BAPA Suci Paus Leo XIV mengundang kaum muda untuk menumbuhkan “hidup batin” mereka dan mendengarkan kegelisahan yang muncul di dalam diri, tanpa melarikan diri darinya atau mengisinya dengan hal-hal yang tak memuaskan. Jika tidak, mereka berisiko jatuh ke dalam kehampaan eksistensial.
“Memiliki banyak pengetahuan saja tidaklah cukup bila kita tak tahu siapa diri kita atau apa makna hidup ini,” ujar Paus kepada ratusan mahasiswa yang hadir di Aula Paulus VI Vatikan dalam acara Yubileum Dunia Pendidikan.
Paus Leo XIV menekankan pentingnya keheningan, mendengarkan dan doa. “Tanpa keheningan, tanpa mendengarkan, tanpa doa, bahkan cahaya bintang pun bisa padam,” katanya.
“Kita bisa banyak tahu tentang dunia, namun tetap tak mengenal hati kita sendiri,” lanjutnya.
Paus pun mendorong kaum muda agar senantiasa menatap ke “ketinggian” dan menjadi “suar harapan di masa-gelap sejarah”.
Kehampaan dan luka batin kaum muda
Paus Leo XIV mengakui bahwa banyak kaum muda saat ini merasakan kehampaan atau kegelisahan batin, dan bahwa disorientasi yang dialami tak hanya akibat persoalan pribadi semata. “Dalam kasus paling serius, kita menyaksikan gejala penderitaan, kekerasan, bullying, dan penindasan — bahkan anak muda yang mengasingkan diri dan tak lagi mau berhubungan dengan orang lain,” ungkapnya.
Menurut Paus, luka-luka dalam ini merupakan “cerminan sebuah kekosongan yang diciptakan oleh masyarakat yang lupa membentuk dimensi rohani manusia, dan hanya memfokuskan pada aspek teknis, sosial atau moral kehidupan”.
Akrab dengan kaum muda
Dalam kesempatan tersebut, Paus tampak santai dan bersahabat. Ia dua kali memperkenalkan diri sebagai “mantan guru matematika dan fisika”, mengingat masa lalunya sebagai pendidik — bahkan sempat bercanda: “Mungkin kalian segera ujian matematika?” — yang disambut tawa dan tepuk tangan mahasiswa.
Paus menegaskan, hidup yang hanya dikekang oleh kesenangan sesaat “tak akan pernah memuaskan kita”. Ia mengajak setiap orang berdoa dalam hati: “Aku merindukan sesuatu yang lebih, Tuhan, aku mendambakan hal yang lebih besar: inspirasilah aku.”
“Kegelisahan ini adalah kekuatan kalian,” ujarnya, “dan mencerminkan semangat kaum muda yang membayangkan masyarakat yang lebih baik dan menolak menjadi sekadar penonton.”
“Jangan terus-terusan lihat HP, sesekali pandanglah langit”
Paus mendorong mahasiswa agar tidak puas hanya dengan tampilan atau tren sesaat. Ia mengingatkan: “Alih-alih hanya selalu terpaku melihat HP saja, sesekali mari pandanglah langit; arahkan pandangan kita ke ketinggian.”
“Betapa indahnya bila suatu saat generasi kalian dikenang sebagai ‘generasi plus’ — yang membawa dorongan ekstra bagi Gereja dan dunia,” katanya.
Dalam pidatonya, Paus menunjuk dua teladan muda:
- Pier Giorgio Frassati yang “berani hidup secara penuh dan menuju ketinggian”.
- Carlo Acutis yang “tak mau jadi budak internet, melainkan memakainya secara cerdas untuk kebaikan”
Keduanya Orang Kudus ini telah dikanonisasi oleh Paus Leo XIV tanggal 7 September lalu.
Paus juga menyinggung Santo Agustinus sebagai contoh: “sosok yang sangat brilian namun dalam kegelisahan mendalam” yang “merasa tidak pernah bisa menemukan kebenaran maupun damai, sebelum ia menemukan Allah di dalam hatinya sendiri”.
Tantangan dunia digital dan kecerdasan buatan
Sebagian besar pidatonya memfokuskan pada tantangan era digital dan kecerdasan buatan (AI). Paus memperingatkan agar hal-hal itu tak menjadi “sangkar penjara” atau “kecanduan dan film pelarian”.
“Kalian hidup dalam pendidikan digital — dan itu bukan hal buruk; ada peluang besar belajar dan berkomunikasi. Tapi jangan biarkan algoritma menulis kisah hidupmu. Jadilah kalian sebagai penulisnya sendiri: pakailah teknologi secara bijak, jangan sampai teknologi memakai kalian,” tegasnya.
Tak cukup bungkam senjata; kita harus melucuti hati”
Paus Leo XIV menekankan kebutuhan mendesak akan “pendidikan yang melucuti dan membawa perdamaian”, yang membentuk generasi baru dalam semangat hormat, keadilan, dan kesetaraan.
“Kita bisa lihat betapa masa depan kita terancam oleh perang dan kebencian yang memecah manusia. Bisakah masa depan itu diubah? Tentu. Bagaimana? Dengan pendidikan perdamaian yang melucuti dan peredam,” katanya.
Ia menambahkan bahwa tak cukup “membungkam senjata”, tetapi juga “melucuti hati” dengan menolak segala bentuk kekerasan dan keburukan.
Dalam dokumennya Drawing New Maps of Hope, Paus menyerukan untuk menghindari semua bentuk diskriminasi atau privilese dalam pendidikan, dan untuk “mengakui martabat yang sama dari setiap kaum muda — tanpa memisahkan antara sedikit yang bisa sekolah mahal dan banyak yang tak punya kesempatan”.
PS: Artikel ini diterjemahkan dan diadaptasi dari laporan ACI Prensa, mitra berita berbahasa Spanyol dari Catholic News Agency.
 
            


