“Tak Mudah Hadapi Mental Masyarakat Papua” ; Berpastoral di Pedalaman Kokonao, Papua (8)

0
1,951 views

Di pengunjung 2008, saya ke Potowai Buru, selama satu minggu saya tinggal di sana. Kami berangkat dari Kokonao jam 24.00 dan tiba baru keesokan harinya, tepatnya jam 11.00 siang.

Potowai Buru terletak di pesisir laut Arafura. Inilah perjalanan yang cukup jauh dari pusat paroki yaitu kokonao.  Perjalanan pada malam hari memang mengasikkan. Di tengah-tengah laut kita dapat melihat langit yang cerah bertaburan bintang.  Dan desirin angin laut yang menerpa perahu kami.

Setelah lama terguncang-guncang di atas laut, akhirnya pada siang hari kami sampai di potowaiburu. Perahu kami terus melaju menyisir sungai yang semakin kecil. Pada akhirnya kami berhenti di sebuah genangan  air yang cukup luas, dimana tiga mata air bergabung menjadi satu, membentuk sungai dan mengalirkan airnya menuju ke laut.

Kemudian kami berjalan kaki kurang lebih dua ratus meter menunju ke pastoran. Kami melalui jalan setapak membelah hutan lebat, banyak suara binatang yang seakan menyambut kedatangan kami. Seperti melalui sebuah lorong yang tidak terlalu panjang, di kejauhan tampak cahaya terang yang menyeruak masuk.

Itulah ujung jalan setapak yang kami lalui. Siang yang kami lalui terasa petang hari, karena mendung pekat menggantung di langit, belum lagi ditambah dengan hutan perawan yang tidak tembus cahaya matahari. Tak lama kemudian kami sampai di sebuah bangunan yakni pastoran. Saya berpikir seperti pada umumnya pastoran pastilah dibangun di tengah-tengah umat, agar mereka dapat dengan mudah datang dan menemui imamnya.

Ternyata dugaan saya salah. Letak pastoran jauh dari umat dan juga gereja. Untuk ke gereja paroki membutuhkan waktu kurang lebih satu jam menyusur sungai.

Segar
Karena udara sangat panas dan matahari sangat bersemangat memancarkan sinarnya, maka saya pergi ke belakang pastoran untuk mandi. Di belakang pastoran ada genangan air yang luas, yang merupakan tempat penampungan alami tiga mata air gunung yang bertemu dan membentuk sungai yang kemudian mengalir ke laut arafura.

Genangan air yang luas itu terasa sangat segar, mandi di tengah hutan ditemani kicawan burung. Sembari mandi kita juga dapat langsung melihat ikan yang berkeriapan di dasar sungai. Mereka seakan menemaniku yang sedang mandi. Sungai yang amat jernih, sehingga memungkinkan kita melihat dasar sungai dan berbagai jenis ikan yang ada di dalamnya. Genangan air ini menjadi pemandian pribadi bagikku, semacam kolam pribadi. Mungkin satu-satunya pastoran yang memiliki kolam renang alami hanya ada di Potowaeburu.

Setiap pagi aku dapat menikmati kicauan berbagai jenis burung yang bernyanyi menyambut pagi. Sementara  sore hari  menikmati suara dan pemandangan burung yang  terbang pulang ke sarangnya. Sore hari terkadang aku gunakan untuk merenung dan berpikir bagaimana mengembangkan iman umat yang mempunyai pola pikir yang amat sederhana. Menyadarkan mereka bahwa kehidupan hari ini harus semakin baik dari hari sebelumnya.

Terus terang tidak banyak yang dapat aku lakukan. Terbentur oleh mentalitas yang tidak memiliki rencana akan masa depan. Mendapat ikan dari hasil memancing atau menjaring maka ikan itu akan habis untuk hari ini. Mendapat dana RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung) atau  BLT, maka uang itu akan habis tidak lebih dari tiga hari untuk beli rokok, gula, kopi.

Tidak ada kegiatan pastoral selain perayaan ekaristi. Banyak kendala yang tidak mudah untuk diatasi. Bukan hanya karena umat banyak yang tidak mengerti baca tulis, tetapi juga sulit menanamkan pengertian akan hidup menggereja. Harus kuakui, sebagai pastor muda yang baru ditahbiskan, hal ini tidak mudah untuk kulalui. Ilmu yang baru saja aku peroleh seakan dimentahkan oleh mentalitas dan kebiasaan yang aku jumpai di tempat pastoral. Namun demikian, aku semakin mengalami dan menyadari bahwa di tempat inilah aku ditempa untuk sesuatu yang pastilah lebih berguna kelak.

Refleksi
Sesulit apapun pengalaman atau peristiwa yang kita alami, pastilah mengajarkan sesuatu yang akan berguna bagi pemaknaan hidup kita selanjutnya. Tujuan hidup kita yaitu  Allah sendiri, Dialah yang akan membimbing dan menemani kita dalam peziarahan hidup ini. Yakinlah bahwa sesulit atau bahkan penderitaan apapun yang kita alami pastilah dibalik itu ada suatu makna yang mendalam yang ingin Ia sampaikan pada kita. Seperti emas yang murni harus ditempa dalam panas api, demkianlah sesungguhnya hidup kita. Tujuanya tidak lain adalah agar kita semakin matang dan dewasa dalam menjalani hidup ini.

Semestinya kita patut bersyukur bahwa kita boleh mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan, sebab tidak semua dapat mengalaminya. Kalau kita mengalami kesulitan atau bahkan penolakan dalam tugas atau perutusan kita, kita mesti sadar bahwa tugas itu tidak kita jalani seumur hiudp kita. Maka semestinya kita bisa bersikap ringan saja, bisa menghendel atau bahkan mengatasi ketidakkerasanan atau penolakan kita. Kata orang “be happy, don’t worry” Dibalik kebahagiaan itulah kita akan semakin menemukan makna dari tugas yang kita kerjakan, walau dalam hati mungkin kita menolaknya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here