Artikel Pencerah: Bu Tejo Adalah Kita

2
718 views
Ilustrasi: Film Tilik (Ist)

TIBA-tiba “Bu Tejo” mencuat hebat. Media sosial mengabarkannya. Nada satir memakai namanya. Ungkapan sinis mengutip celotehnya. 

Film pendek berjudul Tilik berhasil viral dengan  jutaan pemirsa. Singkat kata, Tilik dengan “Bu Tejo” sebagai leading actress, kondang kawenang-wenang di seluruh antero negeri

Nama asli “Bu Tejo” tak lagi penting diketahui khalayak. Publik pun tak berusaha mencarinya. Tak juga penting siapa sutradara atau produsernya. Apalagi menelisik maksud pembuatan film itu. Semuanya tak penting, kecuali “Bu Tejo”, “Bu Tejo” dan “Bu Tejo”.

Film pendek Tilik sebetulnya bukan karya istimewa. Ceritanya simpel, bahkan terlalu sederhana. Teknik sinematografinya pun pas-pasan. Adegan yang membuat penonton deg-degan atau mendebarkan juga tak ada. Tapi sekali lagi, ini bukan masalah film, cerita, skenario, sutradara atau kecantikan artisnya. 

Ini soal omelan Bu Tejo dengan menjeb bibirnya yang kadang menggemaskan, sering menjengkelkan.

***

Bermula dari cerita Yu Ning. Sembilan belas ibu naik truk bak terbuka menuju RS guna menengok Bu Lurah yang konon sedang sakit.

“Bu Lurah ambruk.”

Tak ada yang mengecek, apalagi ricek, kebenaran informasi itu. Mereka langsung patungan dan menyewa truk yang dikemudikan oleh Gotrek, kebetulan sekaligus pemiliknya. Tahu-tahu, adegan sudah menggambarkan hiruk pikuk suara ibu-ibu menggema di tengah jalan. 

Drama sesungguhnya dimulai.

Bu Lurah sakit dan dirawat di RS Kabupaten, tapi bukan itu yang menjadi persoalan.  Tilik tidak peduli dengan sakitnya Bu Lurah. Tilik malah getol menyorot suasana gegap-gempita selama mereka di atas truk, dalam perjalanan.

Apalagi yang menjadi keunikan “the power of enak-emak”, kalau bukan “menggunjing”.  Di situlah daya tarik Tilik,dari sanalah Bu Tejo memukau penonton. Begitulah cerita bo’ongan menjadi nikmat untuk didengarkan.

Ternyata, tidak hanya “emak-emak” yang suka perseteruan di atas truk. Buktinya, penonton Tilik banyak juga yang laki-laki. Kita suka sensasi. Masyarakat mudah dihipnotis untuk mempercayai suatu berita, tak peduli benar-salahnya. Itulah mengapa Tilik meledak tak tertahankan.

“Bu Tejo adalah cermin wajah kita.”

Omong-kosong seperti itu disebut “sensasi”. Dalam psikologi, “sensasi” dikenal sebagai proses yang dialami manusia untuk menangkap sesuatu, melalui panca indra. “Sensasi” menangkap stimulus. Ia bisa netral, positif, atau negatif. Biasanya, “sensasi” dihubungkan dengan “persepsi”. 

“Sensasi” mendahului “persepsi”. 

Makna “sensasi” sudah bermetamorfosis menjadi “sensasi” seperti cerita tentang Bu Tejo dan teman-temannya.  

Masyarakat tak peduli akan “kebenaran”, melainkan hanya ingin sesuatu yang menarik untuk dinikmati. Stimulus-nya menggelitik. Semakin “aneh”, semakin menyenangkan pendengarnya. Menyedihkan, karena pendengar tanpa sadar percaya begitu saja akan isinya. 

Simak saja reaksi para penumpang truk, tetangga Bu Tejo

Entah pengaruh apa, masyarakat senang dengan kisah-kisah seperti itu. Jalan tol macet panjang karena banyak pengemudi menyempatkan diri nonton kecelakaan yang terjadi di jalur sebelah sana. 

Infotainmen laris, sementara  acara TV yang berbau gosip, mendapat rating tinggi.  Semuanya diserap pasar dengan lahapnya, bak minum es kelapa muda di tengah hari bolong.

Kamus Bahasa Indonesia bahkan sudah “meresmikan” definisi “sensasi” dari kosa kata psikologi ke arti yang lebih seksi. 

“Kabar sensasi” adalah kabar yang membuat kegemparan atau keonaran, yang cepat menarik perhatian masyarakat.

Tak heran kalau Bu Tejo, Yu Ning dan Tilik gampang membekas dalam ingatan masyarakat. Lebih dari itu, Tilik juga berhasil mengirim pesan tentang bahaya “gosip”.  Ternyata, Bu Tejo sedang punya “gawe”.Suaminya  berniat mencalonkan diri menjadi Lurah.

***

Kabar bohong atau fake news sedang trendi. Tak hanya di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Revolusi digital memudahkan orang untuk menyerang musuh dalam bentuk plintiran fakta hingga bualan. 

Caranya mudah, fitnah  diberi baju monster menakutkan dan berbagai cerita khayalan yang seolah nyata. 

Pendengar  terkesima, dan percaya. Tak hanya itu, banyak yang berubah mempercayainya dan menjadi pendukung yang fanatik.

***

Untung, sudah banyak orang mulai menganut teori The power of expectation. Berpikir dan berbicara  hal-hal yang baik dan benar akan menuai kejadian yang baik. Menyebar kasih-sayang, akan membuahkan cinta-kasih. Membuang kabar menyeramkan atau menghapuskannya dari ingatan dapat membatalkan peristiwa buruk terjadi. 

Positif tak akan melahirkan negatif. Mencintai mustahil menghasilkan kebencian.

Jangan dengar berita bohong, karena datangnya dari kebencian. 

Jangan mau mendengar fake news, karena “Kebodohan dan kebohongan yang diulang-ulang, lama-lama akan tampak sebagai sikap bijak”. 

(Voltaire – François-Marie Arouet: 1694 – 1778, sejarahwan, filosof dan penulis terkenal dari Perancis).

@pmsusbandono

14 September 2020

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here