Artikel Politik: Doa Sang Guru

0
428 views
Ilustrasi: Berdoa (Ist)

SUATU hari, Sang Guru berdoa. Melihat guru berdoa, para murid datang, mendekatinya dan berlutut di depannya.

“Ya Tuhan, berikanlah kepada kami seorang pemimpin  

  • yang mendapatkan anugerah keadilan, kebenaran, kerendahan hati, dan kebijaksanaan dari Engkau;
  • yang sadar mengenai tugas yang Engkau berikan, dengan takut dan gentar;
  • yang berani berperang melawan radikalisme,korupsi, kekerasan, penindasan, ketidakadilan, nafsu diri, dan nafsu angkara murka;
  • seorang pemimpin yang mengasihi sesamanya, bukan malah mengancam-ngancam;
  • seorang pemimpin yang melindungi mereka yang lemah, tertindas yang terpinggirkan, yang tidak mampu bersuara, dan yang membutuhkannya;
  • pemimpin yang jujur, rela berkorban, yang mementingkan rakyat dibanding keluarganya sendiri, kelompoknya, dan golongannya sendiri;
  • tetapi, Tuhan… terjadilah kehendakMu di bumi ini seperti di dalam surga…”

Seorang di antara murid berkata: ”Guru, ajarilah kami berdoa.”

Guru menjawab, ”Kalau kalian berdoa, berdoalah demikian.”

Para murid diam. Mereka mendengarkan doa Sang Guru. Lalu, ikut berdoa di dalam hati. Semua bersimpuh. Menundukkan kepala. Mengarahkan hati dan pikiran.

Menutup mata agar tidak menyaksikan pemandangan yang membangkitkan amarah, memancing meledaknya emosi, mendorong mulut untuk melemparkan sumpah serapah, melabuhkan kebencian di hati, dan menciptakan kemarahan di otak.

Menutup telinga agar tidak kemasukan suara-suara yang justru membuat doa tak ada artinya dan tidak sampai ke haribaan Tuhan.

Bukankah doa adalah pengangkatan jiwa kepada Tuhan. Satu permohonan kepada Tuhan demi hal-hal yang baik. Karena itu, doa tidak dilambungkan dari ketinggian kesombongan dan kehendak kita ke bawah.

Melainkan dari dasar jurang  hati yang rendah dan penuh sesal. De profundis clamavi ad te, Domine: Dari jurang yang dalam aku berseru kepadaMu, ya Tuhan….

Bukankah tidak seorang pun yang masih mencintai negeri ini menginginkan seorang pemimpin  yang membiarkan radikalisme menjadi-jadi sehingga memecah-belah bangsa, menghancurkan persatuan dan kesatuan, menghancurkan bangunan toleransi.

Bukankah tidak ada satu orang pun di negeri ini yang mendambakan seorang pemimpin yang akan membiarkan korupsi semakin tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.

Dalam bahasa Francis Fukuyama (2018), tidak ada pula yang menginginkan seorang pemimpin yang bisa dimasukkan dalam golongan pemimpin yang megalothymia, yang ingin diakui sebagai superior dibanding yang lain.

Fukuyama menyarankan, untuk menjaga terciptanya harmoni dan agar orang dapat hidup dalam harmoni, isothymia-lah yang harus dipilih, bukannya megalothymia.

Dengan isothymia, kebutuhan orang untuk diakui sebagai manusia yang sejajar satu sama lain, terpenuhi. Ada kesetaraan sesama manusia.

Dalam konteks Indonesia sangatlah jelas: seluruh warga negara—di negeri yang plural, majemuk, bineka dalam banyak hal ini—memiliki hak dan kewajiban yang sama, juga di depan hukum.

Dan, Sang Guru pun melanjutkan doanya:

Tuhan, lindungilah keputusan-keputusan kami sebab membuat keputusan pun adalah sebentuk doa. Setelah susah payah bergulat dengan keraguan, beri kami keberanian untuk memilih antara satu jalan dan jalan lainnya. Biarlah kiranya, pilihan Ya tetap Ya, dan pilihan Tidak tetap Tidak. Setelah kami memilih jalan kami, kiranya kami tidak pernah menoleh lagi bagaikan seorang pembajak sawah, atau membiarkan jiwa kami digerogoti oleh rasa penyesalan yang tiada henti….”

PS:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here