Seminari Mertoyudan dengan Label Majalah “Aquila”, “Cantus”, Orkes, dan Kelompok Paulus (8)

1
3,560 views

PADA tahun-tahun itulah pembinaan pendidikan calon imam pribumi di Indonesia  mulai tertata. Di samping melanjutkan proses pendampingan studi formal dalam rangka mempersiapkan studi lanjut (ke novisiat atau seminari tinggi), Seminari St. Petrus Canisius pun memiliki model pendampingan yang bertujuan mengembangkan sisi rohani serta humaniora para seminaris. Salah satunya adalah munculnya Majalah Karti Muda pada tanggal 12 Januari 1932.

Setahun sesudahnya, Majalah Karti Muda ini berubah menjadi Aquila (Augeamus Quam Impensissime Laudem Altisimi). Majalah Karti Muda yang berganti menjadi Aquila ini menggunakan bahasa Belanda, meski tetap menyertakan juga lembaran yang berbahasa Jawa. Baru pada tanggal 8 Desember 1948, Aquila mulai menghias diri dengan bahasa Jawa. Aquila menggunakan bahasa Jawa hingga sekitar tahun 1960-an.

Orkes seminari

Selain melalui permajalahan, pembinaan seminaris di bidang humaniora dan seni juga didukung dengan hadirnya koor dan orkes. Koor dan Orkes di Seminari St. Petrus Canisius mulai ada sejak tahun 1935. Pada waktu itu, Rektor Seminari Pater L. Weve SJ mulai melakukan pembelian alat-alat musik orkes. Dirigen I Koor-Orkes Seminari pertama kali adalah Pater J. Van Schouten SJ.

Pater J.  Schouten yang bertugas di Muntilan setiap Minggu datang ke Seminari di Yogyakarta untuk memberikan pelajaran Cantus (Musik) dan memimpin latihan koor maupun orkes. Latihan-latihan Koor-Orkes selain hari Minggu dipimpin oleh seorang seminaris yang berbakat dalam musik dan ditunjuk sebagai dirigen II.  Pada tahun 1939, Pater J. Schouten digantikan oleh Bapak R. AJ  Sudjasmin. Setelah Bapak R.A.J. Sudjasmin, pimpinan Koor-Orkes Seminari dipegang oleh seorang seminaris yang kelak menjadi Romo A. Martadiharja SJ.

Pada tahun-tahun awal Seminari St. Petrus Canisius di Yogyakarta, mulai bertumbuh model-model pembinaan seminaris yang menyentuh berbagai bidang pembinaan. Pada tanggal 11 Oktober 1928 mulai ada Kongregasi Maria (Maria Congregatie). Kegiatan ini merupakan kegiatan kerohanian seminaris dengan berlindung kepada Maria dan Gabriel dell’ Adolorata. Kongregasi Maria ini memiliki cabang kelompok-kelompok yang menggunakan nama santo-santa dengan berbagai macam aksi dan kegiatannya.

Kelompok Paulus

Muncullah Kelompok Paulus yang merasul melalui pers dengan nama Aloysius. Selain melalui pers, Kelompok Paulus juga melakukan kegiatan-kegiatan kunjungan pasien ke rumah-rumah sakit seperti Panti Rapih, Bethesda dan RS dr Yap. Pada tahun itu muncul pula Kelompok Ignatius yang kegiatannya adalah belajar debat Apologi.

Pada tahun 1934, Kongregasi Maria memunculkan satu kelompok kegiatan lagi yang disebut sebagai Seksi Bosco dengan tiga cabangnya: Aethetica, Pertanian dan Pertukangan.

Pada tanggal 18 Juli 1936, Pater Teppema SJ mendirikan Seksi Theresia yakni kelompok yang berdoa untuk kepentingan orang lain dan pada bulan Agustus menghentikan Seksi Ignatius. Kelompok-kelompok dengan berbagai kegiatan ini mendasari adanya kegiatan-kegiatan pendampingan seminaris dalam bidang rohani, kepribadian, dan kerasulan. Meski sempat dikacaukan oleh situasi perang ketika pecah Perang Asia Timur Raya sejak tahun 1942, namun kegiatan-kegiatan itu tetap berlangsung secara diaspora sebagai bagian dari proses pembinaan calon imam di Seminari St. Petrus Canisius.

Melihat sekilas dinamika pembinaan Seminari Menengah dari awal berdirinya hingga perang Kemerdekaan Indonesia (1911-1941) menunjukkan adanya perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini tampak dari usaha para misionaris dalam menyesuaikan tuntutan pendidikan calon imam standard Roma ke dalam realitas pendidikan para pemuda pribumi. Pada awalnya, mereka dipersiapkan untuk mengalami pendidikan calon imam di Eropa (Belanda).

Secara khusus lagi, dalam kurun waktu 17 tahun pertama, para pemuda pribumi yang memilih untuk menjadi imam itu akhirnya menyatakan diri untuk bergabung dengan Serikat Jesus yang juga memiliki standard khusus dalam mendidik para calon imamnya. Dengan demikian, para pemuda pribumi yang hendak menjadi imam itu dididik secara sederajat dengan para calon imam Jesuit lainnya, dan ketika akhirnya ditahbiskan sebagai imampun, mereka punya kedudukan sederajat (tidak hanya sebagai pastor pembantu para misionaris Belanda).

Meski model pembinaan yang dimaksud dengan standard pendidikan calon imam sesuai tuntutan Roma itu masih bergaya Eropasentris (Belanda), namun beberapa penyesuaian terus diupayakan. Model pembinaan pada awal Seminari masih bergaya Belanda disebabkan karena para misionarisnya berkebangsaan Belanda. Tampak memang Seminari Menengah tidak berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pihak pemerintah Belanda pada umumnya, namun ada penekanan khusus mengenai pelajaran bahasa Latin dan bahasa Yunani.

Pada waktu itu, bahasa Latin dan bahasa Yunani merupakan syarat utama untuk belajar filsafat, teologi dan kitab suci di jenjang Seminari Tinggi. Oleh karena itu, Seminari Menengah merupakan persiapan intensif untuk bisa masuk ke Seminari Tinggi (di Eropa), di samping juga merupakan tempat pelatihan untuk mengarahkan diri di jalan imamat.

Seminari Menengah St. Petrus Canisius pada periode tahun 1911-1941 mengalami dua kali perpindahan tempat (Muntilan-Yogyakarta). Pembangunan di Yogyakarta (1927) dan di Mertoyudan (1936) pada periode itu dilakukan dengan bantuan Serikat Kepausan Santo Petrus Rasul dan juga para donatur dari negeri Belanda. Di samping masih merupakan periode pembangunan, pada tahun-tahun awal ini, proses pembinaan juga masih ditangani sepenuhnya oleh para misionaris Jesuit Belanda dibawah Vikariat Apostolik Batavia.

Para seminaris awal pun pertama-tama didominasi oleh orang Jawa, namun sejak tahun 1921, mulai dididik juga seminaris dari bangsa Eropa dan suku-suku lain di Indonesia. Para seminaris ini dididik untuk menjadi imam bagi umat Katolik bangsa Indonesia, maka pada tahun 1936 segera diikuti dengan berdirinya Seminari Tinggi Diosesan St. Paulus, untuk Vikariat Apostolik Batavia.

Pada tahun-tahun ini, pendidikan calon imam masih belum begitu tertata rapi dan sistematis. Meski demikian, standard pendidikan calon imam sesuai dengan Anjuran Roma seperti terungkap dalam Surat Apostolik Maximum Illud dari Paus Benediktus XV amat diperhatikan oleh para pembina. Hal ini ditunjukkan dengan keseriusan dalam mendidik para seminaris itu dalam hal penguasaan bahasa Latin, Yunani, dan Belanda. Konteks sosial masyarakat Indonesia yang tengah bergolak di kancah perang revolusi kemerdekaan dan juga situasi Perang Dunia I turut mempengaruhi model pendampingan para calon imam tersebut. Hal ini ditunjukkan bagaimana situasi masyarakat Indonesia yang masih miskin dan belum mampu membangun gedung gereja ataupun pembangungan gedung Seminari secara mandiri/swadaya.

 Pada tahun-tahun awal berdirinya Seminari St. Petrus Canisius di Vikariat Apostolik Batavia, perhatian para pemimpin Karya Misi terhadap tumbuhnya pendidikan calon imam pribumi ini cukup besar. Hal ini tampak dalam diri Mgr. P.J. Willekens yang merintis berdirinya Seminari Tinggi St. Paulus untuk pendidikan calon imam diosesan yang akan berkarya di Vikariat Apostolik Batavia. Perhatian Mgr. Willekens tentang pendidikan calon imam pribumi ini terungkap dalam ketaatannya untuk menerapkan Anjuran/Surat Apostolik Para Paus tentang Karya Misi yang secara khusus menyebut perlunya pendidikan calon imam pribumi. (Bersambung)

Artikel terkait:

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here