Kamis, 14 Agustus 2025
Yosua 3:7–10a; 11:13–17
| Mazmur 114
Matius 18:21–19:1
MENGAMPUNI memang bukan perkara mudah. Luka yang dalam, ucapan yang menusuk hati, atau pengkhianatan yang mengguncang rasa percaya bisa meninggalkan bekas yang lama sembuhnya.
Lebih sulit lagi jika orang yang melukai kita bahkan tidak sadar atau tidak merasa bersalah. Secara manusiawi, wajar jika hati ingin menuntut keadilan, atau setidaknya ingin pelaku menyadari kesalahannya.
Namun, Yesus tahu persis tantangan hal ini. Itulah sebabnya Ia mengajarkan perumpamaan tentang hamba yang diampuni hutang yang mustahil dibayar, tetapi tidak mau mengampuni temannya yang hanya berhutang sedikit.
Perumpamaan ini mengajak kita untuk melihat dari kacamata Allah: kita semua adalah orang berdosa yang telah diampuni begitu banyak, lebih dari yang sanggup kita bayar dengan usaha atau kebaikan kita sendiri.
Allah tidak menimbang-nimbang apakah kita layak diampuni; Ia mengampuni karena kasih-Nya yang besar. Maka, ketika kita menolak mengampuni orang lain, sesungguhnya kita lupa betapa besar pengampunan yang sudah kita terima.
Mengampuni bukan berarti melupakan atau membiarkan kesalahan, tetapi melepaskan beban dendam yang mengikat hati, dan menyerahkan penghakiman kepada Tuhan yang adil.
Pengampunan adalah kebebasan—bukan hanya untuk orang yang bersalah, tapi terutama untuk kita yang pernah terluka. Dan ketika kita memilih mengampuni, kita sedang menyalurkan kasih Allah yang lebih besar dari semua luka.
Dalam bacaan Injil kita dengar demikian, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?”
Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”
Yesus tidak sedang meminta kita menghitung 490 kali dan berhenti di situ. Ia sedang menegaskan bahwa pengampunan tidak mengenal batas hitungan. Mengampuni adalah sikap hati yang terus-menerus, sebuah gaya hidup yang lahir dari hati yang telah mengalami kasih karunia Allah.
Mengapa Yesus menuntut begitu? Karena kita semua hidup dari pengampunan-Nya setiap hari. Dosa kita kepada Allah jauh lebih besar daripada kesalahan orang lain kepada kita. Dan jika Allah terus mengampuni kita, bagaimana mungkin kita menetapkan batas untuk mengampuni sesama?
Mengampuni tidak berarti menyetujui kesalahan atau menghapus keadilan, tetapi melepaskan hak pribadi untuk membalas, dan menyerahkan semua kepada Tuhan.
Ini memang sulit, apalagi jika luka kita masih segar. Namun, pengampunan yang kita berikan justru membebaskan hati kita sendiri dari racun kebencian, dan membuka ruang bagi damai sejahtera Allah untuk tinggal di sana.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah saya sungguh menyadari betapa besar pengampunan yang telah saya terima dari Tuhan?