Tindakan Adalah Rumah Ibadah Orang Beriman (1)

0
1,349 views

[media-credit name=”lovecom” align=”alignright” width=”259″][/media-credit]Orang yang tenggelam
Tidak terganggu oleh hujan
(Kearifan lama)

Apa yang kita lakukan dalam hidup ini sebenarnya tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah kita telah melakukannya. Manusia mendefinisikan dirinya dengan perilakunya. Apa yang telah kita lakukan, sebenarnya sudah kita lakukan dan kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, selain mengubah apa yang belum terjadi.

Dalam banyak tradisi kerohanian, tindakan adalah laku tertinggi dalam praktik kesucian. Doa melalui tindakan (contemplativus in actione) menempati level tertinggi dari hirarki doa itu sendiri. Manusia-manusia suci tak tergantung lagi dengan ritual untuk memanjatkan doa, tak tergantung lagi dengan tempat ibadah untuk hening.

Melalui tindakan, mereka berdoa dalam perilaku yang sederhana setiap hari. Manusia seperti ini tak terganggu oleh kebisingan sekitar, atau terganggu oleh kesibukan yang menumpuk. Setiap tarikan nafas, kedipan mata, gerakan tubuh, ucapan kata, adalah gerakan-gerakan doa yang dia lakukan. Tindakan adalah rumah ibadahnya.

Orang beragama cengeng
Suatu hari, ada iring-iringan raja dengan segenap pengawalnya. Kereta berkuda berderap ramai memasuki suatu desa, hingga menggugah hampir seluruh warga berdiri di pinggir jalan, ingin melihat bagaimana raja dan rombongannya lewat.

Di sela-sela keramaian, ada seorang pemuda yang berjalan menyusuri jalan tersebut, hingga ia melihat ada seorang pandai besi yang tetap bekerja menempa besi-besi yang sudah dipanggangnya di api. Si pandai besi itu kelihatannya tidak terusik dengan kedatangan sang Raja, ia tetap bekerja seperti sedia kala.

Maka pemuda itu mendekatinya dan bertanya, “Apakah kamu tahu, siapa yang baru saja lewat di pinggir jalan?” Lalu si pandai besi itu menjawab, “Aku tidak tahu.” Maka, sejak saat itu, si pemuda memutuskan untuk berguru kepada si Pandai Besi dan menjadi muridnya.

Banyak orang beragama saat ini menjadi cengeng. Sedikit ada suara berisik di luar tempat ibadah, mereka marah-marah dan merasa terusik. Ada seorang pemuka agama yang marah-marah di atas mimbar, karena di belakang ada suara anak-anak yang sedang bermain dan ada yang menangis.

Pemuka agama ini mengatakan, suara-suara itu mengganggu kekusukan dan kekidmatan berdoa. Suatu kali, Yesus sedang mengajar orang-orang yang berkerumun mengikuti-Nya, hingga tiba-tiba Ia mendengar suara gaduh anak-anak di luar yang hendak masuk ke ruangan tetapi diusir oleh para murid-Nya.

Maka Yesus berkata, “Kenapa kalian usir anak-anak itu, biarkanlah mereka masuk, sebab anak-anak inilah yang empunya Kerajaan Surga. Kalau kalian tak mau menjadi seperti anak kecil ini, kalian akan kehilangan surga.”

Tuhan yang salah

Jika Tuhan hanya kita temukan di tempat yang tenang dan damai, ber-AC dan bersih, dan tidak bisa kita temukan di tempat yang berisik dan kumuh, maka kita telah menemukan Tuhan yang salah.

Si Pandai Besi, adalah teladan kita, bahwa dalam pekerjaannya dia sedang melakukan hubungan yang intim dengan Tuhan, sampai-sampai, suara-suara di luar sana menjadi tiada. Keintiman dan keheningan kita bersama Tuhan, mengalahkan keramaian dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh dunia ini.

Suara-suara di luar sana, tak ubahnya suara televisi atau radio, bisa kita atur volumenya, besar atau kecil, atau kita matikan sama-sekali. Si Pandai Besi adalah teladan kita, bahwa ibadah dan perilaku, adalah satu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here