BANYAK definisi bisa dikatakan oleh siapa saja, ketika harus memaknai apa artinya pendidikan. Kalau harian Kompas beberapa hari lalu menurunkan opini yang memaknai pendidikan sebagai harapan, maka kata yang sama oleh pemerintah akan dimaknai lain. Semisal, pendidikan adalah satu bidang sangat strategis yang perlu mendapatkan perhatian besar dari seluruh komponen bangsa. Termasuk ‘strategis’ dalam pengertian baik yakni mencerdaskan manusia Indonesia, maupun konotasi peyoratifnya yakni peluang menciptakan ruang atau kemungkinan untuk menggaruk keuntungan di balik projek besar bernama pendidikan.
Itu catatan penting pertama yang diungkapkan Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo Pr dalam homilinya saat memimpin perayaan syukur atas Pesta 25 Tahun Yayasan Bhumiksara di Kampus Unika Atmajaya Jakarta, Sabtu (4/5) hari ini.
Catatan kedua yang tak kalah penting diucapkan beliau adalah ucapan profisiat kepada Yayasan Bhumiksara. Menurut beliau, setelah 25 tahun berkibar tanpa banyak diketahui khalayak dan sepi dari aneka pemberitaan, namun Yayasan Bhumiksara toh tetap eksis berkiprah penting bagi Gereja Indonesia yakni memberi kontribusi berarti berupa mengadakan program kaderisasi bagi tersedianya kelompok awam katolik bermartabat dan berintegritas. “Karena itu, sebagai Ketua KWI saya ingin mengucapkan selamat atas perjalanan panjang selama 25 tahun terakhir ini dengan telah memberi kontribusi bagi Gereja dalam hal menyiapkan calon-calon pemimpin bangsa yang bermartabat dan berintegritas,” kata beliau dalam sambutan pengantar homilinya.
Persona
Catatan ketiga tentu saja tidak jauh dari butir satu dan dua. Yakni bagaimana Gereja bisa berkiblat dari kisah pertobatan dan formation yang dialami Rasul Agung Santo Paulus yang dulunya bernama Saulus.
Menurut Uskup Agung Jakarta ini, marilah pertama-tama melihat kota kelahiran Saulus/Paulus yakni Tarsus. Yang segera tergambar di benak ahli teologi kitab suci –terutama teologi Perjanjian Baru ini— adalah kesan kuat bahwa di Tarsus inilah terjadi pusat kebudayaan dan pendidikan Yunani yang paling ngetop pada zaman itu.
Kecuali faktor Tarsus, kata Mgr. Ignatius Suharyo, lalu siapa yang kira-kira berperan besar dalam formation atau dalam bahasa sederhananya pendidikan Paulus hingga akhirnya bisa menjadi orang besar seperti itu? Dijawab oleh beliau sendiri: “Tiada lain adalah Barnabas,” tandasnya.
Jadi, sambung beliau, selain faktor kota Tarsus sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Yunani pada zamannya, adalah Barnabas yang menjadi ‘orang penting di balik layar’ yang berhasil mendidik Saulus hingga akhirnya punya kadar kualitas persona yang begitu hebat dan akhirnya bergant nama menjadi Paulus.
Seperasaan, sehati dengan pikiran Tuhan
Dari bacaan pertama yang diambil dari Kisah Para Rasul 16: 1-10 tentang “Menyeberanglah ke Makedonia dan Tolonglah Kami” ini, Mgr. Ignatius Suharyo lalu membeberkan semacam ‘teologi’ pendidikan Paulus.
“Saya sengaja menggunakan kata ‘pribadi’ daripada kata ‘orang’. Kalau sampai terjadi saya mengucapkan ‘orang’, itu artinya saya lupa alias tidak sadar. Nah, mumpung saya sekarang lagi sadar, maka saya sengaja mengucapkan ‘pribadi’ Paulus,” begitu Mgr. Suharyo memberi introduksi tentang bagaimana harus ‘berteologi’ tentang pendidikan.
Dengan cerdasnya Mgr. Ignatius Suharyo lalu menjelaskan asal-usul kata ‘pribadi’ yang dalam bahasa Inggris disebut ‘person’. Menurut akar katanya, ‘person’ berasal dari kata bahasa Latin yakni persona.
Secara gramatikal, derivation of words kata Latin ‘persona’ ini bisa dirunut dengan gampang.
Yakni, per yang berarti melewati atau lewat (seperti sering kita dengar Per Mariam ad Iesum: Melalui/lewat perantaraan Maria, kita menuju ke persekutuan dengan Yesus) dan Sonora yang artinya suara.
“Jadi, kata kita mau setia dengan makna paling dasariah sesuai arti katanya, maka kalau terjadi sebuah proses pendidikan dari seorang pribadi bernama Saulus untuk kemudian berganti nama menjadi Paulus, itu tidak lain proses bagaimana pribadi itu akhirnya terbentuk dengan tujuan mulia yakni agar semakin terjalin erat dan menjadi sehati, seperasaan dengan Sang Suara itu sendiri,” kata Mgr. Suharyo.
Dalam teologi biblis Perjanjian Baru, Sang Suara itu tiada lain adalah Sang Sabda itu sendiri yakni Yesus Kristus. Jadi, ketika Saulus akhirnya pergi meninggalkan Asia untuk berkiprah di Eropa –tempat dimana akhirnya bibit-bibit kristianitas berkembang sangat pesat—pasti telah terjadi ‘sesuatu yang dahsyat’ dalam diri persona seorang Paulus.
Lalu itu apa artinya?
Menurut Mgr. Ignatius Suharyo, di situ sudah pasti telah terjadi proses humanisasi (menjadi pribadi yang lebih manusiawi) dan proses internalisasi atas nilai-nilai sehingga ketika Saulus akhirnya berganti nama menjadi Paulus, maka di situ pula persona Paulus sudah masuk pada tataran sehati, seperasaan, sepikiran dengan Sang Sabda itu sendiri. “Itu pula yang akhirnya membawa dia pada sebuah keputusan dahsyat: meninggalkan Asia Kecil untuk pindah ke Eropa mewartakan Sang Sabda dan proses finalisasi pendidikan ilahi itu dia tandai dengan pergantian nama menjadi Paulus,” jelas Mgr. Suharyo.
Bagaimana akhirnya kita bisa memaknai bacaan Kisah Para Rasul tentang perjalanan Paulus menuju Makedonia itu dalam konteks Pesta 25 Tahun Yayasan Bhumiksara?
Kacamata
Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo ingin memaknai Pesta 25 Tahun Yayasan Bhumiksara yang sengaja mengambi tema “Education is God’s Calling” dengan sebuah perumpamaan sederhana.
Sesuai misinya ingin berpartisipasi dengan Gereja dalam gerakan membentuk persona-persona yang bermartabat, berintegritas supaya cakap dan layak menjadi pemimpin bangsa maka –kata Mgr. Ignatius Suharyo—ada baiknya kalau bernarasi tentang pengalaman tentang ‘kacamata’. Menurut sebuah bacaan ringan, cerita ini pernah dialami oleh penulis tenar Rabindranath Tagore (1861-1941), penyair besar dan peraih hadiah Nobel tahun 1913 asal India.
Konon, kata Mgr. Ignatius Suharyo, sewaktu kecil Rabindranath Tagore pernah sebegitu terpesona oleh teman-teman mainnya yang beberapa di antaranya memakai kacamata. Terpikat dan terpengaruh oleh rasa ingin tahu yang sangat besar akan apa dan bagaimana kacamata itu, maka Rabindranath Tagore lalu mencoba memakai kacamata itu dan eureka! Dalam teknologi modern menjadi terang bagi kita semua: dengan memakai kacamata, semua yang terpampang di depan menjadi lebih jelas dan gamblang.
Realitas yang tergelar di depan mata dengan lebih jelas itulah ‘jasa’ terbesar kacamata dipakai oleh siapa pun yang mengalami kondisi kabur atau bahkan ‘buta’ terhadap realitas. “Pendidikan –kalau saya boleh menafsirkan sendiri—ternyata hanya sesederhana itu yakni memberi kacamata kepada setiap persona agar semakin melihat realitas dengan lebih jelas, jernih hingga akhirnya menjadi seperasaan, sehati, sepikir dengan Sang Sabda itu sendiri,” kata Mgr. Suharyo.
Jadi, harus bagaimana Yayasan Bhumiksara bisa memaknai Peringatan 25 tahun yang tepat jatuh pada tanggal 20 April 2013?
“Tidak perlu sulit memberi makna atas Pesta 25 Tahun Yayasan Bhumiksara ini. Karena saya bebas bicara dan Yayasan Bhumiksara telah banyak berkecimpung dalam program pendidikan tinggi, maka ya gampang saja: Jadilah garam dan terang dunia dengan menjadi kacamata!,” tandas Uskup Agung Jakarta ini mengakhiri homilinya dengan disambut gelak ketawa umat.
Menjadi kacamata itulah misi Yayasan Bhumiksara yang tetap relevan dijalankan sampai kapan pun. (Bersambung)
Photo credit: Ketua KWI/Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo Pr menjadi konselebran utama bersama Uskup Emeritus Mgr. FX Hadisumarta OCarm dan Romo BS Mardiaatmadja SJ pada kesempatan ekaristi syukur atas Pesta 25 Tahun Yayasan Bhumiksara di Auditorium Unika Atmajaya Jakarta, Sabtu tanggal 4 Mei 2013 (Mathias Hariyadi)
Tautan: