“Spotlight”, Mengapa Dapat Oscar sebagai Film Terbaik?

0
1,442 views

BANYAK orang –termasuk saya—sudah telanjur menaruh banyak harapan, bahwa film garapan sutradara Meksiko Alejandro G. Iñárritu dengan bintang papan atas sekelas Leonardo DiCaprio akan memboyong Piala Oscar di ajang Academy Award ke-88 untuk kategori film terbaik. Tapi nyatanya, lebih banyak Oscar datang menjemput film aksi Mad Max: Road Fury. Juga,  Oscar untuk kategori film terbaik malah jatuh ke tangan film anyar Spotlight (2016).

Maka, sudah pastilah saya dibuat kecewa dan barangkali banyak orang yang sebelumnya bertaruh bahwa The Revenant  (2016) akan didapuk menjadi film terbaik dan layak menggondol Oscar untuk kategori tersebut. Nyatanya, Oscar untuk kategori ini jatuh ke tangan Spotlight yang dibesut sutradara Tom McCarthy dengan skenario hasil garapan bareng  McCarthy dan Josh Singer.

Mengapa terbaik?

Sejauh apa hingga Spotlight ini menjadi film terbaik? Itu kira-kira pertanyaan saya yang belum sempat nonton film ini, meski beberapa teman media menganjurkan saya segera meluncur ke bioskop menonton film ini. Alhasil, di hari Senin di penggalan akhir bulan Februari 2016 ini, Spotlight sudah turun layar.

Untuk kalangan awam, barangkali film ini tidak menarik. Namun untuk kalangan orang media apalagi wartawan, film Spotlight mestinya sangat menarik.  Seperti kata teman-teman wartawan yang sudah sempat menonton, maka film itu harus ditonton karena menyuguhkan etos kerja jurnalistik yang prima. Terutama, film Spotlight ini menyuguhkan etos kerja para awak media koran serius yang harus mampu menguak sebuah fakta. Hanya saja, karena hal itu menyangkut skandal urusan seks dan telah melibatkan tokoh terhormat yakni para pastor katolik, maka peritiwa lama itu sengaja ‘dibungkam’ dan kemudian masuk kotak.

Orang takut, kalau-kalau kasus itu diinvestigasi dan kemudian diangkat menjadi sebuah berita malah akan menimbulkan kegaduhan dan kehebohan. Salah-salah, berita heboh itu malah   bisa merusak citra baik sebuah lembaga religiius yang bernama Gereja Katolik.

Maklumlah, etos kerja jurnalisitik ini berkutat pada upaya melahirkan kembali kasus pelanggaran seksual yang banyak dilakukan oleh para pastor katolik di salah satu wilayah administrasi gerejani Keuskupan Agung Boston di Negara Bagian Massachussetts. Dan yang kemudian terjadi adalah koran lokal bernama The Boston Globe lalu berinisiatif membongkar peristiwa lama dan memalukan Gereja ini.

Laporan jurnalistik hasil investigasi The Boston Globe ini sudah meraih hadiah Pulitzer tahun 2003 untuk kategori Prize for Public Service. Tentu saja, film ini juga menjadi heboh, karena sebagaimana kita tahu wilayah Massachussetts –khususnya Boston—adalah wilayah sangat katolik di Amerika. Di sana banyak tinggal orang keturunan Irlandia dengan tingkat kekatolikannya yang tinggi dan kadang-kadang juga sangat puritan.

All the President’s Men

Film Spotlight produksi tahun 2015 dan naik tayang tahun 2016 ini mengingatkan kita pada perjuangan dua wartawan muda di koran terkenal The Washington Post. Mereka adalah Carl Benstein dan Bob Woodward yang berhasil mengangkat skandal politik Watergate ke media massa. Karena Watergate Scandal inilah,  Presiden Richard Nixon dengan jantan rela mengundurkan diri karena partainya ketahuan “mencuri data” di partai penantangnya saat akan berlangsung pemilu pemilihan Presiden AS.

Naskah berita yang dirilis dan diterbitkan oleh koran The Washington Post ini kemudian naik ke layar lebar sebagai film bagus dengan judul All the President’s Men. Film inilah yang kemudian melejitkan pamor akting aktor-aktor muda yakni Robert Redford dan Dustin Hoffman sebagai aktor yang punya masa depan gemilang.

Spotlight dengan latar belakang kisah sejati di Massachussetss menjadi menarik, karena tahun-tahun ini Vatikan dengan Paus Fransiskus-nya juga menaruh perhatian besar pada kasus-kasus seksual yang melibatkan para pastor katolik.

Pastor pun tetap mahkluk seksual

Tidak bisa dipungkiri, bahwa pastor pun itu manusia biasa. Mereka mahkluk ciptaan yang juga punya hasrat seksual. Begitu pula para suster biarawati dan para bruder pun juga tak mampu ‘melenyapkan’ hasrat seksual itu, sekalipun jubah putih atau hitam sudah mereka kenakan sejak mengucapkan janji suci berupa ‘kaul’ untuk hidup sederhana (kaul kemiskinan), wadat (menjaga kemurnian), dan menaruh sikap taat kepada para pembesarnya dan tunduk pada keputusan ordo atau pembesarnya (kaul ketaatan).

Nah, karena Paus Fransiskus mulai keras mengambil sikap tegas terhadap para kardinal, uskup, dan para pastor yang pernah  terlibat dalam skandal seksual –entah dengan lawan jenis atau malahan menjadikan anak-anak laki-laki sebagai objek hasrat seksualnya (pedofil)—maka film Spotlight menjadi naik daun. Tidak hanya di seantero Amerika dan dunia Barat yang kian ‘waspada’ terhadap ‘kejahatan’ kaum berjubah katolik, melainkan juga di negara-negara lain yang menyerukan perlindungan kepada anak-anak agar dijauhkan dari ‘bahaya’ jeratan hasrat seksual para berjubah.

Karena itu, dalam konteks inilah barangkali –ini murni pendapat pribadi—film Spotlight menjadi jawara meraih Oscar sebagai film terbaik di ajang Academy Award ke-88 ini. Padahal, dari sudut sinematografi yang juga terbukti berhasil  meraih Oscar, film The Revenant juga sangat luar biasa justru karena mengambil dasarnya dari kisah nyata. Sudut-sudut pengambilan gambarnya juga hebat, karena sang sutradara memaksa DiCaprio dan seluruh kru film ada di alam liar dan suasana musim dingin yang “asli” sebagaimana biasa terjadi di Kanada dan sebuah negara di Amerika Latin ketika winter melanda kedua negeri di wilayah Amerika Utara dan Amerika Selatan ini.

Tapi ya sudahlah, palu para juri Oscar sudah diketok dan Spotlight berhak memboyong pulang Oscar kebanggaannya sebagai film terbaik tahun ini.

Yang tersisa adalah kewajiban saya untuk segera bisa menonton film terbaik ini, sekalipun bioskop sudah telanjur menurunkan layarnya untuk film tentang kisah para pastor pedofil di Massachussetss, AS, ini.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here