Sendiri

0
131 views
Ilustrasi (Courtesy of Malta Times)

SENDIRI. Setiap manusia pernah mengalami. Minimal dua kali.

  • Pertama, waktu dia lahir ke dunia.
  • Kedua, waktu meninggalkan dunia ini. Bahkan dalam bunuh diri massal pun masing-masing mati tanpa teman.

“Sendiri” rupanya menakutkan. Atau, minimal mendatangkan syok. Banyak orang takut mati karena harus mengalaminya sendiri.

Bayi yang baru lahir menangis. Mengapa? Mungkin karena syok: merasa sendiri, terpisah dari ikatan jasmani-psikologis ibunya.

Ada orang-orang yang diuji dan dimatangkan hidupnya lewat “sendiri”. Mereka yang terpilih menjadi pemimpin sejati kerap berhadapan dengan “sendiri”. Seorang pemimpin partisipatif pun dilanda perasaan sepi. Rasa itu secara lebih kuat dialami oleh pemimpin yang berpikir, berkata dan bertindak benar.

Pemimpin yang baik masih memiliki banyak teman. Misalnya, pemimpin yang membagi-bagi uang hasil korupsi. Sedangkan pemimpin yang benar kerap dijauhi; bahkan difitnah, dibenci dan dimaki-maki. Secara psikologis dia bagai terisolasi dan kerap merasa sendiri.

Bila hanya mengandalkan manusia, dia tak berdaya. Tanpa Tuhan, tidak mungkin bertahan. Hanya pemimpin yang telah selesai dengan dirinya sendiri dan memiliki modal kuat secara rohani akan mampu menjalani.

“Sendiri” memang bisa meluluhlantakkan hidup seseorang. Namun “sendiri” yang diisi dengan olah rohani dan relasi pribadi dengan Sang Ilahi akan melahirkan kekuatan amat dahsyat, tak tertandingi.

Mengapa? Karena kekuatannya berasal dari Tuhan yang memimpin dan menguasai kehidupan. “Bukankah bagi orang benar Tuhan bercahaya?”

“Pray that your loneliness may spur you into finding something to live for, great enough to die for.” (Dag Hammarskjold)

Malang, 3 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here