70 Tahun Kolese de Britto: Menjadi Guru di Sekolah Jesuit

0
1,511 views
Forum Olah Pikir Siswa yang membahas buku mutakhir. (St.Kartono/Kolese de Britto)

KOLESE de Britto dan SMA de Britto adalah nama sekolah tempat saya berkarya. Kolese dan sekolah ini  diasuh oleh para pastor Jesuit.  Pada 18 Agustus 2018 ini, Kolese de Britto  ini akan memasuki usia ke-70 tahun.

Ketika memulai status sebagai guru tetap tahun 1993 di SMA Kolese de Britto, saya mulai mencecap saripati pendidikan. Salah satunya lewat teks sambutan Superior Jenderal Serikat Yesus kala itu, alm. Peter-Hans Kolvenbach SJ, kepada peserta Lokakarya Internasional, “Pedagogi Ignatian: Sebuah Pendekatan Praktis”, 29 April 1993 di Villa Cavaletti, Roma.

Alm. Pater Peter-Hans KolvenbachSJ (1932-2016), Jenderal Jesuit ke-29.

Tersurat di sana sebagai berikut. “Sebagai pengajar di sekolah Jesuit, selain ahli dalam pendidikan dan pengajaran, Anda disebut juga pria dan wanita dalam Roh Kudus. Senang tidak senang Anda adalah sebuah kota di puncak bukit. Perilaku Anda lebih keras gaungnya daripada suara Anda.”

Kemudian ditegaskan di bagian lain.

“Sekarang ini, murid tidak mendengarkan pengajar secara serius, mereka lebih mendengarkan saksi-saksi. Seandainya mereka mendengarkan pengajarnya, hal itu karena si pengajar menjadi saksi juga.”

Pesan alm. Pater Kolvenbach 27 tahun lalu kiranya masih relevan untuk terus dihidupi oleh para guru di semua lembaga pendidikan menengah dan tinggi yang diampu oleh para imam dan bruder Jesuit di zaman kini. 

Makam Pater Peter-Hans Kolvenbach, mantan Superior General S, J di lahan kampus universitas Jesuit di Beirut, Libanon. (Ist)

Memutukan diri

Dalam pemahaman sederhana saya, guru adalah saksi dalam menjalani kehidupan ini. Perilaku guru pun termasuk pendidikan yang terpapar di hadapan para murid.

Sekolah-sekolah Jesuit yang diperhitungkan oleh masyarakat di negeri ini tetaplah membutuhkan guru dari zaman ke zaman untuk menghidupi impian-impian besar tentang pendidikan yang ideal.

Guru-guru yang berdiri di depan para muridnya itulah sosok riil “saksi hidup”.

Para murid SMA de Britto memilih lokasi live in di sebuah permukiman di wilayah pinggiran Jakarta.

Apa yang mau ditampakkan oleh para guru?  Guru yang kaya hartawi atau diperhitungkan intelektualitasnya?

Tanpa sadar dan  tidak sedikit guru yang sekedar mendompleng nama besar sekolah, berhenti bangga dengan status sebagai guru di kolese Jesuit, tetapi lupa membangun diri sebagai pribadi bermutu.

Sejalan pesan Pater Kolvenbach, bagi guru, berbicara bukanlah pekerjaan, berbicara adalah kesaksian hidup, segala yang dilisankan itulah juga yang dijalani.

Murid SMA de Britto membaca puisi di luar kelas.

Kesaksian hidup macam apa yang akan dibawa ke kelas? Sebagai guru bahasa Indonesia, saya tiada henti belajar membaca, bertekun dengan teks, membiasakan diri mengasah kemampuan berargumen lewat tulisan dan forum-forum, dan memilih membangun harga diri dengan intelektualitas daripada kebendaan.

Karenanya, saya tidak perlu pesimistik dengan berbagai keluhan yang menyebut murid malas membaca, enggan bernalar, atau apatis akan ajakan belajar dari gurunya. Saya tetaplah menemukan kesempatan membangkitkan etos membaca siswa.

Para murid tergugah hanya oleh antusiasme guru yang menggeluti ilmunya di kelas, respek pada konsistensi omongan dan tindakannya, serta tergerak oleh pola pikir optimistik gurunya.

Kesaksian akan cinta guru pada pelajarannya tentu akan membangkitkan respek murid, ketika guru mampu memahamkan murid dengan gembira.

Long-march mendukung keistimewaan Yogyakarta.

Jika mutu akademik yang tinggi dan kemampuan meneliti adalah sosok lulusan sekolah Jesuit, seberapa pantas guru mempunyai kompetensi yang mumpuni untuk lincah meneliti dan bertekun dengan ilmunya?

Ketika umumnya guru di negeri ini berhenti golongan kepegawaiannya karena terkendala penyusunan karya ilmiah, kiranya tidak elok guru di sekolah Jesuit juga bertahun-tahun terhenti di golongan tertentu.

Perilaku guru seperti ini bukanlah kesaksian hidup yang patut diteladani murid. Jangan-jangan para guru di sekolah Jesuit juga sibuk meramaikan parkiran sekolah dengan kendaraan mutakhir, atau ruang guru juga gaduh dengan obrolan gadget terkini.

Padahal, lebih penting guru meramaikan sekolah dengan karya intelektual yang patut diteladani murid.

Siswa kelas bahasa pada Upacara 17 Agustus 2017.

Pesan eksplisit Pater Kolvenbach di bagian lain sambutan tersebut seperti ini.

“Saya yakin Anda mengetahui bahwa sebuah sekolah dianggap baik, bukan karena apa yang diceritakan, melainkan karena apa yang diamalkan oleh para murid. Cita-cita pendidikan Jesuit menuntut kehidupan yang bernalar, kehidupan yang jujur, serta kehidupan yang penuh keadilan dan pelayanan kepada sesama dan kepada Allah. Inilah panggilan Kristus kepada kita, panggilan untuk hidup.”

Seiring bertambahnya usia SMA Kolese De Britto, guru perlu dibantu dan mau mengasah terus visi keguruan dan motivasi mendidiknya, serta meredefinisi pekerjaannya. Guru yang tidak pernah mendefinisi ulang pekerjaannya hanya menjalani rutinitas dan mekanistik yang menurunkan produktivitas dan moral mereka.

*) St. Kartono, kolumnis pendidikan dan guru SMA Kolese de Britto, Yogyakarta.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here