Suster OSA dalam Tantangan Zaman: Meski Masih Acak Kadut, Tetap Semangat Jalani Tugas Pengutusan (7)

0
362 views
Seorang suster misionaris OSA di Ketapang harus rela mencuci dan mengambil air sungai untuk keperluan hidup sehari-hari. (Dok OSA/Repro MH)


BERBAGAI episod perjalanan dan hidup para suster biarawati Kongregasi St. Augustinus dari Kerahiman Allah (OSA) makin memperlihatkan satu pola fenomen yang teramat jelas. Yakni, penghayatan akan kaul religius berupa ketaatan itu tampil mewujud dalam sikap diri para suster biarawati St. Augustinessen yang bisa lepas bebas dan olah batin mereka yang juga menyatakan siap sedia melakukan tugas pengutusan pergi ke mana saja.

Sekalipun bahkan situasi di lapangan masih acak kadut alias tidak karu-karuan. Itu karena segala fasilitas hidup normal juga belum tersedia di Biara OSA yang akan mereka tempati sebagai rumah tempat tinggal.

Mari kita lihat beberapa contoh episode berikut ini.

Pergi ke Tanah Misi Ketapang akhir tahun 1949

Lima suster misionaris OSA dari Nederland –semuanya masih muda-belia—tanpa banyak ba-bi-bu langsung ikut masuk dalam perut Kapal Willem Ruys dan mengalami pelayaran panjang selama kurang lebih lima pekan mengarungi lautan hingga akhirnya sampai di Ketapang di pagi hari tanggal 6 Desember 1949.

Mereka bersedia pergi ke “Tanah Misi” yang sifatnya antah berantah, karena tanpa memiliki informasi yang cukup memadai tentang kondisi Hindia-Belanda (baca: Indonesia) di akhir tahun 1949. 

Dalam sebuah pernyataan memoar mengenai perjalanan mereka dari Pelabuhan Rotterdam menuju Batavia dan kemudian dari Pontianak menuju Ketapang, Sr. Mathea Bakker OSA dan Sr. Euphrasia Laan OSA menyatakan sebagai berikut:

Tidak tersedia informasi apa pun bagi kelima suster misionaris OSA perintis karya misi suster-suster St. Augustinessen itu tentang apa dan bagaimana kondisi Indonesia pada waktu itu.

“Tidak ada koran dan juga tidak ada majalah atau buletin yang bisa kami baca tentang Nederlands-Hindië –tempat bagi kami akan tinggal sebagai misionaris,” ungkap Sr. Mathea Bakker OSA dalam sebuah wawancara di Nederland.

“Kami tidak diberi informasi apa-apa tentang apa itu Ketapang … penduduknya bangsa macam apa dan bagaimana di sana…,” katanya lagi.

Sr. Mathea Bakker OSA malah kemudian berspekulasi “negatif” demikian.

“Bisa jadi, baik Moeder Sr. Agneta OSA maupun Direktur Kongregasi Pastor Stolwijk juga tidak tahu banyak tentang Nederlands-Hindië dan apalagi tentang West Borneo dan Ketapang,” kenangnya

Merintis karya di Tumbang Titi tahun 1953

Sr. Wulfrana OSA sebagai Pemimpin OSA Ketapang di tahun 1953 mengutus dua suster misionaris generasi pertama untuk pergi ke Tumbang Titi. Yang diutus adalah Sr. Euphrasia Laan OSA dan Sr. Desideria OSA yang sebelumnya berkarya sebagai perawat di RS Ketapang milik Pemerintah RI.

Tentu, belum ada “apa-apa”, ketika dua suster bule dari Belanda ini tiba sampai di Tumbang Titi.

Mereka merintis karya kesehatan, pendidikan asrama, dan pendidikan keterampilan khas untuk remaja puteri dari nol.

Tidak ada kisah keluh-kesah pernah muncul dari kedua suster perintis misi OSA di Tumbang Titi tersebut. Sr. Adriana OSA, Sr. Prudentia, dan Sr. Joanita Dekker OSA yang datang belakangan juga hepi-hepi saja di Tumbang Titi.

Sr. Adriana OSA hanya tinggal selama tiga bulan saja di Tumbang Titi. Ia tiba di bulan Agustus 1954 (bersama dengan Sr. Prudentia OSA), namun di bulan November di tahun yang sama ia ditarik pulang ke Ketapang lagi.

Sr. Joanita Dekker OSA tiba di Ketapang langsung dari Negeri Belanda pada tanggal 15 Maret 1958. Setelah menyelesaikan pendidikan keperawatan di RS Sint Carolus Jakarta pada tahun 1960, ia langsung ditugaskan merintis karya kesehatan ibu dan anak melalui BKIA-RSB di Tumbang Titi.

Enam tahun kemudian, karya agung rintisan OSA ini berakhir dengan keputusan: tutup. Tidak terjadi riak-riak protes terhadap hal ini, selain refleksi hidup yang terjadi di rapat Kapitel pertama di tahun 1972.

Mandi dan BAB di kali Menyumbung

Butuh waktu tidak kurang 5-6 jam perjalanan darat plus naik perahu motor dari “pusat kota” Ketapang menuju Menyumbung melalui Sandai.

Itu kisah perjalanan yang dialami oleh tiga orang ibu-ibu sepuh dari Pekalongan, Jateng, ketika mengikuti perjalanan turne Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi paska Natal 2018 hingga awal Tahun Baru 2019 lalu.

Padahal, di tahun 1974 silam, sudah terjadi perjalanan “luar biasa” yang dilakukan oleh dua orang suster OSA perintis karya kesehatan dan rumah biara di Menyumbung. Kedua suster itu adalah Sr. Karina OSA, seorang misionaris dari Belanda, dan Sr. Theresia OSA, suster pribumi angkatan pertama.

Dua orang perintis karya OSA ini tiba di Menyumbung dan yang mereka temukan di sana adalah projek bangunan itu masih dalam taraf pengerjaan. Meski demikian, mereka tidak berkeluh kesah.

“Mencuci dan keperluan MCK ya harus terjadi di sungai,” kenang Sr. Theresia OSA.

Amat susah dibayangkan bagi orang Barat seperti Sr. Karina OSA bahwa dia harus rela mandi dan juga BAB di kali. Tapi toh akhirnya, hal itu tetap dia mau lakukan juga, karena di rumah biara yang masih dalam pengerjaan itu belum tersedia apa pun. Termasuk juga belum ada KM-WC dan apalagi dapur, dan kamar pribadi.

Di sini tidak ada keluh kesah. Malah, Sr. Theresia mengisahkan “kisah pilu” di Menyumbung itu dengan banyak gurau dan ketawa-ketiwi.

Ngungsi ke Malang Selatan

Kabar baik menyapa Kongregasi suster OSA dari Ketapang di tahun 1975. Mereka diundang oleh Vikaris Apostolik Malang waktu itu, Mgr. Antoine Everard Jean Avertanus Albers O.Carm, untuk bersedia mengelola karya kesehatan di Ngadiroso, Tumpang, Malang.

Maka, dengan super semangat Sr. Wulfrana OSA dan Sr. Maria Goretti segera berbenah diri dan dalam sekilas mereka langsung meninggalkan Ketapang menuju Malang di Jatim.

Apa yang mereka temui di Tumpang, Malang, di tahun 1975 itu?

Ternyata projek bangunan biara dan karya masih dalam proses dikerjakan alias belum rampung. Karena kondisi itu, kedua suster itu lalu pergi “mengungsi” ke kawasan Malang Selatan dan kemudian menumpang mondok (indekos) di Biara Susteran Misericordia (MISC).

Tidak terlalu lama mondok hidup di Biara MISC, hingga sekali waktu Sr. Wulfrana OSA memutuskan akan menempati bangunan biara dan rumah sakit di Tumpang itu, walaupun kondisinya masih “acak kadut”.

Empat contoh episod kehidupan para suster OSA yang hidup dalam aneka tantangan zaman, namun semangat mereka tetap “aman terkendali”.

Tidak terjadi kendor spirit melewati berbagai ujian di lapangan karya tersebut. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here