Jumat, 22 Agustus 2025
Rut. 1:1,3-6,14b-16,22
Mzm. 146:5-6,7,8-9a,9bc-10
Mat. 22:34-40
“SAYA, tinggal bersama menantu,” kata seorang ibu.
“Suamiku meninggal tiga tahun yang lalu dan kemudian anakku menyusulnya, hingga kini saya seorang diri dan tinggal bersama menantuku.
Puji Tuhan, menantuku orang yang sangat baik dan berbakti. Hingga aku tidak terlantar,” katanya.
Situasi ibu ini, mengingatkan kita akan kisah Rut dan Naomi. Naomi adalah gambaran nyata dari seorang perempuan yang mengalami badai kehidupan. Suaminya meninggal, kedua anak lelakinya pun menyusul, dan ia hidup di negeri asing, Moab, yang bukan tanah airnya.
Kehilangan demi kehilangan membuat hidupnya terasa hampa dan pahit. Ia bahkan meminta dipanggil Mara, yang berarti pahit, sebagai cermin isi hatinya. Secara manusiawi, siapa pun bisa merasa putus asa dalam situasi seperti itu.
Namun, justru di tengah kepedihan itu, Allah bekerja dengan cara yang tak terduga. Sosok Rut, menantunya yang berasal dari Moab, menjadi tanda kehadiran kasih Allah.
Rut tidak hanya memilih tinggal bersama Naomi, tetapi juga mengikatkan hidupnya pada Naomi, bangsanya, dan terlebih pada Allah yang disembah Naomi.
Dalam bacaan pertama kita dengar demikian, “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku.”
Kata-kata Rut ini, bukanlah kalimat romantis belaka, melainkan sebuah keputusan radikal yang lahir dari kasih yang tulus. Rut berani meninggalkan tanah kelahirannya, masa depan yang mungkin lebih mudah, dan memilih jalan penuh risiko bersama Naomi.
Di sini kita bisa belajar, dalam kehilangan, Allah tidak pernah benar-benar meninggalkan kita. Kadang Ia hadir bukan melalui mukjizat spektakuler, melainkan lewat orang-orang yang setia mendampingi kita. Naomi menemukan kembali harapan hidup karena kesetiaan Rut.
Kasih sejati itu, selalu ditandai dengan keberanian dan pengorbanan. Rut mengajarkan kita bahwa mengasihi berarti ikut menanggung beban, berani berjalan dalam kegelapan, dan tetap setia meski jalan di depan tidak jelas.
Hidup kita pun tidak lepas dari kehilangan dan kesedihan. Namun, melalui kisah Naomi dan Rut, kita diajak percaya bahwa di balik kepahitan selalu ada kasih Allah yang bekerja.
Mungkin kasih itu hadir dalam sahabat, keluarga, atau orang-orang yang mendampingi kita tanpa pamrih. Dan kita pun dipanggil untuk menjadi “Rut” bagi sesama: menghadirkan kesetiaan dan kasih yang bertahan di tengah duka.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah saya sudah menjadi “Rut” bagi orang lain, yang rela mengasihi tanpa pamrih?