TENTANG disalip sukses, saya teringat akan suatu masa ketika teman-teman seangkatan sudah banyak yang meraih sukses. Jadi bos, punya mobil, rumah atau bahkan berkeluarga dengan sekian anak.
Terselip rasa tak menyenangkan tiap kali saya ingat bahwa saya nggak ada apa-apanya dibanding mereka. Apalagi ketika tahun berganti tahun, adik-adik saya pun mencapai hal seperti teman-teman saya tersebut. Bahkan ada yang melejit pesat.
Saya sempat merasa terpuruk.
Seramnya, saya juga sempat menyalahi hidup dan “Yang Di Atas” sebal memilih saya seperti sekarang. Masa-masa itu adalah masa dimana saya merasa tidak berarti dan minder dengan sekeliling serta diri saya sendiri. Butuh waktu yang sungguh-sungguh menjadikan saya berusaha keras agar bisa keluar dari keterpurukan tersebut.
Sampai ketika buku-buku saya mulai terbit, tulisan saya dimana-mana dan banyak diminati. Orang-orang yang dulu pernah melihat saya sebelah mata sudah bisa mengerti siapa saya.
Biar begitu bukan menjadikan saya harus membusungkan dada, dan berjalan tidak mau melihat ke bawah lagi. Karena ternyata, rasa tak menyenangkan yang dulu ada, sesekali masih hadir.
Tanpa kamu, tak rame
Hingga suatu hari, seorang teman baik dalam suasana santai dan penuh guyon, menyatakan hal ini pada saya, “Gak kebayang deh, Njar… Kalo elu nanti dah nggak di Bandung lagi atau di tempat elu sekarang, kemana gua bisa mengandalkan orang yang bisa siap setia saat?”
Saya senyum-senyum dibilang begitu. “Ya, kan ada teman lain yang di Bandung. Kayaknya mereka nggak akan kemana-mana deh…”
“Wah, mereka entah dimana deh,” teman saya itu jadi merasa sedih begitu diungkit teman-teman yang lain. “Sekarang gua benar-benar tahu fungsi elu menjadi seperti sekarang. Nggak ikutan kita-kita mencari seraup berlian dimana-mana.”
“Eh, kamu kira gua barang apa-an pake ada fungsi segala?” sergah saya.
“Maksud gua… Coba semua orang berpikir cuma cari duit mulu dan gak ada satu pun yang mau tinggal di kota penuh kenangan ini. Apalagi mau mendampingi orang muda, pasti pada malas kembali ke sini deh…,” lanjut teman saya itu.
“Nah, kamu tuh mendapat mandat melakukan itu. Jadi kalau dulu kita pernah ngata-ngatain kamu karena begitu menikmati zona nyamanmu di sini, ternyata nggak sepenuhnya kita bener tuh…”. (Bersambung)
Anjar Anastasia, penulis kreatif dan aktivis di Komisi Pemuda Keuskupan Bandung.