
NARSUM Rosa Vivien Ratnawati SH, MSD mengakui bahwa masalah lingkungan hidup tidak hanya berdampak buruk bagi penghidupan masyarakat, tetapi juga menimbulkan konsekuensi ekonomi yang mahal. Indonesia memiliki posisi rentan atas berbagai dampak kerusakan seperti kelangkaan air dan pangan, kerusakan ekosistem lahan dan hutan, dan penurunan kualitas kesehatan.
Karena itu, melalui pasal 1 butir 3 UU UUPPLH, pemerintah diberi mandat untuk mengelola lingkungan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Yakni:
- Keadilan antargenerasi.
- Keadilan dalam satu generasi.
- Kehati-hatian,
- Pencemaran terbayar.
- Perlindungan keanekaragaman hayati.
- Internasasi biaya lingkungan.
- Mekanisme insentif.
Secara khusus, Kementerian Lingkungan Hidup memberi perhatian pada masalah pengelolaan sampah sebagai tanggungjawab semua pihak melalui berbagai pendekatan.

Mengutip pesan Ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus mengajak sebagai berikut.
“Kita semua mempunyai tanggungjawab untuk menjaga kelestarian alam, mengolah sampah dengan baik, memprioritaskan kebutuhan kita, menggugah rasa kepedulian kita pada alam, dan mengutamakan keadilan, solidaritas, dan martabat bagi banyak orang.”
Lebih lanjut, Sandrayati Moniaga SH kembali menyotori sejumlah fakta kerusakan lingkungan; baik lokal, regional maupun global yang berdampak pada ketidakadilan sosial ekologis. Ada kelompok “privilese” yang terus menikmati kekayaan dan para korban yang hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dilanggar.
Selain itu, kata Sandra, ketidakadilan sosial ekologis ini telah merugikan negara karena koruspi sumber daya alam sehingga sulit mewujudkan kesejahteraan bersama dan perdamaian.
Ketidakadilan ini berakar pada dominasi manusia terhadap alam (antroposentrisme) yang mengabaikan kearifan lokal dan dikotomi ilmu pengetahuan, sistem hukum yang lemah dan kebijakan pro perusakan lingkungan serta korupsi dan kolusi.
Momentum 800 Tahun Kidung Segenap Ciptaan Tuhan dan 80 Tahun Indonesia Merdeka menjadi kesempatan untuk melakukan refleksi menyeluruh menuju pertobatan ekologis. “Mulailah dari diri kita sendiri untuk menjaga alam dan mengurangi sampah plastik dan jangan pernah lelah untuk mengajak orang lain untuk sama-sama bertanggung jawab dalam menjaga keutuhan alam ini” tutup Sandra Moniaga.
Sebagai penutup materi, Dr. Siti Maimunah menelusuri kerusakan lingkungan melalui rerantai ekstravisme pengambilan sumber daya alam dengan sangat kejam dan rakus. Rezim ekonomi ekstraktif ini sesungguhnya telah menghancurkan tubuh ganda, yakni tubuh alam dan tubuh kita sendiri.
Perjuangan tubuh
Siti Maimunah mengajak untuk melihat kondisi hari ini dari perspektif masyarakat lokal yang melihat alam sebagai tubuh dan harus dijaga layaknya tubuh kita sendiri. Kita perlu mereposisi diri belajar dan berlatih menghadapi krisis jamak melalui koalisi dengan alam dan leluhur untuk membangun ekonomi solidaritas yang berpihak pada kaum perempuan dan anak yang sering kali menjadi korban.
“Perjuangan Tubuh berarti perjuangan tanah air untuk melawan relasi kuasa yang berkelindan sebagai praktek perlawanan sehari-hari. Belajar dari kaum perempuan pejuang -Aleta Baun, Jull Takaliuang, Maria Loretha, Mariana Daren, dan Gunarti- kita perlu membangun solidaritas tubuh dan tanahair untuk melawan setiap bentuk penghancuran ekstraktif sekaligus menjaga alam ini layaknya tubuh kita sendiri,” demikian tutup Siti Maimunah.
Akhirnya seperti yang dikatakan Romo Mikael Peruhe OFM, seminar ini membantu kita untuk memperharui komitmen bersama dalam rangka merawat rumah kita bersama. Kepedulain terhadap Ibu Bumi tidak terpisahkan dari keadilan sosial dan perdamaian.
Jeritan bumi adalah jeritan orang-orang miskin. Kita bisa menemukan kembali Allah dalam segenap ciptaan dan bertanggungjawab melakukan berbagai tindakan nyata untuk menyelamatkan ibu bumi dan terus memperjuangkan keadilan bagi seluruh bangsa ini, terutama saudara dan saudari yang miskin dan terpinggirkan. (Selesai)