Home BERITA Artikel Politik: Cerita Guru, Suara Katak di Suatu Pagi

Artikel Politik: Cerita Guru, Suara Katak di Suatu Pagi

0
715 views
Ilustrasi: Ayam Jago dan Katak by Ist

KETIKA kami berangkat tidur, hujan turun. Ketika kami sudah duduk di pendopo menunggu Guru, pada waktu subuh, hujan masih turun meski tidak deras.

Hujan,memang suka-suka. Kalau mau turun dari langit, ya turun saja. Tetapi, kalau lagi malas turun, hujan akan membiarkan Matahari memanggang bumi, sampai manusia berdoa mohon hujan.

Orang mengatakan, sekarang ini hujan semakin semaunya sendiri. Di saat bulan-bulan menurut perhitungan sudah memasuki musim penghujan, hujan tidak datang. Tetapi, ketika sudah memasuki musim panas, hujan masih sering datang.

Di sekolah dulu diajarkan musim hujan berlangsung dari Oktober hingga Maret, sedangkan musim kemarau dari Maret hingga Oktober. Meski kata buku sedang musim kemarau, kadang hujan tetap turun dengan lebatnya. Atau sebaliknya, sedang musim penghujan tapi cuaca di beberapa wilayah malah panas dan terik.

Menurut Guru, semua itu akibat pemanasan global (global warming), adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi lantaran terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi.

Pemanasan global diperkirakan telah menyebabkan perubahan-perubahan sistem terhadap ekosistem di bumi. Antara lain, perubahan iklim yang ekstrim, mencairnya es sehingga permukaan air laut naik, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi.

Guru sudah duduk di atas batu hitam pipih, ketika pikiranku masih bergulat dengan hujan dan global warming.

Kalian semua mendengar suara katak itu? Kata Guru mengawali pertemuan pagi subuh itu. Mendengar pertanyaan Guru, kami semua mengangguk.

Guru lalu mengatakan: Mendengar suara katak itu, mengingatkanku cerita dari negeri Tiongkok.

Suatu hari, Tzu Chin bertanya kepada Mencius, seorang filsuf Konfusian yang hidup pada tahun 372-289 SM, yang nama sebenarnya adalah Mang-Tze atau Mang-Tzu.

Mencius adalah versi Latin yang digunakan oleh para misionaris Kristen pada waktu itu.

“Apakah dengan jumlah perkataan yang diucapkan seseorang, orang itu menjadi mulia dan bijaksana?,” tanya Tzu Chin.

Mendengar pertanyaan itu, Mencius menjawab: Kamu tahu, katak bersuara nyaring. Apalagi, pada saat hujan turun. Namun, tidak semua orang suka mendengarkan suara katak itu.

Yang lebih penting lagi, suara nyaring katak itu yang diteriakkan terus-menerus tidak mengubah apa-apa, tidak membuat hujan segera berhenti kalau pas hujan turun atau tidak mengubah suasana apa-apa.

Tetapi, kamu tahu, apa yang terjadi setelah ayam jantan berkokok di pagi-pagi buta?

Terjadi perubahan. Kokok ayam jantan itu menjadi pertanda bahwa pagi sudah datang, bahwa matahari akan segera terbit, bahwa malam akan segera berlalu, bahwa kehidupan baru dimulai.

Segala sesuatu di langit dan di bumi, berubah.

Ayam jantan berkokok di waktu yang tepat. Hampir tidak pernah meleset, menjelang fajar tiba.

Hoaks by The College Fix

Dengan cerita sederhana ini, aku ingin mengatakan kepadamu, kata Mencius, bahwa yang penting bukan soal banyaknya perkataan, panjangnya ucapan, tetapi perkataan itu diucapkan tepat pada waktunya.

Guru berhenti, lalu berkata: Camkanlah nasihat Mencius itu. Setiap kata sia-sia yang kita ucapkan harus kita pertanggungjawabkan. Karena, menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum.

Bukankah kalian semua tahu bahwa kata-kata bisa membentuk citra seseorang, bisa pula ia menghancurkannya. Kata-kata juga bisa menyebabkan kumpulan massa menjadi simpatik atau menjadi beringas.

Kata-kata bisa meredam hati, tetapi juga bisa membakar hati, bahkan membuat buta mata dan hati.

Maka itu, ada peribahasa yang berbunyi demikian, “Ajining diri soko lathi”, harga diri seseorang ditentukan oleh tutur katanya (lathi = lidah). Penilaian baik atau buruk adalah berkaitan dengan jiwa sosial kita.

Orang lain akan menilai kita tergantung bagaimana kita bertutur kata. Jika kita sering bicara kasar, maka orang lain akan mengenal kita sebagai orang kasar, sebaliknya orang dapat mengenal kita sebagai orang halus-lembut, dan lainnya.

Kita juga bisa disebut sebagai provokator, kalau ucapan-ucapan kita memprovokasi orang lain untuk melakukan sesuatu yang tidak baik. Kita juga bisa disebut sebagai penghujat kalau kita senang menghujat.

Kita bisa juga disebut sebagai  orang nyinyir kalau selalu ngomentari apa pun, dan komentarnya tidak mutu. Kita bisa disebut sebagai pembohong, kalau sukan menyebarkan kabar bohong, hoaks.

Sekarang ini, banyak orang senang berkata-kata; dan asal berkata-kata menuruti maunya sendiri. Ketika berkata, menganggap dirinya paling benar, paling tahu, paling pintar, paling suci, paling agamis, dan mengecilkan orang lain, menganggap orang lain dungu, bodoh.

Apalagi kalau sudah menyangkut soal kekuasaan, maka lidah benar-benar tidak bertulang, sehingga dengan gampang memuntahkan kata-kata semaunya sendiri.

Walaupun lidah itu anggota kecil dari tubuh, namun dapat menegakkan perkara-perkara yang besar.

Kalau sudah menyangkut kekuasaan, orang mudah menjadi musuh atau menjadikan orang lain sebagai musuh. Mengutip pangendikane Romo Sindhu (2006), tutur kata menjadi tidak karu-karuan, orang mudah tidak sabar.

Yang lebih menyedihkan adalah orang kehilangan rasa malu, suka berkelahi, suka memaki orang lain, suka memfitnah orang lain, dan bahkan menjatuhkan. Orang juga sukar memutar kata-kata, hitam dibilang putih, putih dibilang hitam.

Ilustrasi: Sudah hilang urat malunya. (Ist)

Mengapa kita menjadi bangsa yang tak bisa malu, nggak tahu malu, kehilangan rasa malu?

Semestinya, harapan rakyat, elite politik tahu malu, bisa menahan diri untuk tidak berkelahi, untuk tidak berkata bohong, untuk tidak memaki orang lain, untuk tidak menebar kebencian. Bukankah, sekarang ini, ada masalah yang mendesak untuk ditangani, mulai dari masalah pandemi covid-19 sampai dengan akibat-akibatnya antara lain menyangkut masalah ekonomi, kesejahteraan rakyat.

Guru, sela seorang sahabat, mengapa kalau sudah menyangkut kekuasaan, sekarang ini atau mungkin sudah dari dulu, disebut mengikuti paham Machiavellian karena mengikuti pahamnya filsuf dari Italia Niccolo Machiavelli (1469-1527).

Sekarang ini istilah tersebut ditimpakan pada orang yang suka menipu dan selalu berbohong untuk mendapatkan kekuasaan (dan mempertahankan kekuasaan).

Mengapa demikian? tanya Guru lalu mengatakan: Karena manusia digerakkan oleh hasrat, termasuk hasrat untuk meraih kekuasaan sampai tak terbatas.

Begitu kata seorang pemikir dari Inggris pada zaman Renaisans, Sir Francis Bacon (1561-1626) yang dikutip oleh F Budi Hardiman (2019). Dalam hal ini tidak ada kehendak bebas dalam diri manusia sebab dia dikuasai oleh kepentingan-kepentingan diri .

Menurut Machiavelli ada dua cara untuk menjadi penguasa. Pertama, menjadi penguasa dengan cara jahat dan keji. Dan, kedua, menjadi penguasa atas persetujuan sesama warga masyarakat.

Menjadi penguasa dengan mengkhianati sahabat, bertindak licik, mendiskreditkan pihak lain tanpa belas kasihan, memilih tindakan yang tidak religius atau menggunakan sentimen agama, semua itu bukanlah tindakan seorang pahlawan.

Cara-cara seperti hanya menjadikan orang itu sebagai seorang penguasa yang tidak terhormat, kalau pada akhirnya misalnya hasratnya berkuasa terwujud.

Padahal,  kekuasaan adalah kemampuan untuk membuat perubahan. Jadi jika mempunyai kekuasaan, tetapi tidak memanfaatkannya—untuk membuat perubahan yang berguna bagi rakyat—berarti menyia-nyiakan kesempatan untuk membuat perubahan itu.

Akan tetapi, menurut Machiavelli yang membuat generalisasi bahwa manusia pada dasarnya adalah, “…tidak tahu berterima kasih, berubah-ubah pendapatnya, pembohong, penipu, tak mau mengambil risiko, dan serakah…”

Machiavelli juga menegaskan bahwa manusia adalah figur yang egois dan tidak mau membela kepentingan negara. Ketika pemimpin (negara) dalam bahaya, manusia justru berbalik melawan pemimpinnya.

Karena itu, Machiavelli mempermaklumkan bahwa penguasa harus membebaskan diri dari ikatan keagamaan dan moralitas tradisional. Tidak boleh ragu-ragu untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk menumpas segala pihak yang bikin kacau, tidak tertib, korup-licik-egois, atau yang mengancam kekuasaan penguasa.

Apa nanti tidak dikatakan sebagai otoriter, Guru? tanya seorang sahabat yang lain.

Kata Guru, rakyat, kita semua tahu, siapa yang otoriter, siapa yang tidak. Pemimpin seperti apa yang otoriter, dan pemimpin seperti apa yang tidak, kita semua juga tahu. Kalian semua harus hati-hati, sekarang banyak berkeliaran musang berbulu ayam, bukan hanya berbulu domba.

Setelah mengatakan itu, Guru mengakhiri pertemuan. Lalu, berdiri dan meninggalkan kami semua, masuk ke ruang pemudyan, semadi. Ayam jago sudah lama berkokok, dan hari baru sudah datang, meski tetap membawa persoalan lama.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here