Satu
Beberapa hari lalu, seorang kawan mengirimkan parikan model Jawa Timuran, pantun jenaka, jula-juli ini:
Lontong balap khas Surabaya Sate kerang menambah cita rasa Bila tak mampu cakap yang berguna Diam adalah pilihan utama
Parikan itu hanya ingin mengatakan: jangan asal ngomong.
Bahasa media sosial: angan julid, jangan nyinyir! (kalau ngomong, ya yang nalar, masuk akal, yang mencerdaskan, dan berguna).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “nyinyir” diartikan sebagai “mengulang-ulang perintah atau permintaan, nyenyeh dan cerewet.”
Tetapi, dalam media sosial kata “nyinyir” memiliki banyak arti, antara lain, asal komentar, tukang gosip, tukang sebar aib orang, tukang kritik, waton sulaya, menggunjingkan orang lain, menjelek-njelekkan pihak lain, mencari-cari kesalahan orang lain, dan tukang sebar berita hoaks.
Inilah yang banyak terjadi akhir-akhir ini; bahkan semakin menjadi-jadi.
Hari-hari ini, di media sosial beredar video pendek yang menggambarkan seorang bocah dengan enteng mencaci-maki pemimpin nasional dengan berakting seperti tokoh agama.
Apakah si bocah tahu yang dia katakan? Apakah yang dia katakan muncul dari hati dan pikirannya sendiri?
Tentu tidak. Apa yang dikatakan oleh bocah itu adalah hasil indoktrinasi. Anak-anak ini menjadi “korban” orang-orangtua yang tak mampu mengendalikan lidahnya.
Di Inggris, misalnya, menurut berita yang beredar, jumlah anak berusia di bawah 18 tahun yang terlibat dengan kelompok ekstremis sayap kanan, meningkat. Kementerian Dalam Negeri Inggris mengungkapkan, selama periode 2017-2018 jumlah anak yang terlibat dengan kelompok radikal mencapai 682.
Jumlah tersebut lima kali lipat dari periode 2014 hingga 2015 yang hanya sebanyak 131 anak.
Pada periode 2017 hingga 2018, sekitar 24 di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun.
Kalau melihat yang ada di lapangan, sulit untuk dipungkiri bahwa hal serupa juga terjadi di Indonesia: makin banyak anak-anak yang terlibat dalam ujaran-ujaran kebencian, ikut berteriak-teriak dalam demonstrasi yang semestinya tidak boleh diikutinya, misalnya.
Dua
Orang yang memilih diam—sebagai pilihan utama, seperti dalam syair jula-juli di atas—secara sederhana menunjukkan kemampuannya menjaga lidah, menjaga mulut, mengendalikan lidahnya. “Siapa yang tidak bisa mengendalikan lidahnya, berarti tidak bisa memahami agamanya.”
Begitu kata Hasan Al-Bashri (642-728), seorang sufi dari Madinah.
Agama adalah nilai kehidupan yang mulia. Karena agama mengajarkan serba yang baik, yang mulia. Semua agama mengajarkan perdamaian dan sikap kasih pada sesama manusia.
Dasarnya adalah altruisme dan belas kasih, serta usaha memerangi musuh-musuh jiwa seperti kesombongan, amarah, atau kecemburuan—inilah yang disebut sebagai “praktik keagamaan yang nyata.”
Demikian kata Dalai Lama.
Kalaupun ada ajaran atau sejarah agama-agama untuk berperang, hal itu tak dapat dijadikan argumen untuk menuduh bahwa agama an sich adalah penyebab perselisihan dan peperangan.
Meskipun demikian, tidak ada satu orang pun yang dapat menyangkal bahwa semua agama berulang kali telah menjadi alat kekerasan dan mempunyai aspek-aspek yang mendorong orang beriman untuk melakukan kekerasan, dan hingga kini semua itu masih terjadi (Hagen Berndt; 2006).
Maka itu, untuk menggambarkan keluhuran agama dalam budaya Jawa dikatakan agama ageming aji (serat Wedatama karya KGPAA Mangkunegara IV, 1811-1881), yang bisa diartikan sebagai agama adalah pakaian orang mulia.
Orang mulia bisa berarti orang yang berbudi luhur, baik budi, baik hati, murah hati, pemaaf, penuh semangat persaudaraan, berahklak baik.
Orang mulia adalah orang yang bisa merasa malu karena tidak dapat menjalankan agamanya sebagaimana mestinya; yang memberikan kedamaian bagi dirinya sendiri dan bagi sesama manusia.
Dalam bahasa Jawa kata “memeluk agama” adalah ngrasuk agami. Misalnya, ngrasuk agami Islam, ngrasuk agami Katolik, ngrasuk agami Kristen, ngrasuk agami Buddha, ngrasuk agami Hindu dan sebagainya.
Kata rasukan artinya pakaian. Orang yang memeluk agama, karena itu, diibaratkan orang yang memakai rasukan atau pakaian.
Hanya saja, kini ada sementara orang yang benar-benar hanya menjadikan rasukan, pakaian (agama) sekadar simbol belaka. Mereka tidak merasa malu lagi tidak “patuh pada nilai-nilai moral dan ajaran agama yang benar.”
Tetapi, justru merasa bangga, dan menganggap itu yang benar. Mereka merasa sudah cukup dengan menggunakan “pakaian” (dalam arti yang sebenarnya) saja; sebagai simbol bahwa mereka beragama.
Mereka beragama, tetapi tidak beriman.
Padahal, bukankah “Tujuan pertama dan terpenting dari agama adalah percaya pada Allah, untuk menghormati-Nya dan untuk mengundang semua laki-laki dn perempuan untuk mempercayai bahwa alam semesta ini bergantung pada Allah yang mengaturnya…… agama tidak boleh memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan atau penumpahan darah. Realitas tragis ini merupakan akibat dari penyimpangan ajaran agama. (Dokumen Abu Dhabi)
Hal-hal tersebut, menurut Dokumen Abu Dhabi, adalah hasil dari manipulasi politik agama-agama dan dari penafsiran yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama yang, dalam perjalanan sejarah, telah mengambil keuntungan dari kekuatan sentimen keagamaan di hati para perempuan dan laki-laki agar membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak berkaitan dengan kebenaran agama.
Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang bersifat politis, ekonomi, duniawi dan picik.
Tiga
Ada demikian banyak kata-kata bijak yang berbicara tentang pentingnya menjaga lidah, menjaga mulut. Raja Sulaeman dalam Kitab Amsal, misalnya, mengingatkan, lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan.
Maka, ada orang bijak dan juga orang bebal. Masing-masing orang akan mengeluarkan kata-kata yang sangat berbeda, sekalipun semuanya memakai lidah.
Orang yang berhikmat akan mengeluarkan kata-kata yang berpengetahuan, yaitu kata-kata yang mengandung kebenaran, yang menguatkan, memberikan semangat baru, dan sebagainya.
Sebaliknya, orang yang bebal akan mengatakan hal-hal yang merusak relasi, menyakitkan, bahkan terbiasa dengan kata-kata kotor, yang diungkapkan tanpa melihat apakah menyakitkan hati atau tidak. (Ada orang bebal, yang merasa bijak).
Demikian pula banyak kaum cerdik cendekia, yang memberikan nasihat tentang hal itu. Banyak kaum yang terlibat konflik akibat seseorang yang tidak pandai menjaga lidahnya, mengendalikan lidahnya, menjaga mulutnya.
Banyak pula hubungan perkawanan atau persaudaraan yang rusak, putus karena lidah dan mulut yang tidak terkendali. Bahkan, banyak pula rumah tangga rusak karena ketidakmampuan mengendalikan lidah dan mulut entah suami atau istri.
Negara pun bisa hancur berantakan kalau para pemimpin, tokoh masyarakat, tokoh agama, elite masyarakat, elite politik, dan mereka yang merasa dirinya tokoh, tidak mampu mengendalikan lidahnya.
Karena sepatah kata orang bisa dianggap pandai, tetapi karena sepatah kata pula orang bisa dianggap bodoh. Bahkan, tidak hanya dianggap bodoh, melainkan dianggap tak tahu etika, tidak tahu tatakrama, dan lebih parahnya lagi dianggap tak berbudaya, tak berkeadaban.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) menjelaskan kata “adab” berarti kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak.
Sedangkan kata “keadaban” berarti ketinggian tingkat kecerdasan lahir batin; kebaikan budi pekerti (budi bahasa dan sebagainya). Karena itu, bila disebut “tak berkeadaban” berarti tidak memiliki kebaikan budi pekerti; tidak memiliki kecerdasan lahir batin yang tinggi; tidak berakhlak.
Itulah sebabnya, Imam Abu Hatim (811–890), seorang ulama besar, ahli hadis, dan juga ahli tafsir, mengatakan bahwa lisan orang berakal berada di bawah kendali hatinya.
Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan berbicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam.
Sementara orang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya.
Akan tetapi, mengapa masih juga banyak orang, termasuk para elite politik, elite agama, tokoh masyarakat, tokoh bangsa, dan juga yang mengklaim dirinya sebagai tokoh membiarkan lidah dan mulutnya tanpa kendali.
Banyak ujaran kebencian, fitnah, sumpah-serapah dan segala bentuk ucapan yang tidak mencerminkan keadaban, tidak mencerminkan tingginya budi pekerti, tidak mencerminkan kecerdasan lahir batin, tidak mencerminkan tingginya kepandaian, berseliweran.
Kita boleh saja tidak menyukai apa yang kita lihat. Tidak suka dengan apa yang orang lain perbuat atau segala sesuatu yang membuat mulut kita berkomentar.
, menurut nasihat orang-orang bijak, bukan berarti kita lantas bisa seenaknya berkomentar tanpa mempertimbangkan akibatnya. Sebab, lidah juga diibaratkan seperti api yang dapat membakar hutan dan dianggap ‘dunia kejahatan.’
Apa yang diucapkan seseorang, sebenarnyalah mencerminkan apa yang ada di dalam hati. Di dalam hatilah yang membisikkan sebuah akhlak manusia yang sebenarnya. Kata-kata yang dikeluarkan seseorang dari mulutnya adalah kondisi dari hatinya.
Entah itu bahasa kasar, kotor, umpatan, kata-kata yang merendahkan dan penuh kebencian adalah kata-kata yang menunjukkan karakternya yang sebenarnya.
“Manusia unggul selalu rendah hati saat berbicara, tetapi selalu luar biasa dalam tindakan,” begitu kata Confucius (551–479 SM), filsuf terkemuka China.
Mengendalikan lidah memang lebih sulit daripada mengendalikan api atau menjinakkan binatang. Tanpa dikekang, lidah bisa menjadi liar. Kadang mengucapkan berkat, kadang kutuk.
Tidak konsisten. Jika ini terjadi, mana bisa menjadi teladan? Mana bisa menjadi panutan? Mana bisa dipegang perkataannya?
Itulah sebabnya, orang-orang bijak bestari mengatakan, mulutmu harimaumu. “Ajining diri ono ing lati,” kemuliaan diri ada di lisan.
“Lidahmu jangan kamu biarkan menyebut kekurangan orang lain, sebab kamu pun punya kekurangan dan orang lain pun punya lidah.”
Begitu kata Imam Syafii (767-820 M).
Ibarat kata, orang dengan balok di matanya tidak seharusnya mengeluarkan selumbar dari mata orang lain.
Maka parikan Jawatimuran di atas, “Bila tak mampu cakap yang berguna; Diam adalah pilihan utama, benar adanya.”