Minggu. Hari Minggu Biasa XXX, Hari Biasa (H)
- Sir. 35:12-14.16-18
- Mzm. 34:2-3.17-18.19.23
- 2Tim. 4:6-8.16-18
- Luk. 18:9-14
Lectio
9 Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini: 10 “Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; 12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
13 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. 14 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”
Meditatio-Exegese
Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati
Teracam ditangkap dan dibunuh di istana Akhis, raja kota Gat, Daud menyelamatkan diri dengan berpura-pura gila, menggores-gores pintu gerbang dan membiarkan ludahnya meleleh ke janggutnya (bdk. 1 Sam. 21:11-16). Peristiwa ini direnungkannya dan ia mampu memandang karya Allah yang melepaskannya dari ancaman musuh.
Maka, pemazmur mengajak tiap pribadi untuk bergabung bersamanya memuji dan memuliakan-Nya karena kemurahan hati-Nya yang telah menganugerahkan pembebasan dan naungan bagi hamba-Nya yang rendah hati.
Pemazmur, hamba Allah, mengungkapkan pujian bagi Allah tanpa henti. Memuji dan memuliakan Allah menyegarkan jiwa sang haba dan membuat kaum tertindas dan rendah hati bahagia saat mendengarkan kesaksian akan kemuliaan Allah yang keluar dari mulut hamba-Nya (Mzm. 34:2-4).
Pemazmur kemudian mengingatkan tiap pribadi bahwa Allah menegakkan keadilan dan tidak pernah tidak menghukum mereka yang melakukan kejahatan dan tidak pernah membiarkan mereka yang menindas kaum lemah dan Hamba yang benar.
Hamba yang benar adalah siapa pun yang tidak hanya berperilaku benar (bdk. 34:13-14), tetapi juga ia senantiasa bertobat dan rendah hati di hadapan Allah. Hamba yang rendah hati senantiasa dibenarkan dan ditebus-Nya (Mzm. 34:22).
Sikap batin yang senantiasa bertobat dan kerendahan hati nyaring menggema dalam perumpamaan tentang dua orang yang menghadap Allah. Yang satu mengaku diri sebagai hamba Allah yang setia dengan menunjukkan bahwa dirinya adalah orang ‘benar’.
Yang lain mengakui diri sebagai hamba yang rendah dan penuh dosa, memohon pengampunan dan menggantungkan hidupnya pada kemurahan dan belas kasih-Nya.
Pemazmur mengungkapkan (Mzm. 34:19), “Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”, Iuxta est Dominus iis, qui contrito sunt corde, et confractos spiritu salvabit.
Barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan
Yesus mengisahkan perumpamaan ini langsung untuk kaum Farisi dan siapa pun(Luk 18:9), “yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain.”, qui in se confidebant tamquam iusti et aspernabantur ceteros.
Kaum Farisi adalah sekelompok pemimpin agama Yahudi yang melaksanakan dengan setia dan terinci setiap perintah dan larangan Hukum Musa dan adat istiadat nenek moyang (Kis 25:5). Maka, mereka menganggap bahwa merekalah yang paling benar di hadapan Allah dan orang lain dianggap sebagai pendosa.
Dalam Mat. 23:1-33, Yesus mengecam cara kaum Farisi melaksanakan perintah dan larangan Hukum Musa; mereka membebankan kerumitan pelaksanaan pada orang biasa dan menyombongkan seolah merekalah yang paling benar dalam melaksanakan perintah Allah.
Melalui perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai, Yesus menggambarkan dengan sehidup-hidupnya sikap batin yang kontrastif di hadapan Allah. Dua orang pergi ke Bait Allah untuk menghadap ke hadirat-Nya.
Si Farisi datang menghadap Allah di depan Ruang Maha Suci di Bait Allah. Ia berdiri dengan kepala tegak, membusungkan dada, dan menepuk dada.
Empat kali si Farisi menggunakan kata aku dan kata ganti kepunyaan ku untuk mengunggulkan dirinya sendiri. Kata ganti orang pertama aku digunakan untuk menunjukkan bahwa ia lebih baik dari orang, terutama, bukan seperti orang yang bersamanya menghadap Allah.
Kata itu juga digunakan untuk menunjukkan perbuatan yang menurutnya baik; dan, akhirnya, kata ganti pemilik ku mengungkapkan seberapa banyak yang diberikan kepada Allah sesuai aturan Hukum Taurat. Dengan kata lain, ia membenarkan diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Katanya, “… aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” (Luk. 18:11-12).
Sikap batin si Farisi menjadikan dirinya pusat dari relasi dengan Allah. Ia merasa setara dengan Allah, sama dengan sikap batin yang ditawarkan setan kepada Hawa (Kej. 3:5), “dan kamu akan menjadi seperti Allah.”, et eritis sicut Deus.
Sebaliknya, dengan sangat indah Yesus melukis sikap badan dan, terutama, sikap batin si pemungut cukai. Ia berdiri jauh di hadapan Allah; tidak berani menengadah ke langit, karena malu di hadapan Allah.
Ia membungkukkan badan, berlutut dan menebah dada. Ia memandang diri sebagai pribadi yang berdosa dan tidak layak menghadap Allah. Ia hanya mengucapkan (Luk. 18:13), “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”, Deus, propitius esto mihi peccatori.
Sikap batin si pemungut cukai dilestarikan dalam Liturgi Gereja Katolik dalam pengakuan dosa di ritus awal Perayaan Ekaristi saat tiap pribadi berseru, “Mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa.”, Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa.
Maka, setiap murid harus menjadikan dirinya rendah hati. Kerendahan hati merupakan salah satu tanda pertobatan dan keterbukaan hati untuk menerima rahmat belas kasih dan pengampunan-Nya.
Masing-masing pribadi perlu berdoa seperti Daud berdoa ketika Nabi Natan datang padanya setelah menghampiri Batsyeba, istri Uria, orang Het itu.
“Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku. Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku.
Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. Sesungguhnya, Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin, dan dengan diam-diam Engkau memberitahukan hikmat kepadaku.
Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju. Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan puji-pujian kepada-Mu.
Sebab Engkau tidak berkenan kepada kurban sembelihan; sekiranya kupersembahkan kurban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Kurban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.” (Mzm 51:3-5, 7-9, 17-19).
Santo Petrus dan Yakobus menulis tentang keutamaan kerendahan hati dalam 1Ptr. 5:5 dan Yak. 4:6. Kedua Rasul itu mengutip dari Ams. 3:34.
Santo Petrus melanjutkan bahwa para murid-Nya harus mengenakan pakaian kerendahan hati dalam bergaul dengan sesama dan dengan Allah, karena “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” (bdk. Ams. 3:34).
Santo Petrus melanjutkan nasihatnya, “Karena itu rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat, supaya kamu ditinggikan-Nya pada waktunya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1Ptr. 5:6-7).
Santo Augustinus, Uskup Hippo, 354-430, mengajak tiap pribadi untuk bertobat dan disembuhkan, “Betapa berguna dan penting obat untuk kita: pertobatan. Orang yang mengingat bahwa mereka hanyalah sekedar manusia pasti memahami hal ini.
Tertulis dalam Kitab Suci, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.” (1Ptr. 5:5; Yak. 4:6; Ayb. 22:29; Ams. 3:34). Orang Farisi itu tidak sangat bersuka cita atas kesehatan badannya sendiri ketika dibandingkan dengan penyakit yang diderita orang lain.
Ia harus menjumpai tabib. Baginya lebih layak untuk diberitahu akan kesaksian bahwa ada sesuatu yang salah padanya karena ia menanggung luka-luka hati yang tersembunyi dan menderita penyakit jiwa karena menyombongkan diri di atas goresan luka di hati sesama.
Tidaklah mengherankan bahwa si pemungut cukai disembuhkan ketika ia pulang dari Bait Allah, karena ia tidak dipermalukan ketika menunjukkan bagian mana menderita dan butuh disembuhkan.” (Sermon 351.1)
Allah membuka hatiNya untuk hati yang rendah hati. Dalam kerendahan hati, Perawan Maria memadahkan pujian, Magnificat, “Allah telah memperhitungkan hamba-Nya yang hina ini […] Rahmat-Nya diberikan dari generasi ke generasi, kepada orang-orang yang takut akan Dia.” (Luk. 1:48.50).
Katekese:
Menghadap-Nya dengan tangan kosong, rendah hati dan berdosa. Paus Fransiskus (1936-2025):
“Orang Farisi itu tidak berdoa, ia puas dengan ketaatannya melaksanakan hukum. Namun sikap dan kata-katanya jauh dari sabda dan karya Allah. Ia mengasihi semua manusia dan tidak pernah mengabaikan para pendosa.
Sebaliknya, si Farisi itu menghina pendosa, bahkan menganggap tidak ada orang lain di Bait-Nya. Pendek kata, orang Farisi itu, yang menganggap diri benar, mengabaikan perintah yang paling penting : mengasihi Allah dan sesama.
Sebaliknya, si pemungut cukai hadir di Bait Allah dengan rendah hati dan penyesalan, “berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri.” (Luk. 18:13). Doanya juga sangat singkat, tidak seperti doa si Farisi. “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”, Deus, propitius esto mihi peccatori.
Hanya kata-kata itu. Betapa indahnya. Kita tahu, pemungut cukai dianggap najis, kaki tangan penguasa asing. Mereka tidak disukai dan dalam pergaulan sosial disamakan dengan ‘pendosa’.
Maka, perumpamaan ini mengajarkan bahwa manusia dibenarkan atau berdosa bukan karena status sosial, tetapi karena caranya menjalin relasi dengan Allah dan bagaimana ia menjalin relasi dengan sesama.
Gerak tubuh dan ungkapan kalimat sederhana yang diucapkan menjadi saksi akan kesadaran diri bahwa dirinya malang. Doanya menjadi sangat penting. Tindakan dan ungkapan katanya menunjukkan kerendahan hati, dan meyakini bahwa ia adalah pendosa yang membutuhkan belas kasih.
Jika si Farisi itu tidak membutuhkan apa-apa dari Allah karena ia telah memiliki semuanya, pemungut cukai ini hanya dapat memohon belas kasih Allah. Dan inilah keindahan yang dapat dipetik: memohon belas kasih Allah.
Hadir di hadapan-Nya dengan tangan kosong, rendah hati dan mengaku sebagai pendosa, pemungut cukai itu memperlihatkan bahwa semua murid-Nya sekarang membutuhkan pengampunan dan belas kasih Tuhan.
Pada akhirnya, pemungut cukai yang demikian direndahkan kini menjadi teladan atas iman akan belas kasih dan kerahimanNya.” (Audiensi Umum, Lapangan Santo Petrus, 1 Juni 2016).
Oratio-Missio
“Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini”
- Apa yang aku lakukan untuk merendahkan diriku di hadapan Allah dan sesamaku?



