Rabu, 13 Agustus 2025
Ul. 34:1-12.
Mzm. 66:1-3a,5,16-17.
Mat. 18:15-20
DALAM kehidupan menggereja, kita tentu pernah mendengar atau menyaksikan seorang pengurus atau warga jemaat melakukan kesalahan.
Namun, sering kali, tidak ada yang berani menegur. Alasannya bermacam-macam: rasa sungkan, tidak tega, kasihan, bahkan ragu apakah yang kita lihat benar adanya.
Apalagi jika pelakunya adalah orang yang cukup terpandang di gereja, orang yang reputasinya baik, yang sudah lama melayani, atau yang punya pengaruh besar.
Di satu sisi, kita ingin menjaga hubungan baik, tidak membuat keributan, dan tidak menyinggung perasaan. Di sisi lain, hati kita gelisah karena membiarkan kesalahan terus terjadi berarti membiarkan saudara kita berjalan menuju bahaya rohani.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.”
Menegur bukan berarti menghakimi atau mempermalukan. Menegur adalah bentuk kasih.
Tuhan memanggil kita untuk saling menjaga, karena kita adalah satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh merasakan dampaknya. Teguran yang didasari kasih dan kerendahan hati justru dapat memulihkan, bukan menghancurkan.
Keberanian menegur lahir dari kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama. Tanpa kasih, teguran berubah menjadi serangan. Tanpa keberanian, kasih bisa menjadi lemah dan tidak berdaya.
Kita mesti, belajar menegur dengan hati yang mendoakan, bibir yang lembut, dan sikap yang tulus untuk memulihkan. Karena tujuan kita menegur bukan untuk menjatuhkan, melainkan membawa saudara kita kembali pada jalan yang benar.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku berani menegur dengan kasih demi kebaikan rohani saudaraku?