80 Tahun Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta (3)

0
2,651 views
Suasana tahbisan di Kapel Seminari St. Paulus Kentungan, Yogyakarta. (Dok. Seminari Tinggi)

Model penggembalaan empat Uskup berbeda

Sejak menjadi bagian dari Vikariat Apostolik Semarang, Seminari Tinggi St. Paulus berada dalam empat periode penggembalaan Uskup yang berbeda.

Periode Mgr. Albertus Soegijapranata SJ (1940-1963)

Periode pertama adalah masa penggembalaan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ (1940-1963) yang berjuang untuk mengakarkan Gereja di Tanah Air Indonesia dengan semboyan “seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia”.

Sejalan dengan perjuangan Rama F. van Lith SJ, cinta terhadap Gereja dan Tanah Air merupakan gerakan untuk mengakarkan iman dalam budaya setempat. Perjuangan ini sangat aktual di tengah perjuangan bangsa Indonesia yang sedang mempersiapkan dan kemudian mengisi kemerdekaannya. Dengan demikian, Gereja merupakan bagian utuh dari masyarakat yang terlibat secara aktif untuk membangun bangsa dan merintis masa depan kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.

Periode Kardinal Justinus Darmajuwana Pr (1964-1981)

Sebagai bentuk nyata untuk mengembangkan Gereja yang lebih tangguh-mandiri dan misioner, Uskup Agung Keuskupan Semarang Kardinal Justinus Darmajuwana (1964-1981) menekankan pelaksanaan prinsip desentralisasi dan subsidiaritas di Gereja Keuskupan Agung Semarang. Pembagian wilayah Keuskupan menjadi empat kevikepan yang ditopang oleh keterlibatan umat paroki-paroki dan wilayah-wilayah menjadi jalan untuk menumbuhkan keterlibatan umat dalam kehidupan Gereja.

Dengan demikian, Gereja benar-benar mengakar dalam masyarakat setempat. Untuk kepentingan membangun Gereja lokal yang mandiri, Bapak Kardinal Justinus Darmajuwana memberi perhatian besar terhadap perkembangan jumlah panggilan imam, religius, dan rasul-rasul awam.

Baca juga:

Untuk meningkatkan kualitas imam-imam diosesan, pada tahun 1981 Bapak Kardinal Justinus Darmajuwana memprakarsai berdirinya Tahun Orientasi Rohani (TOR) bagi calon-calon imam diosesan Keuskupan Agung Semarang. Pembinaan yang semakin bermutu diharapkan membentuk imam-imam diosesan yang semakin sederhana. Solidaritas di kalangan umat digerakkan dengan prinsip bahwa tidak ada umat yang terlalu lemah sehingga tidak bisa berperan dan memberi sumbangan bagi Gereja.

Gerakan Aksi Puasa Pembangunan (APP) mulai digalakkan untuk membangun solidaritas dan kemandirian umat. Dalam konteks yang lebih luas, solidaritas Gereja Keuskupan Agung Semarang tampak dalam pengiriman Rama-rama diosesan Keuskupan Agung Semarang untuk menjadi misionaris domestik di Keuskupan Ketapang, merintis berdirinya Seminari Tinggi Malang dan Pematangsiantar serta membantu karya pendidikan calon imam di Seminari Tinggi Ritapiret.

Periode Kardinal Julius Darmaatmadja SJ (1983-1996)

Pada masa penggembalaan Kardinal Julius Darmaatmadja SJ (1983-1996), semangat membumikan iman Gereja ditandaskan dengan mencanangkan pentingnya Gereja yang memasyarakat. Hal ini dirumuskan dalam tiga Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang (1984-1990; 1990-1995; 1995-2000).

Hal itu terjadi melalui disosialisasikannya beberapa hal yang diharapkan dihayati dan diperjuangkan umat beriman, yakni:

  • Mengembangkan komunitas-komunitas basis.
  • Mengembangkan keadilan sosial dan memberdayakan rakyat miskin.
  • Menegakkan kesetaraan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk ciptaan Allah.
  • Memelihara lingkungan hidup.
  • Menumbuhkan kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai Injil di tengah arus zaman. Iman yang mendalam dan berakar dalam budaya setempat ditandai oleh solidaritas yang mendalam terhadap sesama dan alam ciptaan.

Semangat misioner Gereja Keuskupan Agung Semarang menjadi nyata di dalam kehadiran para misionaris awam (guru dan katekis) di berbagai keuskupan lain dan pengiriman imam-imam diosesan sebagai misionaris domestik di Keuskupan Ketapang, Medan dan Bandung.

Periode Mgr. Ignatius Suharyo (1997-2010)

Penggembalaan Mgr. Ignatius Suharyo (1997-2010) ditandai oleh perjuangan Gereja menjadi relevan dan signifikan di tengah berbagai tantangan zaman dan keprihatinan bangsa. Gereja adalah peristiwa yang terus menerus menanggapi keprihatinan hidup dan membentuk persekutuan yang hidup agar mampu semakin memberdayakan masyarakat, terutama yang miskin dan tersisih.

Gereja menjadi sungguh nyata di dalam dinamika perjuangan hidup sehari-hari yang diterangi iman. Gereja hidup di dalam persekutuan dari paguyuban-paguyuban yang memberi kesaksian iman dan pengharapan di tengah berbagai keprihatian dan tantangan hidup. Karena itu Gereja merupakan paguyuban alternatif yang profetis.

Membumikan iman di zaman sekarang menjadi nyata di dalam upaya memperjuangkan keutuhan hidup yang ditandai oleh solidaritas terhadap yang lemah, kecil, miskin dan tersingkir serta perjuangan untuk memelihara alam semesta. Pengutusan para calon imam dan imam-imam diosesan ke Keuskupan Agung Medan, Sorong, Malang, Tanjungselor, Suriname,  dan Los Angeles merupakan wujud komitmen Gereja Keuskupan Agung Semarang mengembangkan misionaritas dan solidaritas yang telah dirintis oleh para pendahulu.

Mengakarkan iman dalam budaya setempat, semangat misioner, kesederhanaan, kerelaan berjuang dan kesediaan melayani Gereja yang lebih luas merupakan panggilan dan perutusan Gereja Keuskupan Agung Semarang yang terus diperjuangkan dari waktu ke waktu. Dalam konteks historis dan tradisi inilah, lembaga pendidikan calon imam Seminari Tinggi  St. Paulus menempatkan visi, misi dan proses pembinaannya.

Periode Mgr. Johannes Pujasumarta (2010-2015) ….

Catatan Redaksi: Catatan reflektif tentang kilas balik sejarah Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarta ini tidak memuat risalah sejarah penggembalaan era alm. Mgr. Johannes Pujasumarta. Ini adalah risalah lama dan ketika naskah ini dikerjakan, bagian kurun waktu masa penggembalaan alm. Mgr. Johannes Pujasumarta memang belum dikerjakan.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here