonesische” Vereeniging.  Kata penting “Indonesia” mulai tampil ke permukaan, sekalipun  masih sebatas “komunitas imaginatif” untuk perkumpulan studen dari wilayah bernama Hindia Belanda,

Meski hidup di lingkaran rumah Jesuit, sebagai anak Bumi Putera sangatlah mustahil bagi Frater Soegija SJ waktu itu untuk tidak tahu-menahu mengenai pergerakan nasional membentuk “komunitas imaginatif” bernama Indonesia ini. Semangat nasionalisme Soegija bisa jadi tumbuh pada kurun waktu ini.

Usai menerimah tahbisan imamat dari tangan Mgr. Schrijnen –Uskup Roermond di Maastricht—tanggal 15 Agustus 1931, Soegija berubah menjadi Soegijapranata SJ. Tanggal 6 November 1940 di Gereja Randusari Semarang –sekarang Katedral Semarang– Romo Albertus Magnus Soegijapranata SJ menerima tahbisan uskup dari Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Willekens SJ,  Vikaris Apostolik Malang Mgr. AJE Albers O’Carm, dan Vikaris Apostolik Palembang Mgr. HM Mekkelholt SCJ.

Cerdik seperti ular

Ketika Jepang memulai agresinya ke wilayah Asia Tenggara dan akhirnya mencaplok “Indonesia” sebagai wilayah jajahannya, Mgr. Soegijapranata SJ dan seniornya Mgr. Willekens SJ berjuang secara damai untuk kepentingan yang lebih besar selain hanya demi Gereja Indonesia. Yang diperjuangkan barangkali sangat heroik pada waktu itu: menghalangi Jepang yang berupaya menyita semua aset nasional peninggalan Belanda. Ketika semua imam, suster masuk internir (dipenjara), tinggallah Romo Kanjeng yang karena darah dan kulitnya Jawa asli bebas dari paksaan Jepang, namun harus kerja keras mengumpulkan semangat melawan Jepang yang semena-mena.

Ketika Gereja Randusari Semarang –kini Katedral Semarang—hendak disita Jepang untuk dijadikan tangsi tentara Jepang, dengan tegas Romo Kanjeng bersuara lantang: “Ini adalah tempat yang suci. Saya tidak akan memberi izin. Penggal dahulu kepala saya, maka Tuan baru boleh memakainya.”

Ketika komandan militer Jepang tetap memaksa Romo Kanjeng “menyerahkan” Gereja Randusari, Mgr. Albertus Magnus Soegipranata SJ berujar tegas: “Gedung bioskop  masih cukup luas. Tempatnya pasti juga strategis.”

Pun pula, ketika Gereja Atmodirono juga dilirik Jepang, buru-buru Romo Kanjeng mengelabuhi tentara Kekaisaran Jepang ini dengan trik melalui labeling nama pada pintu-pintu agar dikira semua ruangan ada penghuninya. (Bersambung)

Photo credit: Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta/Majalah Missie Belanda Missiennieuws

Artikel terkait:

3 COMMENTS

  1. setahu saya romo soegija di tahbiskan di gereja st. yusup gedangan. maaf sebelumnya. 🙂

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here