1.000 Hari Linus Putut Pudyantoro: Sang Dirigen Itu Mengajarkan Kasih (2)

0
1,032 views
Penulis dan almarhum Linus Putut Pudyantoro saat wisuda di IKIP Sadhar Yogyakarta

PERISTIWA sedih itu terjadi hampir tiga tahun yang lalu. Tepatnya tanggal 26 Oktober 2017. Pagi itu, kelompok diskusi di telepon pintar mendadak ramai tak seperti biasanya.

Panjang sekali ucapan duka atas meninggalnya salah satu teman kuliah yang keberadaannya di angkatan kami sangatlah berarti.

Tanpa didahului tanda-tanda sakit, di hari menjelang subuh itu Linus Putut Pudyantoro menghadap Sang Ilahi.

Masih terasa

Kehilangan tiga tahun lalu itu sampai sekarang masih terasa. Kenangan bersama Putut tak pernah sirna. Sejenak, saya ingin mengingat peristiwa tiga tahun lalu. Seusai mengantar anak sekolah, di tengah jalan saya berhenti untuk melanjutkan membaca ruang diskusi telepon pintar.

Lagu “Bapa Kami”

Saya membaca dengan penuh perhatian dan tak terasa mata saya berkaca-kaca. Mengingat betapa kepergian teman yang satu ini adalah sebuah kehilangan besar. Tak hanya bagi kami teman seangkatannya, tapi juga bagi Gereja Katolik Indonesia.

Kemudian, ingatan saya langsung kembali ke masa lalu saat kami bersama. Saya langsung berpikir kalimat apa yang hendak saya rangkai untuk sebuah kenangan dan ucapan untuk mengantar kepergiannya ke keabadian.

Sepanjang jalan yang saya lalui, mata saya terus berkaca-kaca hampir menetes. Berita ini segera menyebar viral termasuk di diskusi kelompok lingkungan tempat saya berada.

Ini karena Putut tertoreh sebagai pencipta lagu Bapa Kami yang selalu dinyanyikan di Misa Kudus di seluruh gereja di Indonesia. Buat saya, Putut bukan sekedar nama pencipta lagu, tapi lebih dari itu.

Ketua kelas

Saya merangkai kenangan di masa kami dipertemukan di kelas sebagai mahasiswa jurusan Bahasa Inggris sejak 1985. Putut adalah ketua kelas abadi.

Selama delapan semester, posisi itu tak pernah digantikan orang lain dan itu sebuah aklamasi. Di zaman itu, pentas seni jurusan menjadi kegiatan rutin di kampus. Kelas kami yang “memiliki” Putut tak pernah absen tampil di pentas seni jurusan.

Hampir seluruh anggota kelas berjumlah 30-an di bawah koordinasinya selalu tampil bersama sebagai paduan suara kelas. Persiapan pentas seni digarap serius oleh Putut.

Ia menorehkan coretan-coretan not di kertas folio bergaris dan membagi kami dalam empat suara.

Pada jam-jam kosong atau pulang awal kami berlatih.

Tanpa dilembagakan, kebiasaan kami berkumpul ini menjadi semacam ritual. Di semester enam, ada sebuah mata kuliah di luar kampus beberapa hari di lokasi pariwisata; tak jauh dari Yogyakarta.

Almarhum Linus Putut Pudyantoro (1064-2017) saat memberi lokakarya musik litrugis gerejani kepada para suster SFIC dan lainnya di Pontianak bulan Juli 2017. (Sr. Maria Seba SFIC)

Kelas kami berangkat sehari sebelum jadwal kuliah luar kelas tersebut. Saat kami berjalan bersama, Putut yang membawa gitar tiba-tiba memiliki ide usil. Ngamen.

Kami semua bernyanyi menghampiri vila yang berisi pelancong. Ini menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan. Pengamen dengan jumlah sangat banyak.

Putut adalah orang yang serius dalam belajar, kadang cenderung galak namun tak jarang juga usil. Bahkan sangat usil. Idenya yang banyak sering dipadukan dengan selera humornya yang tinggi.

Terlintas bagaimana ia tertawa lepas dengan suara keras dan mulut yang lebar. Ia bukan orang yang datar. Pergaulannya dengan banyak kalangan selanjutnya menunjang karirnya yang pada akhirnya lebih banyak digunakan untuk memajukan Gereja Katolik Indonesia.

Khususnya dalam paduan suara dan lagu-lagu rohani.

Sekian lama saya berhubungan dengannya, saya memahami kehangatan yang selalu ditunjukkan adalah buah didikan keluarga. Tak jarang saya pergi ke rumahnya dan bertemu orangtuanya.

Dari orangtuanya itulah saya melihat bagaimana sikap Putut – yang dipanggil Yanto untuk membedakan dengan kedua kakak pria lainnya yang juga bernama Putut – terbentuk.

Ayahnya yang Jawa tulen dengan segala unggah ungguh tradisional namun memiliki cara pandang modern adalah seorang yang tegas dan humoris.

Ibunya yang memang membaktikan diri untuk keluarga sebagai ibu rumah tangga selalu menunjukkan kasih sayang. Tak hanya untuk keluarga, tapi juga untuk teman-teman Putut yang datang ke rumahnya di Langenastran.

Alm. Linus Putut Pudyantoro (Mathias Hariyadi)

Hidup untuk musik

Ketika kami tampil di malam pentas seni, lagu yang dibawakan bisa lagu yang sudah populer lalu diaransemennya. Kadang juga lagu baru ciptaannya.

Kepiawaiannya menciptakan lagu tak berhenti saat kami terpisah karena usai masa kuliah. Bermusik dan menciptakan lagu telah menjadi daging dan darah (bahasa Jawa: nggetih) dalam hidupnya. Di sela kesibukannya bekerja, dia selalu menyempatkan waktu membaktikan diri untuk Gereja.

Lagu-lagu ciptaannya terdengar di hampir setiap misa. Dengan kemajuan teknologi, karya-karyanya tersebar di kanal gambar hidup banyak orang yang membawakan lagunya.

Putut adalah sebuah kepemimpinan. Predikatnya sebagai ketua kelas abadi dan bagaimana dia selalu mengarahkan kami menjadi sebuah paduan suara kelas adalah contoh yang kemudian berlanjut ketika dia memiliki paduan suara gereja yang melanglang buana.

Ia banyak memberi lokakarya dan pelatihan paduan suara bagi komunitas-komunitas gerejani di Indonesia  Tanpa kepemimpinan tak mungkin itu terjadi.

RIP Linus Putut Pudyantoro, penggagas kelompok Mia Patria Choir dan alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1980 saat tampil di acara misa tahbisan Uskup Agung Semarang di Lapangan Bhayangkara Kampus Akpol di Semarang, 20 Mei 2017. (Mathias Hariyadi)

Humoris pol

Selain serius dan humoris dia juga humanis, total serta attentive. Sejumlah sifat ada di dalam dirinya. Saat dimintai pertolongan, Putut membantu dengan totalitas.

Sifatnya yang total ini adalah bagian dari dirinya yang begitu perhatian pada orang lain. Begitu banyak sifat-sifat yang disebut sampai kadang kami lupa bahwa dia pasti juga punya beban dalam hidupnya.

Namun, dia tak pernah menunjukkan itu. Dia tak pernah curhat atas masalahnya. Yang terjadi adalah dia mendengarkan curhat teman-temannya. Dia tak pernah mengeluh. Hidupnya terasa ringan karena tertutup oleh kelucuan yang ditunjukkan. Tindakan lucunya tak pernah bisa ditebak kapan datang. Dan itulah yang membuat suasana selalu jadi menyenangkan.

Tanpa sekat

Putut adalah seorang yang universal dan lentur. Dengan siapa pun dia bergaul. Dia tak pernah menciptakan sekat. Dan itu membuat kenangan akan dirinya selalu melekat. Hubungannya yang luas dengan banyak orang membuatnya meletakkan kasih di atas segalanya.

Kemampuannya menciptakan lagu dijadikannya media untuk menyatakan kasih. Lagu-lagu ciptaannya adalah pengejahwantaan talenta yang didedikasikannya untuk Gereja. Dari sekian banyak lagunya yang dinyanyikan di gereja, ada satu lagu yang sangat universal. Tak hanya untuk konsumsi Gereja, namun bisa dinyanyikan oleh semua umat manusia.

Lagu tentang kasih itu berjudul Kasih yang kami bawakan bersama-sama dengan bantuan teknologi. Itu karena kami tak bisa berjumpa seperti dulu waktu kami berlatih bersama-sama untuk keperluan malam pentas seni di kampus.

Tiga tahun lalu, jika dia tak terlalu cepat dipanggil oleh Tuhan, di tanggal 17 November 2017 tentu saja kami bisa bertemu dan berfoto digital yang bisa disimpan lebih lama dan lebih update.

Itu karena rencananya pada tanggal itu, Putut akan menjadi bintang tamu pada Festival Paduan Suara dalam rangka ultah emas Gereja Paroki Keluarga Kudus Banteng, Yogyakarta.

Dan, saya berkesempatan membingkai wajahnya dalam bidikan kamera yang saya hasilkan, sebuah kemampuan baru yang saya miliki dan belum pernah saya ceritakan padanya.

Saya membayangkan dia sedang menjadi dirigen, mengangkat kedua tangannya dengan gagah dan foto itu bisa dicetak ukuran raksasa menjadi kebanggaan untuknya. Atau, minimal menjadi profile picture di akun sosial media atau profil Whatsapp.

Takkan ada lagi canda tawa bersama Putut. Tak ada lagi penampilan paduan suara kelas, karena Tuhan membutuhkan Sang Dirigen untuk memimpin paduan suara surga. Sang Dirigen itu menyebarkan dan mengajarkan kasih kepada kami, teman-temannya, dengan caranya yang lucu dan humanis.

Pantaslah kami mengenang kepergiannya yang sudah seribu hari. Dan biarlah kami menyanyikan karyanya tentang kasih yang diciptakannya untuk mengajarkan kami murah hati dan tidak menjadi angkuh.

Alm. Linus Putut Pudyantoro bersama sejumlah kenalan lama usai misa tahbisan Uskup KAS Mgr. Robertus Rubiyatmoko di Lapangan Akpol Semarang. (Mathias Hariyadi)
Almarhum Putut Pudyantor bersama sesama komponis lagu-lagu liturgi Dr drg Alma Linggar. dosen FKG UGM. (Mathias Hariyadi)

Sebuah lagu yang layak disebarluaskan kepada siapa saja ini telah dikompilasi dari suara kami yang tersebar di seluruh dunia dan terdengar sebagai sebuah paduan suara seperti yang dia latihkan berpuluh tahun lalu. Serasa rohnya hadir di tengah kami.

Kami kehilangan Putut, tapi dia tetap hidup dalam kehidupan kami. Bermadahlah di kedamaian di surga bersama paduan suara yang kau buat di sana.

Kalau lapar, jangan lupa makan. Santaplah kerupuk yang telah direndam di kuah bakso Pak Supri kesukaanmu di kantin kampus milik Bu Tjip.

Dan jika sudah selesai makan dan hendak pulang ke Langenastran, hidupkan Vespa tuamu berwarna perak sambil melambaikan tangan pada kami yang masih ada di sini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here