Artikel Kesehatan: Dengue dalam Era JKN

0
204 views
Vaksin demam berdarah (Ilustrasi/Kuala Lumpur Post)

BULAN Februari dan Maret 2019 ini seluruh wilayah DKI Jakarta masuk dalam kategori waspada Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue ( DBD). Sepanjang tahun 2018 tercatat ada 2.947 kasus DBD di DKI Jakarta dengan 2 kematian (case fatality rate/CFR 0,07 persen).

Pada era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) ini, penjaminan biaya pasien dilakukan oleh BPJS Kesehatan.

Bagaimana pembiayaan pasien dengue dalam era JKN?

Pada era JKN dengan pembiayaan sistem kapitasi di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer) pada dokter keluarga, klinik pratama atau puskesmas, peran preventif dan promotif wajib ditingkatkan, agar jumlah kasus dapat ditekan. Dengue merupakan kasus yang harus dilayani secara tuntas di layanan primer dan tidak boleh dirujuk ke FKTL (Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut) menurut Konsil Kedokteran Indonesia, 2014.

Menurut Peraturan Presiden nomor 12 tahun 2013, Permenkes Nomor 71 tahun 2013 dan Surat Edaran Nomor HK/MENKES/31/I/2014, disebutkan bahwa cakupan pelayanan rujukan segera ke UGD RS yang dapat dijamin, adalah sesuai dengan kriteria gawat darurat hanyalah shock berat (profound), yaitu nadi pasien tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, termasuk Dengue berat atau DSS.

Apabila pasien dengue sudah dirujuk ke poliklinik, bukan UGD RS, harus sesuai dengan PMK 64 tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, yang berisi tarif INA-CBG 2016. Sebagai contoh Rumah Sakit Pemerintah Kelas C Regional 1 untuk kasus Dengue rawat jalan dengan diksripsi INA CBGs infeksi akut dan kode Q5350, memiliki plafon biaya Rp. 433,200 per minggu.

Padahal, biaya riil pemeriksaan laboratorium untuk kasus curiga Dengue biasanya meliputi darah rutin Rp. 73.500, NS1Ag antigen Rp. 247.000, ADV Rp. 247.000, Trombosit Rp. 32.000, Hematokrit Rp. 25.500 dan golongan darah 25.000. Untuk kasus Dengue yang memerlukan rawat inap non emergency di bangsal kelas III RS Pemerintah kelas C Regional 1, sesuai PMK 64 TAHUN 2016 kasus dengue dengan kode A-4-12-I untuk demam ringan memiliki plafon biaya Rp. 2.509.600 sampai kode A-4-12-III untuk demam berat memiliki plafon biaya Rp. 3.335.500.

Dengan adanya kendali biaya tersebut, juga untuk mencegah selisih biaya negatif di RS atas klaim kepada BPJS Kesehatan, diperlukan sebuah kriteria baru yaitu faktor prediktor Dengue, yang dapat digunakan untuk menduga (memprediksi) terjadinya perburukan gejala klinis dengue pada hari kritis.

Beberapa tanda klinis sederhana yang dapat digunakan sebagai faktor prediktor adalah:

  • Demam tinggi.
  • Nyeri perut hebat.
  • Gemuk dan riwayat kontak dengan penderita Dengue berat.

Anak yang mengalami muntah, bahkan muntah berulang pada hari-hari awal sakit, sangat mungkin berkembang menjadi Dengue dengan derajad berat. Semakin hebat dan berulang muntahnya, semakin berat derajad Denguenya.

Meskipun banyak penyakit lain juga memberikan gejala klinis muntah, namun muntah pada penderita Dengue berat biasanya lebih hebat, terjadi bukan pada saat anak batuk dan berlangsung dalam 2 hari pertama sakit. Demam  tinggi, terutama demam yang sampai > 390 Celcius, berlangsung hampir 2×24 jam pertama, yang turun sangat sedikit atau bahkan tidak turun sama sekali dengan obat turun demam, juga merupakan faktor prediktor beratnya Dengue.

Artikel Kesehatan: Tantangan Kesehatan Global (2)

Apalagi bila diikuti penurunan demam yang drastis pada hari ke 4 sakit, bahkan bisa mencapai suhu 360C. Penurunan suhu tubuh ini bahkan merupakan tanda bahaya, sebab itu merupakan tanda awal syok, sebuah keadaan gawat dadurat medik dan sangat sering menyebabkan kematian pada penderita Dengue.

Nyeri perut di sebelah kanan atas, yang disebabkan pembesaran hati (hepatomegali) karena terjadinya peradangan sel-sel hati dengan adanya infiltrasi dan replikasi virus dengue, sangat berkorelasi dengan beratnya derajad sakit. Nyeri perut ini biasanya terjadi pada periode awal, semakin berat pada periode pertengahan dan dapat juga digunakan sebagai indikator penyembuhan pada periode akhir sakit, yaitu pada saat keluhan tersebut hilang.

Gemuk atau obesitas merupakan faktor prediktor yang mudah digunakan. Semakin gemuk seorang anak, terlebih bila gemuknya disebabkan konsumsi susu yang berlebihan (> 200 cc sehari), semakin berat derajad Dengue nya, secara teknis semakin sulit dikenali atau didiagnosis dan semakin sulit diatasi atau diterapi. Beratnya derajad Dengue pada anak dengan kegemukan, berkorelasi lurus dengan hebatnya reaksi antigen virus dengan antibodi di dalam tubuhnya.

Kesulitan teknis tersebut di atas disebabkan karena faktor teknis pencapaian pembuluh darah yang jauh lebih sulit dilakukan pada anak gemuk. Dampak langsungnya adalah diagnosis dan terapi sangat mengalami kesulitan, disebabkan karena sulitnya mengambil sampel darah untuk tahap diagnosis dengan pemeriksaan serial di laboratorium dan sulitnya memasang jalur infus atau transfusi darah, terlebih apabila sudah terjadi syok dan disertai penurunan kesadaran anak.

Pada penderita Dengue berat (dengan patokan terjadinya syok, perawatan di ICU bukan di bangsal biasa, atau bahkan sampai meninggal), mengindikasikan bahwa pada penderita tersebut virusnya berasal dari strain yang ganas. Adanya riwayat kontak dengan penderita tersebut, misalnya teman sekelas di sekolah, les dan TPA, tetangga yang rumahnya dekat atau bahkan keluarga serumah, menggambarkan adanya potensi perburukan klinis, serupa dengan penderita sebelumnya.

Dengan berpegang pada faktor prediktor buruk tersebut, maka hampir sebagian besar penderita Dengue sebenarnya dapat menjalani penanganan rawat jalan di FKTP dengan kontrol terjadwal, bukan dirujuk ke poliklinik RS.

Hanya penderita Dengue dengan satu atau lebih faktor prediktor tersebut yang memerlukan rujukan dan rawat inap di RS, dengan penjaminan biaya oleh BPJS Kesehatan, tanpa menimbulkan selisih bayar negatif bagi RS.

Sudahkah kita bertindak bijak?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here