Tuli dan Gagap: Hanyut dalam Arus Dunia Modern (2)

0
1,105 views
Ilustrasi: Komunikasi pasutri di dalam keluarga. (Ist)

SAYA dibantu seorang pengusaha untuk berkeliling mencari dana. Pada suatu sore, kami lewat di Gereja Katedral. Ia mengajak ikut misa di Katedral. Karena katanya: “Selama setahun ini saya sudah 4 kali tidak ikut misa harian!”

Pengusaha ini begitu sibuk, tetapi masih mau menyediakan waktu untuk hadir dalam misa setiap hari dan merasa tidak ikut misa harian selama 4 kali itu sudah terlalu banyak. Orang lain selalu membawa Kitab Suci kemana-mana, agar dalam waktu senggangnya dapat mendengarkan Sabda Tuhan. Kita mungkin tidak sampai seperti orang-orang itu. Tetapi waktu untuk berdoa adalah waktu yang kita sediakan sendiri. Ada tidak adanya waktu, itu kita yang menentukan

Seorang dosen sedang memberi kuliah tentang manajemen waktu pada para mahasiswanya. Ia berdiri depan kelas dan mengeluarkan sebuah ember kosong dan meletakkannya di meja. Kemudian  ia mengisi ember tersebut dengan batu sebesar kepalan tangan. Ia mengisi  terus hingga tidak ada lagi batu yang cukup untuk dimasukkan ke dalam ember.

Ia bertanya pada kelas, “Menurut kalian, apakah ember ini telah penuh?” Semua mahasiswa serentak berkata, “Ya!” Dosen bertanya kembali, “Sungguhkah demikian?”

Kemudian, dari laci meja ia mengeluarkan sekantung kerikil kecil. Ia menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam ember lalu mengocok-ngocok ember itu sehingga kerikil-kerikil itu turun ke bawah mengisi celah-celah kosong di antara batu-batu. Kemudian, sekali lagi ia bertanya pada kelas, “Nah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”

Kali ini para mahasiswa terdiam.

Seseorang menjawab, “Mungkin tidak.”

“Bagus sekali,” sahut dosen.

Kemudian ia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkannya ke dalam ember. Pasir itu berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu dan kerikil. Sekali lagi, ia bertanya pada kelas, “Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?” “Belum!” sahut seluruh kelas. Sekali lagi ia berkata, “Bagus. Bagus sekali.” Kemudian ia meraih sebotol air dan mulai menuangkan airnya ke dalam ember sampai ke bibir ember. Lalu ia menoleh ke kelas dan bertanya, “Tahukah kalian apa maksud illustrasi ini?” Seorang mahasiswa dengan semangat menjawab, “Maksudnya   adalah, tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau berusaha sekuat tenaga maka pasti kita bisa mengerjakannya.” “Oh, bukan,” sahut dosen, “Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari illustrasi mengajarkan pada kita bahwa: bila anda tidak memasukkan ‘batu besar terlebih dahulu, maka anda tidak akan bisa memasukkan batu-batu itu sama sekali.”

Apa yang dimaksud dengan “batu besar” dalam hidup anda? Anak-anak. pasangan. pendidikan; Hal-hal yang penting dalam hidup anda: mengajarkan sesuatu pada orang lain. melakukan pekerjaan yang anda cintai, waktu untuk diri sendiri, kesehatan, teman; atau semua yang berharga. Ingatlah untuk selalu memasukkan “Batu Besar” pertama kali atau anda tidak punya tempat untuk batu-batu itu. Hal-hal penting akan tidak mendapat waktu dalam hidup anda. Bila anda mengisinya dengan hal-hal kecil (semacam kerikil dan pasir); atau kesenangan-kesenangan yang remeh dan tak berguna (seperti air), maka hidup anda akan penuh dengan hal-hal kecil yang merisaukan dan ini semestinya tidak perlu. Karena dengan demikian anda tidak akan pernah memiliki waktu yang sesungguhnya anda perlukan untuk hal-hal  besar dan penting. Oleh karena itu, setiap pagi atau malam, tanyalah  pada diri anda sendiri: “Apakah “Batu  Besar” dalam hidup saya?” Lalu kerjakan itu pertama kali.”

Apakah doa, membaca Kitab Suci dapat menjadi ‘batu besar’ dalam kehidupan kita? Sebenarnya bukan doa dan membaca Kitab Sucinya yang penting, ‘batu besar’ yang sejati ialah Tuhan Yesus dan kehendakNya yang ingin kita temukan melalui doa dan merenungkan Kitab Suci. Semoga ditengah kesibukan kita dalam hidup sehari-hari kita tidak menjadi orang yang tuli dan gagap akan kehadiran dan kehendak Tuhan dalam hidup kita. Kita mohon agar hidup kita dibuka oleh kuasa Roh Tuhan sehingga hubungan kita dengan dunia, masyarakat dan orang-orang di sekitar kita semakin membawa kita bersama untuk lebih dekat dengan Allah sendiri. Amin. (Selesai)

Artikel terkait:  Tuli dan Gagap: Hanyut dalam Arus Dunia Modern (1)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here