DADANYA sesak. Hatinya tercabik-cabik ketika ada frater yang mengundurkan diri atau imam yang keluar. Ia merasa kehilangan mereka.
Lalu, ia menyalahkan dirinya karena sebagai pembimbing ia tidak bisa memperkuat, meneguhkan, dan mengantar mereka sampai pada penghayatan imamat. Yang akhirnya mereka memilih jalan lain.
Kehilangan seorang frater atau imam adalah pengalaman yang paling menyedihkan bagi Uskup Emeritus Keuskupan Agung Palembang: Mgr. Aloysius Sudarso SCJ. Ini terjadi sepanjang 50 tahun imamatnya. Karena ia mencintai para imamnya. Ia merasa memiliki tanggungjawab untuk menjaga dan merawat panggilan orang-orang pilihan Allah.
Itu disampaikan oleh Mgr. Darso SCJ, panggilan akrabnya, satu pekan sebelum pesta syukur 50 tahun imamatnya.
Uskup kelahiran Yogyakarta, 12 Desember 1945, ini berkenan ditemui di rumah SCJ Telukbetung, Lampung, 7 Desember 2022.
Selama menjalani hidup panggilannya, Mgr. Darso SCJ, tidak pernah mendapat tugas pastoral mengampu paroki. Tugas pengutusannya di bidang pendampingan calon-calon imam, rektor, provinsial, dan kemudian uskup.
50 tahun imamat adalah perjalanan waktu yang sangat panjang. Pastilah suka dan duka datang silih berganti. Topan badai menerjang. Tidak ada pengurbanan tanpa salib. Tapi semua itu ia lalui dengan penuh sukacita. Karena ada Tuhan.
Berusaha tumbuh
Tak ada kata lain kecuali rasa syukur yang mendalam bagi Mgr. Darso SCJ karena dipilih Tuhan untuk menjalani panggilan imamat ini. Menempuh 50 tahun perjalanan imamat adalah penuh perjuangan.
Berjuang untuk setia. Tuhan yang memanggilnya pun juga turut bekerja, memperjuangkan hidupnya.
Sejak awal sebagai imam muda, Mgr. Darso SCJ, mengusahakan agar dirinya juga tumbuh berkembang menjadi imam, pelayan, dan gembala.
Sebagai imam itu berarti melayani Tuhan yang bekerja di hati umat.
“Maka ketika tengah melayani umat, saya merasa juga tumbuh dan berkembang. Karena Tuhan bekerja di dalam diri umat yang sederhana atau umat yang sedang dalam pergulatan hidupnya. Roh Kudus pasti berkerja dalam diri umat karena mereka sudah menerima sakramen-sakramen: Permandian, Krisma, dan Perkawinan,” ungkapnya menjawab Sesawi.Net di Telukbetung, Lampung, pekan lalu.
Resep setia
Mgr. Darso mengaku dirinya lemah tetapi dipilih Allah. Melihat kesetiaan Allah adalah pijakan kuat hidupnya untuk setia.
“Rupanya menjadi imam, kekuatan kita adalah kalau kita berani mengikuti ritme hidup Yesus: jatuh, bangun. Jatuh, bangun lagi… begitu seterusnya.
Itu ‘kan ritme Yesus saat hidup. Kalau kita mengalami itu, dan berani mencoba menghayatinya, itu setia,” jelas buah cinta pasutri Yulianus Ngadimin Siswosusanto dan Prudentiana Jeminem ini.
Tantangan terberat
Dalam melayani umat, Mgr. Darso SCJ merasa bukan hanya dirinya sendiri yang memiliki jabatan imamat yang harus memberi, tetapi umat juga mengambil bagian dalam imamat umum lewat kenangan Baptis.
Maka, ketika dirinya merasa berat, dengan rendah hati mengatakan, saya lari kepada umat.
Entah itu sebagai imam atau uskup, tantangan terberat adalah kesombongan. Menjadi imam, seperti memiliki kedudukan tertinggi.
Apa-apa harus imam, ini bahaya. Apalagi dirinya dipercaya menjabat tugas-tugas yang tampaknya ‘mentereng.’ Yang bisa melakukan apa saja, karena memiliki kuasa dalam jabatan.
Bukan hanya kesombongan, tetapi menjurus pada kesombongan rohani. “Ini paling bahaya untuk saya,” tandas Uskup.
Maka, Mgr. Darso SCJ terus-menerus belajar untuk tetap rendah hati. “Akan tetapi, rendah hati pun juga bisa merupakan kesombongan,” tambahnya sambil tertawa.
Sukacita
Banyak hal yang membuat Mgr. Darso SCJ ini mengalami sukacita dalam panggilannya. Salah satunya ia menyebut, ketika ia melihat hal-hal positif yang hidup dalam diri umatnya.
Taruhlah itu pasutri yang saling setia dalam ikatan perkawinan mereka. Atau saat melihat keluarga yang sangat tidak mampu, namun mampu bertahan dan tidak pernah mengeluh.
Ini pasti karena ada Tuhan yang bekerja.
Melihat Tuhan
Ketika melihat frater yang selalu bermasalah, saya harus mampu melihat bahwa Tuhan juga sedang memperjuangkannya. “Jadi, saya tidak cepat mengadili.”
Iman seperti apa yang sedang goncang dalam diri frater, suster, atau imam yang seperti itu. “Sebagai gembala saya harus bisa melihat sampai ke arah itu,” ujarnya.
“Maka, ketika bertamu di rumah umat, saya juga harus mampu melihat, iman seperti apa yang sedang hidup dalam keluarga ini. Itu membimbing saya untuk apa yang harus saya sampaikan kepada mereka,” jelasnya kemudian.
Suara Tuhan
Lima puluh tahun yang lalu, Mgr. Darso SCJ memilih motto tahbisannya, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal.” (Yohanes 6:68)
Murid-murid Yesus banyak yang mengundurkan diri karena Yesus mengatakan, “Barang siapa makan daging-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitnya pada akhir zaman. Roti yang ditunjukkan Yesus adalah roti yang turun dari surga, bukan roti yang dimakan nenek moyang kita dan mereka telah mati.
Lalu Yesus berkata, kepada Petrus, apakah kamu juga mau mengundurkan diri? Petrus menjawab, ‘Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan yang kekal.’”
Waktu itu dalam kondisi beberapa teman angkatannya mengundurkan diri. Seiring waktu, Mgr. Darso SCJ mendengar suara Tuhan dalam hatinya, apakah kamu juga akan mengundurkan diri?
Kini, motto tahbisan imamatnya semakin terang benderang. Kepada siapa lagi ia akan pergi, kalau bukan kepada Tuhan. Karena sudah begitu banyak kejutan-kejutan cinta yang ia rasakan dan bagikan kepada banyak orang.
Di akhir pertemuan, Mgr. Darso SCJ mengucapkan terimakasih atas segala cinta dan doa-doa yang dikhususkan untuknya.
“Saya masih terus membutuhkan doa-doa Anda sekalian,” ucapnya sambil tersenyum.
Perayaan Syukur 50 tahun Imamat Mgr. Al. Sudarso SCJ diselenggarakan di Aula Xaverius Centre, Jl. Bangau, Palembang.
Mgr Sudarso SCJ, Selamat pesta emas imamat semoga Allah tetap membimbing dan mengasihi, Amin