Artikel Pencerah: Mbambung alias Homeless

1
515 views
Orang miskin di musim dingin by CFH Org.


SEKIAN puluh tahun lampau, kami sekeluarga liburan ke Surabaya. Kami tinggal di rumah paklik (paman, adik bapak) di Jalan Setail No. 4. Rumah besar dengan halaman luas, di pusat kota. Persis di depan Kebun Binatang Surabaya yang fenomenal.

Bukan kebun-binatang yang menjadi topik. Tapi trotoar lebar di depan rumah itu. Beberapa pedagang kaki-lima mangkal di sana.

Yang menyita perhatian saya, ada sekira 20-an orang yang tinggal di pinggir jalan itu, siang-malam. Laki-laki dan perempuan dewasa, anak-anak bahkan manula.

Saya baru paham bahwa mereka adalah sekelompok orang yang tak punya rumah. (Mungkin) tak punya penghasilan tetap, tidur berkasur semen, berselimut langit, matahari dan bintang. Orang Surabaya menyebutnya “wong mbambung”.

Sebagai anak-anak, kehidupan lain itu menyeruak dalam pemikiran saya.

“Ternyata ada cara hidup seperti itu. Sekelompok orang tak punya tempat tinggal, dengan gaya hidup berantakan.”

Wong mbambung tak hanya ada di Surabaya atau di Indonesia saja. Teringat ketika tahun 2000-an saya mengikuti suatu seminar di New York, Amerika Serikat.

Waktu coffee break, kami ngobrol dengan peserta dari Nigeria, di trotoar depan gedung tempat kami rapat, tak jauh dari pusat keramaian, lapangan “Time Square”.

Saya terkejut, ketika lutut dijawil sentuhan kecil. Ada suara pelan dari arah kaki. Saya menengok ke bawah. Seorang bocah kecil, muka melas, kulit berwarna, berbaju lusuh, setinggi paha, sedang menengadahkan tangannya ke arah kami.

Mulutnya “nggrememeng”, entah dalam bahasa apa. Ia minta uang.

Saya terhenyak sejenak. Di sebuah kota teramai di dunia, yang bising dengan lalu-lintas dengan kesibukan bisnis yang riuh-rendah, di negara kaya dan adidaya, seorang bocah mbambung berkelana di jalan raya, meminta-minta.

Saya menduga dia tak punya tempat tinggal.

Itu bukan cerita imaginatif. Saat malam tiba, ketika lalu-lintas menyusut sepi, wong mbambung mulai mbambungan. Mereka menggelar kasur lipat, meringkuk di emper toko. Jaket dua lapis dikenakan, selimut disarungkan, ketika tengah malam tiba.

Tempat sekitarnya berubah kumuh.

Bocah yang tadi siang mengilik-ilik lutut saya, mungkin salah satu di antara mereka. Orang sana menyebutnya ”homeless”.

Ingatan masa kecil saat liburan di Surabaya terkuak. Saya tertarik fenomena mbambung. Kehidupan yang tak biasa.

Bagi saya, yang lahir dan besar di tengah pelukan keluarga di dalam rumah yang terkesan “kokoh”, yang bercengkerama di ruangan hangat, hidup tanpa tempat tinggal permanen adalah sesuatu yang tak terbayangkan.

Masih banyak cerita tentang wong mbambung yang sempat melekat di benak saya.

Empat tahun lalu, saya menyaksikan banyak kemah homeless di depan Tokyo City Hall, kantor pusat pemerintahan ibukota yang konon paling modern di dunia.

Sore menjelang malam, di trotoar gedung megah setinggi 235 meter, belasan tenda biru berdiri dengan pongahnya. Mereka nglekar sebebas-bebasnya sampai dini hari.

Pagi-pagi, membongkar ”istananya” dan menjalankan profesi sebagai pemulung.

“From Shinjuku Central Park, literally in the shadow of City Hall, a community of homeless people dismantle their shelters made of blue plastic sheeting and cardboard, pack them and their other belongings into trolleys and head off to their work – collecting plastic bottles from around the district”. (https://www.theglobalist.com/the-homeless-in-tokyo-an-understated-issue/).

Tak hanya Tokyo, kota besar dunia lainnya di Australia, Melbourne, juga menyimpan homeless di trotoar pinggir jalan-raya Spencer St. dan Flinders St., sekitar Hotel The Great Southern, tempat saya pernah menginap di sana.

Sama persis, setiap menjelang tengah malam, “the mbambungers” menggelar lapak. Kadang sekerat roti tawar menjadi santapannya.

Tak terkecuali saat musim dingin, dengan temperatur sekira 6 derajat.

Pola hidup homeless mirip antar kota besar dunia yang satu dengan lainnya. Sebab-musababnya tak jauh beda, yaitu “kemiskinan”.

Kemiskinan kultural, struktural atau kombinasi keduanya, menyelimuti mereka. (https://www.kompas.com/skola/read/2020/11/24/172143169/kemiskinan-definisi-jenis-dan-faktor-penyebabnya?page=all).

Pemerintahan kota (besar) seolah tak berdaya memberantas “kemiskinan kota” dalam wujud wong mbambung. Mereka bercokol bahkan di ibukota negara dan, celakanya, meluber sampai ke pinggir jalan-jalan protokol.

Tak terkecuali, kota-kota besar di Indonesia. Jalan Sudirman, Thamrin, Kuningan, dan Gajah Mada di Jakarta tak bebas dari gelandangan.

Siang tak muncul di permukaan, “bersembunyi” di balik gedung-gedung megah, menyelinap di seputar gang-gang di belakangnya atau “leyeh-leyeh” di bawah jembatan layang dan di pinggir sungai. Kehidupan mereka di seputar sana, meski tak selalu tampak ada.

Meski megah, Tokyo, New York, Melbourne, Jakarta, atau kota besar dunia lainnya, tak bisa mengelak akan keberadaan para gelandangan. Kemampuan mengangkat mereka menuju taraf hidup yang layak, pasti ada.

Omong-kosong bila faktor anggaran menjadi alasan utama. Yang terjadi adalah ketiadaan “kemauan”.

Entah karena alasan apa. “Kemampuan” tanpa “kemauan” adalah fatamorgana belaka.

Padahal, memuliakan dan memanusiakan wong mbambung dengan memberi tempat tinggal bagi mereka, adalah sama dengan menyediakan “peraduan” di “istana” bagi Sang Raja.

“Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, (PMS : Tak mempunyai tempat tinggal) dan kami memberi Engkau tumpangan?

Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk Aku”. (Mat. 25 : 38, 40)

@pmsusbandono
16 Januari 2021

1 COMMENT

  1. Wong nggembel,

    Wong mbabung juga bisa terjadi karena pilihannya sendiri. Wong mbabung kui bebas.

    Gak jauh beda juga kami para sopir truk ekspedisi, tidur kadang seadanya dijalan. Kalau sudah dalam situasi begitu ya kadang tidak terpikirkan apa2, pokoknya yang terpenting bisa makan dan bisa pulang bawa rupiah.

    Kalau sudah dirumah biasanya tidak menceritakan kehidupan ‘mbabung’ itu kepada keluarga, biarlah cerita itu saya simpan, supaya saya saja yg merasakan kehidupan itu. Yang terpenting keluarga bahagia.

    Salam damai,
    Berkah dalem untuk kita semua
    Gusti Yesus tansah mberkati

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here