Artikel Pencerah: Terrance Menderita karena Kesepian

0
260 views
Ilustrasi -- Mengalami kesendirian dan kesepian saat sakit. (Ist)


NAMANYA Terrance. Usia 78 tahun, tingggal di kota kecil Oldham, sebelah utara Manchester, Inggris.

Saya mengenalnya dari video pendek yang disiarkan BBC Broadcast, Desember tahun lalu. Acara yang berdurasi hanya 6 menit, viral hingga 12 bulan kemudian, diklik oleh jutaaan pemirsa. Disukai oleh ribuan jempol.

Terrance bukan siapa-siapa. Bukan tokoh masyarakat, tak juga mantan artis atau pemain sepakbola. Tak diceritakan latar belakangnya, sampai tiba-tiba, di suatu malam, Dan Walker, host dari acara itu, mengetuk pintu rumah kayunya.

Kemudian mereka asyik ngobrol di ruang tamu yang sempit dan berantakan. Cuaca redup, suhu terkesan mencekam. Eropa sudah masuk musim winter.

Dialog langsung menukik ke jantung persoalan, yaitu “rasa kesepian” yang dirasakan Terrance, terutama menjelang Hari Natal.

Terrance sudah 20 tahun hidup sebatang kara, di rumah tua dan sempit. Rasa sentimentalnya mencuat, karena selama itu dia “nglangut” merayakan Natal sendirian.

Sendiri memang tak serta-merta “kesepian”. Sebaliknya, hidup dalam keramaian, belum tentu bebas dari “kesepian”.

Dalam diri Terrance, “sendiri” dan “kesepian”, bercampur menjadi satu. Dan itu dialaminya sudah sangat lama.

Saat-saat Natal tiba, Terrance selalu teringat sang ibu, ketika dia rutin mengunjunginya dengan membawa kado Natal. Sang ibu begitu menunggu-nunggu dan menghargai kehadirannya.

“Tanpa kamu membawakan hadiah Natal untuk ku, aku tak akan punya hadiah”.

Kemudian mereka berdua merayakan Natal. Menikmati kue olahan sang ibu. Mendengarkan sambil pelan-pelan ikut mendendangkan lagu-lagu manis khas Natal, berdua.

Begitu selama itu berlangsung, sampai kemudian sang ibu meningggal. Terrance mulai menapak hidupnya seorang diri.

Dia harus masuk gerbang kesepian tanpa siapa-siapa.

Walker ingin mengubah suasana sendu menjadi ceria. Kejutan dibuat. Pintu depan dibukanya dan rombongan anak-anak muda dari Oldham College masuk ruangan.

Dua mahasiswi berhijab berbaris di depan memasuki ruangan, diikuti 2 mahasiswa lainnya. Mereka mengusung pohon Natal lengkap dengan asesorisnya.

Keempatnya menyalami Terrance dengan sukacita, sambil mulai menghias pohon Natal. Natal tak lagi diwarnai dengan kesepian, melainkan kebahagian yang dirayakan bersama-sama.

Surprise Walker belum usai. Begitu tahu kalau menggemari lagu Silent Night, mereka berlima menggandeng Terrance keluar rumah. Belasan orang muda lainnya membentuk barisan dengan atribut Natal sambil menyanyikan lagu kesukaan Terrance.

Walker dan rombongan menyanyikan lagu suci nan syahdu, di trotoar, tepat di depan pintu rumah Terrance.

Airmatanya mengalir semakin deras. Natal tahun itu menjadi Natal pertama setelah 20 tahun dalam “kesepian”.

Kebahagiaan dipeluknya. Tidak hanya olehnya seorang diri, tapi bersama-sama Dan Walker dan kelompok paduan-suara Oldham College. Tak lagi penting apa bangsanya, tak lagi dipikirkan apa sukunya, tak juga menjadi masalah apa agamanya.

Natal telah menjadi kebahagiaan bersama, karena “kesepian” yang diderita Terrance sudah disembuhkan oleh kehadiranNya, dalam wujud Walker dan kawan-kawannya.

Apa yang dilakukan Walker dan rombongan adalah perbuatan mulia. Rasa kesepian, atau keterasingan, tak bisa disepelekan dan dibiarkan begitu saja. Ada perasaan tak nyaman menghinggapi seseorang karena adanya kekosongan jiwa.

Sebabnya bisa karena faktor sosial, fisik, mental, emosional, atau spiritual. Kesepian menjadi “penyakit jiwa”, yang menurut statistik diderita oleh 20% penduduk dunia.

Ahli Psikologi menyimpulkan bahwa manusia dalam “kesepian sosial” (social loneliness) adalah mereka yang memang benar-benar tidak mempunyai jejaring-sosial. Tak punya relasi, saudara, sahabat atau sekedar teman.

Bila ia sedang merasa sendirian dan ditinggal sesamanya, disebut sebagai “kesepian emosional” (emotional loneliness). Kadang kedua jenis kesepian itu berbaur menjadi satu. Penderitaan yang sangat parah.

Perasaan kesepian yang paling mendera adalah saat manusia menuju kematian. Kesepian menjelang ajal adalah penderitaan mendalam yang secara psikologis sulit diukur.

Kesepian menderanya lebih dari penyakit fisik yang dideritanya. Seolah semua orang, bahkan Tuhan, juga meninggalkannya.

Tak heran, semakin bertambah usia seseorang, semakin besar “ancaman” untuk dilanda rasa kesepian.

Mereka yang sedang tidak menderita kesepian tak bisa membayangkan bagaimana “sakitnya” kesepian itu. Baru ketika kesepian benar-benar datang, rasa itu nyata menyergapnya.

Usaha Dan Walker dan teman-temannya menyembuhkan rasa kesepian Terrance sangat tepat. Hanya mereka yang sedang tidak merasakan kesepian, bisa “menyembuhkan” rasa galau itu.

Nampaknya itu yang menyentuh Bunda Teresa, suster biarawati “Misionaris Cinta Kasih” (Missionaries of Charity), saat merintis Home for the Dying.

“Biarkan aku membantu menghilangkan rasa sepi mereka. Biarkan mereka tahu bahwa semua manusia ada yang mencipta. Pasti ada pula yang mencinta”.

Di tangan para suster, pasien miskin yang dalam perjalanan menuju maut dibersihkan, dipelihara dan diobati sebisanya. Para suster tahu bahwa waktu mereka tak lama lagi untuk menghadap Tuhan.

Tetapi justru di situlah kasih diwujudkan. “Kesepian menuju ajal” dihilangkan, diganti dengan “kehangatan menuju Tuhan”.

“Meski pun mereka hidup menderita dalam kemiskinan, tetapi mati seperti malaikat. Punya rasa dicintai dan diinginkan”.

Terrance bukan orang kaya. Bukan pula ternama atau cerdik-cendekia. Dia orang biasa saja, namun kebahagiaannya telah menggantikan kesepian yang telah menderanya berlama-lama.

Karena yang paling menyakitkan adalah ketidak-adanya kasih sehingga manusia menjadi merasa sendirian. Dia kesepian.

“The most terrible poverty is loneliness and the feeling of being unloved”. (Mother Teresa)

@pmsusbandono
7 Desember 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here