Traveling Dua Pekan ke Thailand: Mana Lebih Utama, Bangkok atau Chiang Mai? (1)

0
644 views
Salah satu vihara di kawasan Old City di Chiang Mai, Thailand. (Mathias Hariyadi)

SETIAP orang tentu punya preferensi masing-masing untuk mengisi rute perjalanan liburannya di Thailand. Bagi mayoritas orang Indonesia, pergi berwisata ke Thailand, bisa jadi pilihan utamanya adalah kota-kota yang relatif sudah dikenal akrab.

Taruhlah itu Bangkok –Ibukota Negara Gajah Putih–, Pulau Krabi, Pantai Pattaya yang berlokasi sedikit di luar Kota Bangkok, dan Phuket. Kota-kota wisata ini praktis sudah sangat ngetop bagi kaum wisatawan Indonesia yang menyenangi wisata kawasan pantai, kota metropolis. Pendek kata, kota wisata itulah tujuan perjalanan wisatanya.

Sengaja memilih Chiang Mai

Saya justru tidak memilih semua kota itu. Pilihan utama saya adalah Chiang Mai, sebuah provinsi di Thailand yang letaknya jauh di utara Bangkok.

Butuh terbang sedikitnya selama 45 menit dengan pesawat terbang jet –dan bukan baling-baling—dari Bandara Udara Internasional Don Mueang (atau sering hanya ditulis Don Muang) menuju Bandara Udara Internasional yang dalam dunia penerbangan sejagad dikenal dengan kode sandi CNX.

Tentu, orang akan bertanya mengapa pilihan saya justru ke CNX dan kemudian masuk “kota tua” di Chiang Mai?

Ini punya jejak rekam historis yang sifatnya personal.

Sebuah bangunan dengan arsitektur artistik di kawasan Old City di Chiang Mai, Thailand.
Bangunan untuk merawat badan agar tetap tampil indah dan bugar.

Beberapa tahun lalu, ada pastor Jesuit Indonesia bernama Romo Puspobinatmo SJ yang lama bertugas di Chiang Mai. Saya pernah menemui pastor Jesuit ini pertama kali di Collegio del Gesu di Roma kurun waktu tahun 1999 dan selang beberapa tahun kemudian ingin bertemu kembali di Chiang Mai –tempatnya bertugas saat itu.

Usut punya usut, ternyata Romo Puspobinatmo SJ sudah pindah tugas ke Myanmar. Namun, “undangan” mengajak datang untuk sesekali bisa mengunjungi Chiang Mai masih saja tersimpan hangat di benak.

Chiang Mai, kata imam Jesuit asal Muntilan ini, dikenal sebagai kota wisata alam dan budaya lokal khas Thailand dengan andalan utamanya adalah hawanya sangat  sejuk, tidak ada kemacetan lalu lintas seperti di Bangkok, juga ada banyak vihara.

Satu yang tak kalah penting, demikian bujuknya waktu itu, hanya melalui Chiang Mai maka perjalanan ke arah paling utara di Negeri Gajah Putih ini bisa terjadi dengan mudah. Baik itu melalui jalur udara dengan terbang atau jalur darat dengan naik mobil menuju Provinsi Chiang Rai dan Golden Triangle –kawasan eksotik yang mempertemukan tiga negara yakni Thailand, Myanmar, dan Laos.

Karena alasan-alasan itulah, maka saya memilih Chiang Mai sebagai tujuan wisata mandiri alias traveling model backpacker ke Negeri Gajah Putih ini.

Bangunan vihara yang megah dan indah.

Connected flight Jakarta-Chiang Mai

Hingga medio Desember 2018 ini, belum ada layanan penerbangan langsung dari Jakarta menuju Chiang Mai di Thailand. Untuk bisa terbang ke Chiang Mai, maka rute yang harus dipilih adalah (1) rute terbang Jakarta-Bangkok (bisa mendarat di Bandara Iternasional LCTT Don Muang atau Bandara Internasional Suvarnabhumi) dan baru kemudian (2) rute terbang dari Bangkok menuju Chiang Mai.

Penerbangan langsung jenis low budget alias kategori murah-meriah rute Jakarta-Bangkok tersedia dengan AirAsia dan Thai Lion Air. Kedua maskapai ini menyediakan connected flight menuju Chiang Mai.

Kali ini, saya bersama rombongan berjumlah empat orang cewek semua memilih Thai Lion Air dengan pertimbangan praktis-ekonomis: tidak perlu keluar biaya ekstra untuk membeli atau pesan seat di kabin (sebagaimana kebijakan ini sering diterapkan oleh AirAsia), kapasitas bagasi maksimum 20 kg plus 7 kg tentengan tas ransel atau lainnya boleh dibawa masuk ke kabin, dan yang paling utama jadwal terbang di pagi hari pukul 06.35 WIB dari Bandara Soekarno Hatta.

Bagasi langsung ke Chiang Mai

Karena jumlah rombongan traveling ke Chiang Mai ini ada sebanyak lima orang, maka bagasi kami rata-rata berat dengan tas atau kopernya jadi sangat beragam. Tiga koper besar plus dua koper kecil dan itu pun masih ditambah lagi dua ransel jinjing yang dibawa sendiri oleh masing-masing penumpang karena berisi barang-barang pribadi yang berharga (kamera, laptop, videocam, duit, paspor, dan lainnya).

Untunglah bahwa sejak di check-in desk di Cengkareng, semua bagasi berat-berat itu sudah bisa diurus untuk langsung diterbangkan menuju Chiang Mai. Dua jenis boarding pass untuk terbang dari Jakarta menuju Bangkok  dan terbang dari Bangkok menuju Chiang Mai juga sudah diterbitkan oleh otoritas Thai Lion Air Jakarta.

Itu berarti, kami tidak perlu keluar dari Imigrasi Thailand di Bandara Bangkok dan juga tidak perlu mengurus koper namun  membiarkan semua barang bawaan sudah bisa “terbang sendiri” menuju Chiang Mai.

Thai Lion Air di Bandara Internasional Don Muang, Bangkok, Thailand. (Mathias Hariyadi)

Langsung ke akses jalur transit

Kami tiba dengan selamat di Bandara Don Muang, Bangkok menjelang tengah hari. Penerbangan dari Jakarta menuju Bangkok ditempuh selama kurang lebih 3 jam 20 menit.

Setiba di Bandara Don Muang, kami langsung menuju akses transit ke jalur penerbangan lokal.

Namun, sejenak kami melihat polisi imigrasi Thailand mengamati gerak-gerik para penumpang yang baru saja turun mendarat di Don Muang. Mereka melakukan security checking secara acak. Mereka dengan wajah-wajah “layak dicurigai” sudah dicegat lebih dulu di koridor sebelum sampai di terminal imigrasi.

Kami berlima “sukses” masuk ke jalur transit penerbangan lokal. Tapi, nyaris tidak ada “kegiatan” sama sekali di lorong transit menuju penerbangan lokal itu.

Turis bule melakukan “meditasi” di trotoar jalanan di Old City, Chiang Mai.

Keraguan sempat membuat kami maju-mundur: ya atau tidak. Benar atau salah.

Maka, kami pun lalu bertanya kepada para polisi imigrasi itu. Ketika mereka bertanya darimana kami berasal, rasanya jawaban serempak kami “dari Indonesia” membuat mereka menyungging senyuman.

Arrival card

Thailand rupanya tetap memberlakukan kebijakan mengisi formulir arrival card untuk para WNI ketika hendak memasuki kawasan Negeri Gajah Putih ini. Semula, saya sempat berpikir bahwa hal itu sudah tidak perlu lagi karena Indonesia adalah negara anggota ASEAN yang tidak memerlukan visa masuk ke Thailand.

Nah, ternyata arrival card ini pula yang ditanyakan petugas intel imigrasi ini, selain boarding pass terbang dari Bangkok menuju Chiang Mai yang sudah diterbitkan otoritas Thai Lion Air di Cengkareng.

Untunglah, formulir arrival card itu sudah kami isi secara lengkap.

Boarding pass dan arrival card diminta oleh petugas transit yang sudah menanti kedatangan kami di ujung koridor akses penerbangan transit. Di situ hanya ada dua layanan desk penerbangan lokal yakni Thai Lion Air dan AirAsia.

Sebenarnya, rute penerbangan dari Bangkok menuju Chiang Mai banyak disediakan oleh maskapai penerbangan lokal di Thailand. Taruhlah itu Bangkok Airways, NokAir yang menurut hemat saya masuk kategori low budget.

Salah satu sudut Old City di Chiang Mai.

Namun karena kepentingan kami adalah connected flight dan membiarkan semua bagasi kami “terbang sendiri langsung” ke Chiang Mai, maka Bangkok  Airways dan NokAir bukan menjadi pilhan kami.

Arrival card diperiksa petugas transit dan mereka kemudian menerbitkan boarding pass baru untuk kami. Semua stiker kode bagasi dicek ulang untuk dipastikan bahwa semua barang itu harus “ikut terbang” ke Chiang Mai.

Petugas imigrasi memeriksa seluruh dokumen wisata kami dan dok… dok… dok… akhirnya semua paspor kami beroleh cap boleh masuk Thailand dan boleh melanjutkan penerbangan berikutnya menuju Chiang Mai.

Koper “hilang” di Chiang Mai

Kami berlima mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Chiang Mai. Penerbangan dari Bangkok menuju kota wisata di kawasan utara Thailand ini menempuh waktu terbang selama 45 menit.

Semula, kami mengira bahwa rute penerbangan Bangkok-Chiang Mai ini akan dilayani pesawat baling-baling. Dugaan ini sempat tertahan di benak kami lantaran beban maksimum bagasi tidak boleh melebihi 10 kg dan tas jinjing masuk kabin tidak boleh melebihi 7 kg.

Ternyata, koper-koper besar kami dengan berat hampir menyentuh angka timbangan 20 kg tetap saja “aman”. Tas-tas jinjing kami tidak perlu dilakukan cek timbangan lagi.

Ketika kami sampai di areal baggage claim, kami dibuat kikuk karena selama 20 menit menunggu bagasi, semua koper kami tidak pernah muncul di jalur conveyor belt (ban berjalan).

Koper kami hilang beneran.

Saya dan teman bereaksi biasa saja, karena kami punya asuransi kesehatan dan perjalanan sehingga hilang atau rusak maka claim penggantian bisa diajukan kepada pihak jasa asuransi.

Namun, anggota yunior di rombongan kami sudah mulai cemas ketika koper-kopernya tidak pernah muncul di jalur ban berjalan.

Saya berinisiatif bertanya kepada petugas claim bagasi. Ia hanya bertanya dan memastikan apakah kami datang dengan penerbangan internasional. Jawaban “ya” menjadikan dia punya petunjuk langsung kemana koper-koper kami ini sebenarnya “telah mendarat dengan selamat” namun di jalur ban berjalaan berbeda.

Kami tiba di arrival gate penerbangan lokal (domestik). Sedangkan, koper-koper kami masuk kategori “penerbangan internasional” dari Jakarta-Bangkok lalu ditransferkan masuk ke perut pesawat menuju Chiang Mai.

Akhirnya, kami harus berjalan 400 meter dari exit gate penerbangan domestik menuju exit gate penerbangan internasional.

Terminal kedatangan domestik di areal baggase claim di Bandara Internasional Chiang Mai, Thailand. (Mathias Hariyadi)

Pertanyaannya, apakah kami yang sudah keluar dari gerbang exit gate ini boleh masuk lagi ke entrance gate di sektor arrival terminal di jalur penerbangan internasional?

Pertanyaan ini mengganggu benar. Namun, keramahan petugas bandara Thailand membuat ketegangan saya menyurut. Dengan menunjukkan boarding pass dan e-ticket serta stiker bagasi, maka kami berlima boleh masuk ke areal terlarang dengan “dispensasi”.

Le voila! Di sana sudah ada koper-koper kami “nyangkut” di conveyor belt jalur kedatangan internasional yang boleh dikatakan masuk kategori “lost and found” lantaran sudah 20 menit tidak ada “pemilik” yang mengambilnya.

Tanpa banyak cincong lagi, kami langsung mengambil semua bagasi itu dan membawanya keluar.

Lega sudah. Badan letih dan mata ngantuk sudah sedikit terobati, karena kecemasan lantaran koper “hilang” sudah tidak ada lagi.

Selamat datang di Chiang Mai. (Berlanjut)

Traveling Dua Pekan ke Thailand: Pesona Chiang Mai (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here