Senin, 11 Agustus 2025
- Ul. 10:12-22.
- Mzm. 147:12-13,14-15,19-20.
- Mat. 17:22-27
TINDAKAN kita berbicara lebih keras daripada kata-kata. Banyak orang mungkin jarang membaca kitab suci, tetapi mereka “membaca” hidup kita setiap hari.
Cara kita berbicara, bersikap, dan memperlakukan orang lain menjadi cermin yang memantulkan iman yang kita miliki.
Seperti cermin yang retak akan memantulkan gambar yang terdistorsi, demikian juga satu sikap yang salah dapat memecahkan kepercayaan orang lain terhadap kita, bahkan terhadap Tuhan yang kita imani.
Sering kali, yang meruntuhkan pengaruh rohani bukanlah dosa besar yang mencolok, melainkan tindakan kecil yang diabaikan: lemahnya keteladanan, kata-kata yang menyakitkan, sikap meremehkan, atau perilaku yang tidak konsisten.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga.”
Tuhan mengutus Petrus memancing dan mendapatkan uang dari mulut ikan untuk membayar pajak bagi mereka berdua. Meski sebenarnya Yesus memiliki hak untuk tidak membayar, karena Ia adalah Anak Allah, Pemilik Bait itu sendiri.
Di sini kita melihat kerendahan hati dan kebijaksanaan Yesus. Ia tidak mau memperjuangkan “hak”-Nya dengan cara yang bisa membuat orang lain tersandung atau salah paham.
Ia rela mengambil langkah ekstra untuk menjaga kesaksian dan perdamaian, tanpa mengorbankan kebenaran.
Sering kali kita terpaku pada “hak” dan “kebenaran” versi kita, sehingga lupa mempertimbangkan hati orang lain. Padahal, menjaga agar orang lain tidak tersandung adalah bagian dari kasih.
Kita pantas belajar dari Yesus untuk bersikap bijak, rela merendahkan diri, dan mengutamakan damai sejahtera.
Kadang, melepaskan hak kita bukan berarti kalah, tetapi justru menang dalam kasih. Seperti Yesus, kita dipanggil bukan hanya untuk benar, tetapi juga untuk menjadi berkat yang memelihara iman orang lain.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah saya selama ini lebih mengutamakan “hak” saya daripada menjaga hati orang lain?