Sabtu, 4 Oktober 2025
Bar. 4:5-12,27-29.
Mzm. 69:33-35,36-37.
Luk. 10:17-24.
HIDUP ini adalah anugerah, dan setiap kita memiliki peran istimewa dalam rencana Allah. Ketika kita dipanggil dan diutus oleh Tuhan untuk ambil bagian dalam karya pewartaan-Nya, itu bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah kehormatan.
Sebab Allah tidak hanya memilih orang-orang yang “sempurna”, melainkan Ia berkenan memakai kelemahan kita untuk menyatakan kuasa-Nya.
Panggilan untuk mewartakan Injil adalah undangan untuk bersyukur. Bersyukur karena Allah lebih dahulu mengasihi kita, meneguhkan kita, dan mempercayakan kepada kita misi yang begitu mulia: menjadi saksi kasih-Nya di tengah dunia.
Betapa bahagianya kita menyadari bahwa Allah melihat nilai dalam diri kita, dan memperhitungkan kita layak untuk ambil bagian dalam rencana keselamatan-Nya.
Kita pun diajak untuk bergembira. Gembira bukan karena kita mampu dengan kekuatan sendiri, melainkan karena Roh Kudus menyertai.
Kegembiraan ini lahir dari kesadaran bahwa setiap langkah pewartaan adalah jalan bersama Tuhan, yang tidak pernah meninggalkan para utusan-Nya. Bahkan dalam kesulitan, tantangan, atau penolakan, kita boleh tetap bersukacita karena kita tahu: kita sedang berjalan dalam jejak Kristus.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.”
Yesus menunjukkan betapa hati-Nya penuh syukur kepada Bapa. Ia bergembira bukan karena kuasa atau pengaruh duniawi, melainkan karena Bapa berkenan menyatakan rahasia Kerajaan Surga kepada orang kecil, kepada mereka yang sederhana, rendah hati, dan terbuka.
Inilah sukacita sejati: bahwa Allah lebih berkenan kepada hati yang tulus daripada kepada kepandaian yang sombong.
Kerap kali kita menilai berdasarkan kecerdasan, jabatan, atau kemampuan. Namun Allah justru menyingkapkan misteri kasih-Nya kepada mereka yang mau percaya dengan iman yang polos, seperti seorang anak kecil.
Orang kecil yang dimaksud bukan hanya secara sosial atau ekonomi, melainkan siapa pun yang membuka diri dengan rendah hati, tanpa kesombongan, dan siap diajar oleh Allah.
Kita dipanggil untuk tidak takut. Tuhanlah yang memanggil, Tuhan pula yang mengutus, dan Ia yang sama juga akan meneguhkan langkah kita sampai akhir.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku sungguh bersyukur atas panggilan Tuhan dalam hidupku?