Home BERITA Injil Minggu 1 November 2025 – HR Semua Orang Kudus: Sabda Bahagia,...

Injil Minggu 1 November 2025 – HR Semua Orang Kudus: Sabda Bahagia, Bagaimana Memahaminya?

0
160 views
Sabda Bahagia - Berbahagialah Dan Diberkatilah yang Rendah Hati. (Pilgrim Info)
  • Mat 5:1-12a

INJIL bagi Hari Raya Semua Orang Kudus kali ini, yakni Sabda Bahagia (Mat 5:1-12a), berperan sebagai pembukaan bagi pelbagai pengajaran Yesus yang termaktub dalam Mat 5–7.

Ada lima rangkaian pengajaran seperti itu, yakni:

  1. Mat 5–7: Khotbah di Bukit.
  2. Mat 10: Pedoman hidup bagi pewarta Kerajaan Surga.
  3. Mat 13: Penjelasan mengenai Kerajaan Surga.
  4. Mat 18: Pengajaran bagi para murid dalam hidup bersama.
  5. Mat 23–25: Uraian di Bukit Zaitun tentang kedatangan Kerajaan Surga pada akhir zaman.

Di antara kumpulan yang satu dengan yang berikutnya terdapat kisah-kisah mengenai tindakan serta mukjizat Yesus dan berbagai peristiwa dalam kehidupan para murid.

Kelima kumpulan itu tersusun secara unik.

Kumpulan terakhir (Mat 23–25) berlatarkan pengajaran di Bukit Zaitun, yang mengingatkan pada kumpulan pertama (Mat 5–7) yang juga berlatar sebuah bukit. Tentang hal ini akan diuraikan lebih lanjut di bawah.

Kumpulan keempat (Mat 18), yang menyangkut kehidupan para murid, erat berhubungan dengan kumpulan kedua (Mat 10), yakni pedoman hidup bagi para murid Yesus yang akan menjadi pewarta Kerajaan Surga.

Kumpulan ketiga (Mat 13) menyoroti Kerajaan Surga, yakni warta paling pokok yang dibawakan Yesus.

Penyusunan secara konsentrik seperti ini dapat menjadi pegangan untuk mendalami masing-masing kumpulan. Jadi, kumpulan pertama (Mat 5–7), yakni Injil kali ini, sebaiknya dilihat dalam hubungannya dengan warta pokok Kerajaan Surga (Mat 13) dan kepenuhannya kelak pada akhir zaman (Mat 23–25).

Dengan demikian, para murid akan siap menghayati pedoman hidup secara pribadi (Mat 10) maupun dalam kebersamaan (Mat 18).

Sabda Bahagia: siapa yang dituju?

Dalam Mat 5:1–12a tercantum delapan Sabda Bahagia yang ditujukan kepada semua orang (ay. 3–10), serta satu Sabda Bahagia yang khusus diucapkan bagi para murid (ay. 11) dan dilanjutkan dengan seruan agar mereka tetap bersukacita (ay. 12a).

Disebutkan dalam ay. 1–2, ketika Yesus melihat orang banyak, Ia naik ke bukit dan memberi pengajaran untuk menggugah para pendengarnya agar semakin memahami diri mereka sendiri. Maka Sabda Bahagia dapat membantu kita membaca pengalaman kita sekarang ini juga.

Upaya mendalami Sabda Bahagia sebagai pembukaan kumpulan pertama dapat menciptakan hubungan guru–murid dengan Yesus. Bila hal itu terjadi, orang akan merasa tertuntun mendekat kepada kenyataan hadirnya Yang Ilahi di antara manusia.

Hubungan ini mendekatkan orang pada kenyataan Kerajaan Surga di dunia dan kepenuhannya kelak di akhir zaman.

Dengan demikian, Sabda Bahagia dapat menjadi pangkal harapan untuk ikut menikmati kenyataan itu.

“Berbahagialah…”

Tiga Sabda Bahagia pertama (Mat 5:3–5) menegaskan bahwa orang dapat disebut berbahagia karena tumpuan harapan hidupnya ialah Tuhan sendiri.

Gagasan “miskin” dalam ay. 3 menunjuk pada kebersahajaan batin; karena itu diberi penjelasan “di hadapan Allah”.

Penjelasan tambahan ini tidak terdapat dalam Sabda Bahagia yang disampaikan Luk 6:20, karena Lukas menekankan orang yang betul-betul kekurangan secara material — mereka yang diperhatikan oleh para pengikut Yesus yang bersedia berbagi keberuntungan dengan mereka.

Kemudian Mat 5:4 menyebut berbahagia orang yang “berdukacita”, maksudnya orang yang hanya dapat terhibur oleh kesadaran bahwa Tuhan tetap berada di dekatnya, kendati mengalami kesulitan.

Termasuk di sini sikap tidak berpihak pada kekerasan yang terungkap dalam Mat 5:5 sebagai “lemah lembut”.

Selanjutnya ada dua Sabda Bahagia (Mat 5:6 dan 8) yang menyebut keinginan untuk menjalankan kehendak Tuhan sebagai hal yang membahagiakan: “lapar dan haus akan hal yang lurus” (ay. 6) dan “berhati bersih” (ay. 8).

Ungkapan terakhir ini dipetik dari gaya bahasa Ibrani (lihat Mzm 24:4) dan berarti “mampu berpikir secara jernih”. Orang yang demikian tidak mudah dipengaruhi oleh keinginan-keinginan yang menjauhkannya dari Tuhan.

Jadi, bukan sekadar ajaran untuk menjauhi nafsu yang disebut kotor.

Dua Sabda Bahagia berikutnya (Mat 5:7 dan 9) menegaskan bahwa upaya menghadirkan Tuhan kepada sesama mendatangkan kebahagiaan, yakni melalui sikap “berbelaskasihan” (ay. 7) dan “pencinta damai” (ay. 9).

Namun, tidak disangkal adanya kesulitan seperti jelas dari Mat 5:10–12. Orang yang hidup dalam kerangka di atas sering dimusuhi, seperti terungkap dalam ay. 10: “dikejar-kejar karena bertindak lurus.”

Secara khusus kepada murid-murid-Nya, Yesus menambahkan Sabda Bahagia kesembilan (ay. 11), yang menyangkut pengalaman dimusuhi karena menjadi murid-Nya. Pengharapan mereka dikuatkan (ay. 12a): “Bersukacitalah, karena besar pahalamu di surga.”

Tiap pengalaman di atas dapat dihayati oleh semua orang yang memberi ruang bagi Yang Ilahi. Bahkan pengalaman ini melampaui batas-batas agama. Mereka yang mendalami makna Sabda Bahagia akan semakin mengenali liku-liku kehidupan rohani dan pergulatan di dalamnya.

Hidup yang terarah kepada Yang Ilahi membawa kebahagiaan. Di situlah makna sejati “berbahagia”.

Mengajar di sebuah bukit

Injil Matius ditulis bagi orang-orang yang akrab dengan alam pikiran Perjanjian Lama, khususnya peristiwa turunnya Taurat kepada Musa di Sinai.

Bagi umat Perjanjian Lama, Taurat berisi ajaran kehidupan dalam bentuk pedoman, petunjuk, tata cara ibadat, dan hukum yang bila dijalani dengan jujur dan ikhlas akan membuat mereka dekat dengan Tuhan serta menjadi umat yang dilindungi-Nya.

Dengan latar inilah Matius mengisyaratkan kepada pembacanya bahwa Yesus kini menjalankan peran Musa. Yesus membawakan petunjuk, ajaran, dan kebijaksanaan yang bila dihayati akan membuat orang menjadi bagian dari umat baru — pewaris Kerajaan Surga.

Namun, ada perbedaan mencolok antara Musa dan Yesus. Di Sinai, Musa tampil jauh dari umat; awan meliputi pucuk gunung tempat ia menerima Firman Ilahi. Tak ada yang berani mendekat karena kebesaran Ilahi sedemikian menggentarkan.

Sekarang Yesus tampil sebagai tokoh yang dekat dengan orang banyak. Matius memang sengaja menampilkannya sebagai kenyataan dari “Tuhan menyertai kita” — Imanuel.

Kini bukan awan yang menggentarkan, melainkan kemanusiaan Yesus yang menyelubungi kebesaran Ilahi, sehingga orang banyak dapat datang mendekat. Bukit tempat pengajaran disampaikan bukan lagi gunung tinggi yang hanya bisa didaki Musa sendirian, melainkan tempat yang mudah dijangkau. Namun demikian, tempat yang mudah dicapai ini tetap menjadi tempat keramat, seperti puncak Sinai dulu — kekeramatan yang dekat, bukan yang sukar dijangkau.

Menjelang akhir hidup-Nya, Yesus masih memberi pengajaran kepada murid-murid-Nya di sebuah bukit pula, yakni di Bukit Zaitun. Kita boleh mengingat Musa di Gunung Nebo yang memandang ke Tanah Terjanji, tetapi tidak memasukinya. Yosua-lah yang memimpin umat ke sana.

Peristiwa ini besar maknanya bagi pembaca Injil Matius. Nama “Yesus” dalam bentuk Ibraninya sama dengan “Yosua”, penerus Musa. Dengan demikian, disarankan bahwa Yesus bakal memimpin orang banyak memasuki negeri baru yang dijanjikan — yakni Kerajaan Surga.

Warta Sabda Bahagia

Sabda Bahagia dalam Injil menggambarkan apa yang nyata-nyata dialami di antara orang-orang yang hidup mengikuti Yesus. Ia bukan menunjuk pada hal-hal yang belum terjadi. Dengan kata lain, Sabda Bahagia bersifat deskriptif (“mengatakan apa yang sudah ada”), bukan preskriptif (“menyarankan agar terjadi demikian”).

Beberapa contoh lain dari Sabda Bahagia terdapat dalam Mzm 1:1; 32:1–2; 144:15; Mat 11:6; 13:16; 16:17; Luk 6:20; 11:28; 12:37; Yoh 20:29; dan 1 Ptr 4:14.

 Semua ini lebih tepat dipahami sebagai uraian deskriptif. Sabda Bahagia bukanlah kata-kata performatif seperti “berkat”, juga bukan serangkaian resep hidup bahagia. Ia menunjukkan apa yang terjadi bila orang berada dalam keadaan yang digambarkan di situ.

Pendengar diajak berpikir lebih lanjut dan mengambil sikap baru. Dengan demikian, Sabda Bahagia bukan ajaran yang “itu-itu saja”, melainkan sabda yang selalu menyapa.

Sabda Bahagia (Mat 5:1–12a) sebaiknya juga dibaca bersama pengajaran Yesus tentang Penghakiman Terakhir (Mat 25:31–46). Kedua bagian ini membingkai seluruh pengajaran Yesus — keduanya disampaikan di sebuah bukit, dan keduanya membicarakan siapa yang bakal memiliki Kerajaan Surga serta dapat memasuki kebahagiaan kekal.

Dalam Mat 25:35–36 ditegaskan bahwa berbuat baik kepada sesama berarti berbuat baik kepada Tuhan sendiri. Yesus memanusiakan gambaran Penghakiman Terakhir. Ia mengajarkan bahwa yang dikerjakan bagi sesama akan menjadi batu uji masuk surga. Kebijaksanaan dan akal budi menjadi penuntun yang baik menuju pertanggungjawaban terakhir nanti.

Ada imbauan agar kita pun kelak dapat mengatakan bahwa kita telah memperkaya Tuhan dan berbuat baik kepada-Nya. Sabda Bahagia menggambarkan keadaan batin dan sikap hidup mereka yang pada akhir zaman akan dapat mengatakan bahwa mereka telah berbuat banyak bagi sesama. Dan Tuhan akan berkata bahwa semua itu dilakukan bagi-Nya.

Mereka yang demikian akan sungguh dapat disebut “Berbahagia”.

Salam hangat,

A. Gianto

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here