- Hab. 1:2-3; 2:2-4;
- 2Tim. 1:6-8;
- Luk. 17:5-10
PESAN Yesus dalam Injil hari ini bukan hanya tidak jelas, tetapi juga tidak nyaman di hati. Para murid meminta agar iman mereka ditambah. Yesus menjawab: iman sebesar biji sesawi dapat memindahkan pohon ara, dan mereka hanyalah pelayan yang sekadar melakukan tugas.
Apa maksud Yesus?
Pekan lalu kita mendengar perumpamaan Lazarus dan orang kaya. Kisah ini mengejutkan para murid: kekayaan bukan tanda berkat, malah bisa menyeret orang ke neraka. Mereka butuh peneguhan iman! Bukankah hal ini biasa terjadi dalam hidup?
Namun bagi Yesus, iman seperti itu baru sebesar biji sesawi. Meski iman sekecil itu dapat memindahkan pohon ara—pohon yang akarnya menghunjam jauh ke tanah mencari air—bukan itu yang utama. Yesus memang berkuasa menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, dan membangkitkan orang mati.
Tetapi yang menyelamatkan manusia bukanlah kuasa hebat Yesus, melainkan ketaatan dan kesetiaan-Nya kepada kehendak Bapa, sampai wafat di salib. Kasih Bapa yang membangkitkan Yesuslah yang menyelamatkan manusia. Kuasa Yesus hanyalah wujud ketaatan seorang hamba yang melakukan tugasnya.
Sikap iman seperti itulah yang diharapkan Yesus dari para murid-Nya. Seperti para rasul, ketika hidup terasa berat, sering kali iman menjadi jalan keluar terakhir. Orang menambah doa untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan mencari pertolongan demi keberhasilan hidup.
Bukankah iman kerap dirumuskan sebagai tidak melihat, tidak mengerti, namun percaya? Pesan Yesus tentang iman sebesar biji sesawi kerap dipahami sebagai penjamin agar orang pasrah dan percaya.
Tindakan ini tidak salah, sebab merupakan usaha manusia untuk melampaui keterbatasannya sendiri. Namun, tindakan itu tidak otomatis menjadi iman Kristiani. Semua agama memiliki cara mengandalkan kuasa yang melampaui manusia.
Yang membuatnya iman Kristiani bukan karena pelakunya Katolik atau karena cara Katolik dipakai, melainkan isi tindakannya: apakah membuahkan ketaatan dan kepasrahan pada kehendak Bapa.
Bukankah sering kita dengar dalam doa penyembuhan: kalau tidak sembuh, dikatakan orangnya belum percaya, masih berdosa, atau belum bertobat? Orang sudah sakit, masih dituduh kurang beriman atau dikuasai setan.
Ini aneh. Jika seseorang berdoa dalam nama Yesus, bagaimana mungkin setan lebih kuat daripada Tuhan Yesus? Atau ketika harapan tidak terpenuhi, lalu orang kecewa dan menyalahkan Allah.
Tanda iman sejati bukan terletak pada hebatnya usaha atau hasil, melainkan pada kepasrahan dan ketaatan kepada kehendak Allah. Bagaimana kita dapat berpusat pada ketaatan itu?
Ada kisah dua bersaudara yang dipanggil Allah. Sang kakak meninggalkan segalanya: rumah, pekerjaan, dan perempuan yang dicintainya, lalu pergi ke daerah primitif melayani orang miskin.
Di sana terjadi kerusuhan, ia pun dibunuh. Tuhan berkata kepadanya: “Hambaku yang baik dan setia. Engkau memberiku pengabdian seribu talenta, terimalah ganjaran semiliar talenta. Masuklah ke dalam sukacita Tuhanmu.”
Sang adik menanggapi panggilan Tuhan dengan melanjutkan rencana hidupnya. Ia menikah dengan gadis yang dicintainya, menjadi kaya dan terkenal. Ia dermawan kepada orang miskin, mengasihi istri dan anak-anaknya, serta kadang mengirim uang untuk kakaknya di tanah misi.
Ketika ia meninggal, Tuhan berkata kepadanya: “Hambaku yang baik dan setia. Engkau memberiku pengabdian sepuluh talenta, terimalah ganjaran semiliar talenta. Masuklah ke dalam sukacita Tuhanmu.”
Melihat adiknya menerima ganjaran yang sama, sang kakak berkata kepada Tuhan: “Tuhan, jika aku tahu bahwa ganjarannya sama, dan jika boleh kulakukan kembali, aku akan tetap melakukan persis seperti yang kulakukan untuk-Mu dulu.”
Hari ini kita mendengar Kabar Gembira: Tuhan sungguh mahamurah, dan manusia dipanggil menjawabnya dengan penuh syukur melalui pengabdian hidup yang penuh kasih.
Pesan Yesus hari ini bukanlah perintah atau kewajiban, melainkan undangan kasih untuk ikut bekerja bersama-Nya. Kita bukan budak yang sekadar bekerja; kita anak-anak Allah, rekan sekerja Yesus.
Allah sudah membuktikan cinta-Nya dengan mengutus Putera-Nya wafat demi keselamatan kita. Bahkan Allah berbuat lebih: mendampingi kita setiap hari agar kita bertumbuh dalam kasih dan kebahagiaan bersama-Nya.
Allah sabar menghadapi kelemahan, kesalahan, dan dosa kita. Dalam kedosaan pun kita tetap boleh mengalami kasih-Nya. Jika kita menjalani hidup dalam iman dan kasih, kita bisa berkata dengan rendah hati: “Kami hanya hamba-hamba yang tidak berguna. Kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan.”
Jika kita melaksanakan tugas hidup dengan kasih, kita akan lebih mudah berpusat pada ketaatan dan kehendak Allah. Dengan iman dan kasih seperti itu, kita dapat “memindahkan” pohon ara—yakni pohon kemalasan, pohon puas diri, pohon kesombongan, dan pohon egoisme—yang berakar kuat dalam hidup kita.
Mari kita mohon kurnia iman: pemahaman akan kasih Allah yang begitu besar, sehingga kita melihat hidup sebagai kesempatan untuk berjuang membalas kasih-Nya. Amin.
Sumber: A. de Mello SJ, Burung Berkicau, no. 86