PERNAHKAH kalian mendengar cerita tentang Kain dan Abil, dua putera Adam dan Hawa?
Begitu kata Guru mengawali pertemuan pagi hari, ketika matahari masih malas-malasan di peraduannya. Ketika embun pagi masih menguasai pucuk-pucuk daun. Dan kokok ayam bersahut-sahutan untuk membangunkan matahari yang akan menjatuhkan embun dari pucuk-pucuk daun.
Kami semua belum menjawab pertanyaan itu, tetapi Guru sudah melanjutkan:
Kalau pun kalian sudah pernah mendengar, tidak ada salahnya, dan tidak ada jeleknya mendengarkan lagi. Sebab, banyak orang sering kali berlaku seolah-olah seperti orang yang tuli dan bahkan acuh-tak acuh.
Padahal punya telinga dan bisa mendengarkan.
Bukankah ada kata-kata bijak, “Barangsiapa bertelinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengarkan.”
Kalian semua tahu bahwa telinga menjadi jendela bagi akal budi dan rasa perasaan, bagi pikiran dan pengalaman manusia.
Itulah sebabnya, kalau kalian mendengar suara, lagu-lagu yang merdu, maka kalian akan berdecak penuh kekaguman dan mengatakan, “Wow alangkah indahnya, suara itu, lagu itu.”
Dan, ketika suara sumbang, fals, maka kalian akan buru-buru berkomentar, “Ah, suaranya nggak enak didengar, bikin sakit telinga.”
Memang, telinga mampu mengantar manusia tidak hanya pada kesadaran, penilaian, dan pengertian. Tetapi juga pada pemahaman, kepercayaan dan keyakinan.
Pada suatu hari, Kain membunuh Abil adiknya. Ia sangat marah, dan juga iri, benci, karena korban bakarannya tidak diterima Hyang Agung.
Sementara korban Abil diterima, terlihat dari asap korban bakaran Abil membumbung ke angkasa, menembus langit. Sementara, asap korban bakarannya hanya berputar-putar di sekitar mezbah.
Kain lalu mengubur Abil di bawah tumpukan batu. Ia yakin tidak ada yang tahu apa yang ia lakukan. Ia sudah berencana kalau ditanya ayah dan ibunya, Adam dan Hawa, ia akan menjawab, “Saya tidak tahu, mungkin menggembala.”
Sebagai saudara tua, Kain sudah kehilangan rasa persaudaraan, rasa kemanusiaannya.
Titus Maccius Plautus (254-184 SM) mengatakan, orang semacam itu bagaikan serigala; lupus est homo homini, non homo quom quails sit non novit, manusia serigala bagi sesamanya; ia bukan manusia apabila tidak paham hakikatnya.
Manusia dikaruniai akal budi, kebebasan, dan hati nurani. Ketiga unsur ini yang sesring disebut sebagai “kaki tiga emas” secara alami dan hakiki membedakan manusia dengan ciptaan lain, fauna, flora, dan materi.
Dengan akal budinya, manusia mendengarkan suara Hyang Jagat Nata yang mengajaknya untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat.
Tindakan Kain telah menjadi “kakek-moyang” segala kejahatan manusia, karena tidak mau mendengarkan suara untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat.
Sejak saat itulah, manusia mampu menghancurkan sesamanya.
Sejak saat itu pula, muncul kebencian, iri-hati, kecemburuan, kebohongan, kepalsuan, kepura-puraan, dan segala tindakan yang tidak manusiawi lainnya.
F. Budi Hardiman (2011) menceritakan, seniman Jerman Günter Uecker dalam pameran instalasinya menderetkan 60 kata dari Perjanjian Lama yang melukiskan destruksi manusia atas sesamanya, seperti: merampas, menghancurkan, membakar, menganiaya, menikam, menyiksa, memecah-belah, menistakan, melupakan, mencemarkan, mengolok-olok, meludahi, membasmi, menggebuki, mencuri, melecehkan, mencabik-cabik, menyeret, dan menggores.
Di luar padepokan ini, kalian dengan mudah bisa menemukan dan merasakan suasana, iri-hati, kebencian, tidak percaya, kecurigaan, dan praktik-praktik lainnya yang tidak selaras dengan hakikat manusia dan kemanusiaan.
Entah itu, iri hati ekonomi, sosial, maupun politik; juga kebencian politik, kebencian sosial, kebencian etnis, kebencian agama, iri hati etnis, dan semangat intoleransi.
Wajah dunia kita dipenuhi konflik, permusuhan, kekerasan, kesewenang-wenangan, sikap mau menang sendiri, dan menganggap benar sendiri.
Banyak orang yang berlomba untuk mencari dan memenuhi kepentingannya sendiri, tanpa mempedulikan orang lain.
Maka karena itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme termasuk dalam dunia politik merajalela.
Egoisme, nafsu dan ambisi serta ketidakadilan, menjadi ciri yang lain dunia kita.
Yang lebih menyedihkan lagi, kata Guru. lalu berhenti sesaat dan diam serta memejamkan mata. Kami semua merasakan, betapa Guru sangat sedih merasakan bahwa kebencian telah membangun kerajaan.
Yang lebih menyedihkan lagi, menurut Cherian George (2016), kebencian agama, kebencian etnis dijadikan modal dasar dan dijual untuk kepentingan politik, untuk meraih dan merebut kekuasaan politik.
Agama adalah sumber paling ampuh untuk membakar amarah massa. Ada klaim kemutlakan di sana, menjanjikan surga atau neraka, menjadi sumber emosi yang sangat bisa diandalkan.
Agama menawarkan simbol-simbol yang sudah siap-pakai, ritual, dan solidaritas yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh para pemimpin gerakan.
Mengapa semua itu bisa terjadi, Guru?
Seorang murid memberanikan diri memotong penjelasan Guru dan bertanya.
Guru berhenti sejenak, melihat murid yang bertanya, yang kelihatan ketakutan. Tetapi Guru lalu tersenyum dan mengatakan: Semua itu karena formalisme agama.
Formalisme agama amat mudah digunakan oleh kepentingan politik yang tidak jujur, guna menciptakan ketakutan dan perpecahan di masyarakat.
Hal semacam itu, terlihat di dalam masyarakat demokratis, dimana rakyat bisa memilih langsung para wakil dan pimpinannya di pemerintahan.
Agama pun digunakan untuk mengumpulkan suara rakyat demi mendukung calon tertentu, sekaligus membenci calon lainnya. Rakyat yang bodoh, yang masih terjebak pada formalisme agama, akan dengan mudah tertipu, dan memang ditipu.
Oleh karena itu, bagi yang melihat kaitan erat antara agama dan politik, maka tindakan tanpa kekerasan dalam politik adalah tindakan yang religius.
Inilah yang dikatakan membawa yang kudus ke dalam politik. Dalam bahasa lain dapat dikatakan, kembalikan moralitas dalam berpolitik.
Tetapi, masih ada yang mengatakan, bukankah ruang politik adalah ruang kepentingan.
Maka dari itu, kepentingan realitas politik dan kepentingan suara pemilih yang menjadi perhatian utama.
Benar bahwa ruang politik adalah ruang kepentingan. Akan tetapi, menurut T. Krispurwana Cahyadi SJ (2006), kalau alasan pragmatis yang lebih diutamakan, maka tujuan berpolitik tidak akan tercapai.
Sebab, tujuan politik adalah untuk membangun masyarakat yang sehat. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Karena itu, politik tidak bisa dilepaskan dari moralitas.
Dengan demikian, berpolitik adalah membangun suatu kehidupan yang baik, luhur, dan suci. Dalam rumusan lain bisa dikatakan bahwa politik adalah soal cara hidup.
Tentu, cara hidup yang bermoral. Cara hidup yang memegang teguh integritas dan kejujuran.
Cara hidup yang mengutamakan kepentingan umum: kemanusiaan dan keadilan, kebenaran dan kedamaian, kebersamaan dan persaudaraan.
Cara hidup seperti itu, yang akan memutus “kutukan Kain.”
Apakah itu mungkin, Guru? Tanya seorang murid lainnya, tanpa rasa takut karena tahu bahwa Guru tidak akan marah.
Guru tersenyum dan menjawab: Apa yang kita lihat sekarang ini adalah seperti bayangan yang kabur pada cermin. Namun, nanti kita akan melihat langsung dengan jelas.
Sekarang saya belum tahu segalanya. Tetapi, nanti saya akan tahu segalanya…
Setelah mengatakan hal itu, Guru berdiri dan berjalan menuju kamar semadinya; sementara di luar embun pagi sudah diusir dari pucuk-pucuk daun oleh sinar matahari.
Malam tak berdaya, harus berakhir. Dan, hidup baru dimulai….