Artikel Politik: Begawan Ciptaning

0
1,053 views
Begawan Ciptoning

I

RIBKA Ciptaning, tentu bukan Begawan Ciptaning. Yang kedua adalah sosok sakti mandraguna, seturut cerita dalam dunia pewayangan.

Adalah Mpu Kanwa, menurut PJ Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ), yang menulis Kakawin Arjunawiwāha. Di dalam kakawin ini dikisahkan tentang Begawan Ciptaning yang juga dikenal dengan nama Begawan Mintaraga.

Mpu Kanwa menggubah kisah ini pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1009-1042) antara tahun 1028-1035. Airlangga adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang bergelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Begawan berarti manusia yang luhur dan tinggi spiritualnya. Disebut Begawan Mintaraga, karena sang begawan bertapa di Gua Mintaraga di kawasan Gunung Indrakila, tempat para dewa.

Ada yang mengartikan kata “mintaraga”  berasal dari kata “witaraga”, yang artinya menyucikan diri.

Kata “Ciptaning” adalah gabungan dua kata: “cipta” yang berarti pikiran/hati dan “ning” yang artinya hening atau wening atau bening.

Ciptaning berarti pikiran/hati yang bening, pikiran hening, pikiran wening. Pikiran/hati yang bening, yang jernih adalah syarat mutlak untuk menjadi manusia yang memiliki kesadaran spiritual tinggi. Pikiran/hati yang bersih, bening, wening itu hanya dicapai bila manusia dekat dengan Sang Pencipta.

Tentu, harapannya adalah siapa saja yang memiliki nama “ciptaning” memiliki pikiran yang jernih, yang bersih, yang bening, yang menjadi manusia berkesadaran spiritual tinggi.

II

Begawan Ciptaning digoda para bidadari (Ilustrasi: Istimewa)

Dalam dunia pewayangan, lakon Begawan Ciptaning mengisahkan Raden Arjuna  yang tengah bertapa, tapa-brata atas nasihat Kresna di dalam Gua Mintaraga.

Saat bertapa, Begawan Ciptaning menghadapi tiga cobaan berat.

Cobaan pertama digoda tujuh bidadari yang diutus oleh Sang Hyang Bathara Indra. Mengapa Bathara Indra mengutus tujuh bidadari? Karena Arjuna dikenal sebagai ksatria yang mudah jatuh hati pada perempuan cantik.

Namun, kali ini Arjuna memiliki keteguhan hati dan jiwa. Godaan para bidadari cantik itu tidak meruntuhkan Arjuna yang tengah bertapa. Ia tidak tergoda.

Godaan kedua adalah Sang Hyang Bathara Indra yang menyamar sebagai resi tua bertubuh renta.

Di depan Begawan Ciptaning, resi itu bicara, “Apa artinya tapa-brata, jika hanya untuk memburu keindahan dunia? Sekadar untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga.” Sang resi berusaha memancing amarah.

Mendengar ucapan itu, Begawan Ciptaning menjawab: “Jangan asal bicara, Bapa Resi yang saya hormati! Tapa-brata-ku tidak untuk memburu keindahan dunia, tidak untuk memenuhi nafsu duniawi, tidak untuk memuaskan kekuasaan dunia,  namun hanya untuk mengukuhkan dharmaku sebagai seorang ksatria. Bukan pribadi dan keluarga yang aku utamakan dalam tapa-brata-ku, akan tetapi, jalan kebenaran di tengah kehidupan bersama.”

Kebenaran tidak pernah mati, meski sering dikorbankan. Sebab, akal budi manusia tidak pernah tunduk pada pemaksaan, tidak tunduk pada keputusan mayoritas. Akal budi terbuka pada yang ada dan melampauinya; karena akal budi bersifat rohani.

Resi tua itu masih berusaha memancing kemarahan Begawan Ciptaning, dengan bertanya: mengapa seorang yang bertapa, mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, Hyang Maha Damai, membawa senjata?

Begawan Ciptaning menjawab: senjata adalah dharma seorang ksatria.

Selama tapa-brata, Begawan Ciptaning yang adalah Arjuna masih tetap menjalankan dharmanya sebagai seorang ksatria.

Ia membantu penduduk desa yang berburu di hutan, misalnya. Ia mengatakan bahwa selama tapa-brata, kewajiban dunia sebagai manusia dan kewajiban spiritual sebagai ciptaan Hyang Kuasa, tetap dijalankan secara seimbang. Manusia tidak bisa hanya mengejar nilai duniawi tetapi melupakan kewajiban spiritualnya.

Bukankah orang hidup harus berusaha selalu menjaga harmoni alam, harus selalu menyelaraskan jagad, menyeimbangkan antara yang sekala (yang kelihatan) dan yang niskala (yang tidak kelihatan). Terciptanya keseimbangan ini, akan melahirkan kesejahteraan lahir dan batin.

Resi tua itu badar, kembali ke wujud aslinya yakni Bathara Indra, yang kemudian menghadiahi pusaka panah pasopati kepada Arjuna.

Pasopati simbol keteguhan dan kerendahan hati.

Setelah itu—godaan ketiga—muncul seekor babi hutan yang mengamuk.

Tanpa banyak pertimbangan Arjuna memanah babi hutan itu. Tetapi pada saat yang sama, melesat panah lain yang juga mengenai babi hutan itu, lalu muncullah seorang pemburu tua yang segera mengklaim panahnyalah yang mengakhiri hidup babi hutan itu.

Terjadilah perdebatan antara Arjuna dan pemburu tua, yang mendadak menjelma menjadi Dewa Siwa.

Dewa Siwa lalu memerintahkan Arjuna untuk pergi ke kahyangan untuk membunuh raja raksasa Niwatakawaca.

Niwatakawaca tewas oleh pusaka pasopati. Arjuna dihadiahi bidadari untuk dinikahi. 

III

Ilustrasi: Istimewa.

Sekali lagi, kisah dalam Kakawin Arjunawiwāha menegaskan arti dan makna kata “ciptaning” yakni menyucikan diri, membersihkan hati dan pikiran dari nafsu dan masalah duniawi, mengendalikan mulut atau menjaga ucapan agar tidak menyakiti perasaan orang lain, memupuk budi luhur dan mengembangkan sifat ksatria.

Akan tetapi, hal-hal semacam itu kini diabaikan.

Sementara orang, termasuk atau bahkan utamanya elite politik dan tokoh masyarakat, lebih mengikuti kecenderungan trivialisme. Yakni kecenderungan sibuk dengan hal-hal kecil yang kurang penting, hal-hal remeh-temeh, yang kurang atau bahkan tidak  memberikan manfaat bagi mayoritas orang, masyarakat banyak.

Misalnya, ketika pemerintah didukung masyarakat banyak, didukung rakyat bersepakat untuk melakukan vaksinasi pada masyarakat, masih saja ada yang menentangnya, dengan alasan yang dibuat-buat, yang waton sulaya.

Ada pula yang menentang dengan menyatakan bahwa menentang adalah hak asasi.

Apakah mereka lupa bahwa mereka hidup di tengah masyarakat, tidak hidup sendiri di tengah samudera luas, tidak hidup sendiri di tengah hutan rimba. Karena itu, apa pun yang dilakukan, tidak bisa hanya mementingkan diri sendiri, semaunya saja, tetapi juga harus memikirkan orang lain: apa dampak tindakannya bagi orang lain?

Bukankan vaksinasi adalah upaya negara dalam melindungi masyarakat dari ancaman pandemi Covid-19. 

Vaksinasi dilakukan agar cepat terbentuk kekebalan pada tubuh masyarakat, herd immunity, kekebalan komunitas. Dengan tubuh kebal dan memiliki antibodi maka bisa mencegah Covid-19, memutus matarantai penyebaran Covid-19.

Kekebalan komunitas adalah sangat penting. Sebab, vaksinasi hanya akan efektif jika ada kekebalan komunitas. Bila komunitasnya kuat, sehat, maka negara pun akan sehat dan kuat kembali.

Kehidupan akan kembali bergulir dalam kondisi normal, meski mungkin tidak seperti sedia kala akan tetapi lebih bebas dibanding kalau tetap di bawah “kekuasaan” Covid-19.

Akan tetapi, mengapa masih saja ada orang—sementara orang—yang memilih jalan trivialisme?

Itu terjadi karena mereka tidak memiliki perspektif untuk melihat dan terlibat dalam gerak untuk mencapai tujuan bersama yang besar; tujuan bersama yang harus dilakukan secara bersama-sama.

Yang mereka pikirkan, yang mereka utamakan, yang mereka perjuangkan hanyalah kebutuhan diri. Padahal, tujuan besar bersama dengan vaksinasi adalah keselamatan bangsa dan negara; keselamatan seluruh rakyat.

Orang boleh membual sampai berbusa-busa tentang kehebatan kalkulasi nalar mengapa menentang vaksinasi. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa vaksinlah yang telah menyelamatkan umat manusia.

Vaksinasi telah merevolusi kesehatan global. Bisa dibilang vaksin sebagai inovasi yang paling menyelamatkan jiwa dalam sejarah pengobatan.

Misalnya, Edward Jenner (1749-1823) seorang dokter dari Inggris pada tahun 1796 menciptakan vaksin cacar. Selama berabad-abad cacar merupakan salah satu wabah yang paling ditakuti di dunia, menewaskan sebanyak 30 persen dari korbannya, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak.

Ditemukannya vaksin cacar telah memangkas angka kematian anak, dan mencegah cacat seumur hidup (https://www.historyofvaccines.org).

Louis Pasteur (1822-1895) ahli kimia dan mikrobiologi Perancis, pada tahun 1885 menemukan vaksin rabies. Antitoksin dan vaksin melawan difteri, tetanus, antraks, kolera, wabah penyakit, tifoid, tuberkulosis, dan lainnya dikembangkan selama tahun 1930-an.

Pertengahan abad ke-20 merupakan masa aktif untuk penelitian dan pengembangan vaksin. Penemuan-penemuan dan inovasi-inovasi baru terus dilakukan. Dan, dihasilkanlah, misalnya, vaksin untuk polio, tetanus, campak, gondokan, hepatitis A, hepatitis B dan sebagainya.

IV

Ilustrasi: Istimewa

Semestinya, sejarah menjadi guru kehidupan. Sejarah juga merupakan saksi zaman.

Tetapi, orang cenderung melupakan semua itu. Ada sementara orang yang cenderung menganggap dirinya lebih tahu, atau bahkan paling tahu.

Mereka itu tentu bukan seorang “ciptaning” sejati; seorang yang berhati, berpikiran bersih, memupuk budi luhur dan mengembangkan sifat ksatria; yang setia pada perkara kecil, karena dengan demikian akan sanggup setia pada perkara besar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here