Tiga Alasan Mengapa tak Perlu ‘Terlalu Marah’ pada Pelaku Perusakan Gedung Gereja

1
2,452 views
4 Maret diresmikan Uskup, Kapel Stasi St. Zakharia Rantau Alai – Paroki St. Maria Ratu Rosario Seberang Ulu Palembang Dirusak dan Dibakar (Ist)

1…. karena Tuhan Yesus sendiri anti-kekerasan.

Gedung gereja memang menjadi simbol dari kehadiran Tuhan di tengah kita. Bila bangunan dirusak dan dihancurkan, wajar bila hati kita terusik dan tergelitik oleh amarah. Namun demikian, amarah – dalam kadar rasional – tidak boleh memicu rasa panik dan tindak kekerasan apa pun sebagai bentuk balas dendam.

Amarah kita tidak boleh membuat kita gagal menjadi pribadi yang welas-asih dan pemaaf. Kita tentu tidak asing dengan sabda Tuhan Yesus ini: “…tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (Mat 5:39).

Bila kita merasa marah dan merasa perlu ‘membela Tuhan’ dengan balik menghancurkan, balas menjelekkan dan melukai hati saudara-saudari yang beriman lain, dengan sendirinya, kita tidak lagi menjadi Kristiani.

a. “Bagaimana dengan kisah ‘kekerasan’ Yesus sendiri?”

Dalam kisah ‘Pembersihan Bait Allah’ (Yoh 2:13-25), Tuhan Yesus dikisahkan mengusir para pedagang ternak dan penukar uang di pelataran Bait Allah.

Bahkan, Ia membalik meja, meluluh-lantakkan semua koin yang dipakai oleh para pedagang itu dan membubarkan aneka ternak kurban dengan cambuk.

  • Pertanyaannya: “Apakah Tuhan Yesus dalam perikop Injil ini mengajarkan kekerasan?”
  • Jawabannya: tidak.

Kisah ini harus dibaca-baik-baik agar tidak salah tafsir.

(1) Yesus tidak melukai siapa pun karena cambuk yang Ia buat berbeda dengan cambuk yang dipakai oleh orang Yahudi pada masa itu. Orang Yahudi biasanya membuat cambuk dengan ujung besi kecil untuk ternak mereka. Namun Yesus hanya “membuat cambuk dari tali” saja. Dalam perikop ini, tidak pernah disebutkan bahwa Yesus mencambuk orang-orang atau hewan-hewan ternak.

(2) Hal ini sesuai dengan perintah Taurat yang melarang orang Yahudi membawa senjata ke Bait Allah. Pasukan Herodes yang berjaga di Bait Allah pasti tidak tinggal diam,  bila Yesus memang membawa senjata.

(3) Origenes (184-253 M) dan Cosmas Indicopleustes (550 M) memberi tafsir bahwa Yesus menunjukkan kuasa-Nya sebagai Putera Allah dalam pembersihan ‘rumah Bapa’. Hewan-hewan dibebaskan dari pembunuhan dan praktik jual-beli yang tidak jujur dan tidak adil dihentikan oleh Yesus. Semua ini menunjukkan justru Yesus sebagai Putra Allah adalah Pribadi yang anti kekerasan dan ketidak-adilan. 

b. “Bagaimana dengan ajaran Gereja Katolik tentang ‘perang yang adil’?”

Memang ada prinsip ‘perang yang adil’ dalam ajaran Gereja (St. Agustinus dari Hippo and St. Thomas Aquinas) yang mengizinkan kekerasan dalam proporsi tertentu sebagai jalan terakhir saat perdamaian dan keadilan tidak lagi dapat diperjuangkan dengan cara lain (bdk. Katekismus Gereja Katolik 2307-2317).

Namun ajaran ini hanya berlaku dalam:

  • situasi darurat perang antar negara yang dinyatakan oleh kuasa legitim sebuah negara berdaulat;
  • dalam kondisi di mana akibat perang harus diminimalkan sejauh mungkin. Ajaran tentang ‘perang yang adil’ ini dimulai dengan seruan kewajiban untuk menjaga dan menciptakan perdamaian. Jadi, ajaran ini tidak dapat diterapkan untuk kekerasan demi membela Gereja; apalagi untuk ‘balas dendam’.

c. “Bagaimana dengan ajaran Gereja Katolik tentang ‘membela diri’?” 

Kita boleh membela diri dalam keadaan terancam keselamatan nyawa – karena hak hidup adalah hak yang diberikan oleh Tuhan sendiri. Membela diri sampai mengakibatkan pelaku celaka dapat dibenarkan sejauh:

  • memang kita terancam kehilangan nyawa;
  • dalam batas yang sewajarnya (lih. Katekismus Gereja Katolik 2263-2265).

Katekismus menegaskan ajaran St. Thomas Aquinas: “”Kalau seorang, waktu membela hidupnya sendiri, mempergunakan kekuatan yang lebih besar daripada sewajarnya maka ia tidak dibenarkan. Tetapi kalau ia menangkis kekerasan dengan cara yang layak, maka pembelaan itu dibenarkan…” (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 2264).

Dalam kasus pembakaran gedung gereja atau perusakan patung-patung suci, argumen pembelaan diri ini dapat berlaku sejauh dapat terukur dan mencegah kejahatan yang lebih besar.

Dalam kasus di Gereja St. Lidwina, Bedog, Sleman, DIY,  tindakan polisi untuk menembak kaki pelaku dapat dibenarkan karena:

  • polisi adalah otoritas kenegaraan yang berfungsi melindungi warga negara;
  • dan karena tindakan menembak kaki itu terukur wajar dan layak karena penyerang membawa pedang dan telah melukai beberapa orang.

Namun sekali lagi, usaha membela diri ini hanya sah bila motivasinya untuk ‘menyelamatkan nyawa’; bukan pertama-tama karena ‘benci pada pelaku’ atau karena ‘ingin membawa celaka’ untuk pelaku.

Lebih lagi, pembelaan diri ini hanya membenarkan kekerasan yang terukur, yang sewajarnya.

d. Jadi, kesimpulannya?

Dalam kasus penghancuran bangunan Gereja, balasan kita dengan kekerasan tidak dapat dibenarkan oleh alasan apapun. Ajaran Gereja tentang ‘perang yang adil’ dan tentang ‘pembelaan diri’ tidak dapat diterapkan sebagai dasar untuk membalas-dendam pada pelaku dan apalagi untuk balik menghancurkan saudara kita yang berbeda iman.

Sekali lagi, kekerasan dalam bentuk apapun – pikiran, perkataan dan perbuatan – adalah tidak Kristiani.

Bahkan tindakan yang tampak sepele – seperti membuat status kebencian di media sosial pada pelaku dan afiliasi keagamaannya – dapat bertentangan dengan ajaran iman dan moral Kristiani.

  1. … karena para pelaku – sejahat apa pun – adalah saudara kita.

Rasa marah yang berlebih berpotensi membuat kita lupa bahwa sejatinya para pelaku pengrusakan dan penghancuran Gereja itu adalah juga saudara kita.

  • Kita menolak untuk membenci saudara sendiri.

Para penyerang atau perusak Gereja bukanlah musuh; bukan pula iblis. Para pelaku itu – sejahat apa pun – adalah saudara kita yang lahir dalam “gambar dan rupa Allah” (Kej 1:26) yang sama dengan kita semua.

Kita sama-sama lahir dalam harkat yang mulia.

Kesadaran inilah yang mestinya membuat kita tidak buru-buru membawa label ‘teroris’ atau ‘radikalis’ pada mereka. Kita boleh marah pada perbuatan mereka (dan ini dibenarkan karena obyek primer dari rasa benci itu adalah kualitas atau tindakan konkret dari pelaku).

Namun, jangan kita sampai membenci pribadi pelaku.

Mengapa? Karena kebencian jenis ini melawan kasih (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 2303). Kebencian, sahabatku, dapat membutakan mata hati kita untuk melihat karya Tuhan yang lebih besar.

  • Ada tahapan menuju kedewasaan psikologis dan moral. 

Selalu ada orang-orang yang menggunakan agama sebagai alasan untuk menyakiti dan melukai sesamanya. Sepanjang sejarah kita melihat bagaimana agama disalah-gunakan untuk membawa celaka dan tragedi.

Saya yakin, bukan pertama-tama ‘agamanya’ yang keliru, namun manusia yang menganutnya-lah yang memberi penafsiran keliru terhadap ajaran agamanya.

Butuh kedewasaan psikologis dan kedewasaan moral untuk mejadikan agama sebagai nilai yang membela kemanusiaan – dengan segala perbedaannya.

Bila kita berjumpa dengan mereka yang mudah ‘kafir-mengkafirkan’ sesama manusia; atau yang mudah merusak dan menghancurkan keyakinan liyan, semestinya kita tidak membenci dan justru makin ber-welas-asih.

Mengapa? Karena kelompok manusia yang sarat kebencian ini sejatinya belum dewasa secara psikologis dan secara moral.

Bila Anda mudah tergerak oleh rasa kasihan pada saudara yang berkebutuhan-khusus karena cacat pada fisiknya, bukankah Anda mestinya juga berbelas-kasih pada saudara-saudari yang masih terhambat kematangan psikologis dan moralnya?

Jadi, bila Anda sampai membenci para pelaku kekerasan, kualitas kejiwaan dan iman Anda juga patut dipertanyakan.

3.… karena Gereja – Tubuh Mistik Kristus – tidak bisa dihancurkan oleh apa pun.

Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus. Apa maksudnya? Istilah “Tubuh Mistik Kristus” mengacu pada persekutuan nyata para anggota Gereja (baik hidup maupun mati) dengan Yesus Kristus, yang adalah Kepala, dan dengan satu sama lain melalui pencurahan rahmat Roh Kudus (lih. Katekismus Gereja Katolik no. 787-795).

St. Paulus menuliskan: “… sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota …  demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.” (Rom 12:4-5).

Kata ‘Gereja’ sebenarnya menunjuk pada ‘persekutuan jemaat’ dan bukan pertama-tama pada ‘gedung’ atau ‘bangunan fisik’.

Bersama-sama Memperbaiki Kapel St Zakaria

Maka, bila kita mendengar, melihat, mengalami aneka bentuk penganiayaan jemaat, perusakan dan penghancuran gedung gereja, kita dapat mengatakan bahwa “Tubuh Mistik Kristus” tidak akan dapat dihancurkan oleh api kebencian, oleh pedang penindasan, oleh palu dan gada apa pun.

Mengapa? Sekali lagi, karena tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus pada jemaat-Nya. “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?

Seperti ada tertulis:

“Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan. Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita!.” (Roma 8:35-39).

* * *

  • Tulisan ini digoreskan di Hales Corners – di bulan Februari dan Maret 2018.
  • Saat di mana Gereja St. Lidwina – Yogyakarta dan Kapel St. Zakaria – Sumatera Selatan diserang dan dirusak oleh kebencian.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here