Asa dari Perkebunan Sawit: Perjuangan Kenalkan Indonesia ke Anak Buruh di Malaysia

0
265 views
Ilustrasi: Upacara Bendera di CLC Ladang Permodalan. (Setti)

PROFESI sebagai guru membuatnya mendapat banyak pengalaman. Kini, sudah tujuh bulan dia menjadi guru di pedalaman Malaysia. Pandemi Covid-19 membuatnya rindu aktivitas di sekolah yang terletak di tengah ladang sawit itu.

Hal ini disampaikan Ahmad Setiawan (28), saat dihubungi lewat telepon akhir Mei lalu. Seti –panggilan akrabnya, teringat pada muridnya Erlina Magdalena yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. “Erlina ingin jadi dokter, tapi anehnya dia suka pelajaran IPS,” katanya.

Seti bangga ketika melihat Erlina di sekolah. Ini juga yang membuat Seti rindu ke sekolah lagi, salah satunya melihat murid yang tak pernah mau menyerah itu. Menurut cerita Seti, Erlina selalu berjuang dalam pelajaran.

Bahkan di pelajaran agama Katolik, Erlina akan belajar sendiri, membaca buku-buku yang ada.

“Maklum kan saya juga tidak mengerti, jumlah guru juga terbatas. Jadi, ya mereka yang non-Muslim itu belajar sendiri,” cerita Seti.

Pengalaman ini yang menjadikan Seti semakin semangat berada di perantauan. Seti, putra kedua dari tiga bersaudara. Ketika lulus dari SMAN 1 Bantaeng, Sulawesi Selatan, dia bingung mau meneruskan kuliah atau langsung bekerja.

“Orang tua cuman izinkan saya kuliah kalau ambil jurusan guru,” ujarnya dengan logat Bugis Makassar yang kental.

Akhirnya dengan menguatkan hati, Seti mantap mengambil jurusan Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Makassar.

Pilihan itulah yang membawanya meraih impian sejak lama: bertualang.

Ya, Seti begitu bahagia ketika dia bisa berkeliling Sulawesi Selatan untuk penelitian kuliah. Setelah lulus kuliah, dia mendaftar di program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T).

Pada tahun 2015, dia ditempatkan di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku.

Seti akhirnya mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) pada awal 2017, dan diterima menjadi guru honorer di SMKN 4 Bantaeng sejak Januari 2018. Kemudian dia menunggu program Guru Garis Depan (GGD) yang tak kunjung diselenggarakan –itu karena dia ingin bertualang lagi.

Ketika kutanya tujuannya bertualang, Seti menjawab singkat, “Biar ada yang diceritakan untuk anak cucu nanti.”

Seti sempat terpukul saat gagal dalam tes CPNS 2018 di Kementerian Agama. Semula dia yakin akan lulus karena mengantongi sertifikat PPG dan merupakan alumni SM3T. Sepekan lamanya, pengagum klub PSM Makassar ini bersedih dan galau, sampai ada informasi mengenai seleksi untuk Pendidik Anak Indonesia di Malaysia Tahap 10.

Kesempatan bertualang datang, membuat semangatnya kembali.

Namun, kedua orang tuanya tidak setuju. Mereka tidak ingin berpisah jauh dengan anak laki-laki satu-satunya. “Terlalu jauh nak, cukuplah dulu waktu ke Maluku. Ini Malaysia, beda negara kita,” ucap Seti menirukan perkataan ayahnya.

Seti meminta izin, tapi dia diam-diam mengunggah berkas pendaftaran. Menurut Seti, hanya untung-untungan, belum tentu juga berkasnya lolos, soalnya ada 3.000 pendaftar. Ternyata dia lolos dan berikutnya tinggal mengikuti tes psikotes.

Seti sudah pasrah, seminggu sebelum tes psikotes restu dari kedua orang tua baru datang. “Mama dan Tetta (ayah), bertemu sama Ustadzah Mardiana, guru agama saya waktu SMA. Mama bercerita pada sahabatnya itu kalau saya minta izin ke Malaysia. Ustadzah Mardiana lalu bilang, kalau anak-anak itu jangan dikekang keinginannya, siapa tahu memang rezekinya di sana,” cerita Seti yang gemar makan bakso itu.

Bersama 93 orang dari seluruh Indonesia, Seti diberangkatkan ke Malaysia pada Oktober 2019. Sepuluh orang ditempatkan di Serawak, 84 lagi termasuk Seti di Sabah.

Mereka ditempatkan di Community Learning Center (CLC), sekolahnya setaraf SMP –cabang dari Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK).

Kalau di SIKK pusat, sudah ada sekolah dari TK-SMA/SMK. Seti sendiri di tempatkan di Distrik Kinabatangan 3, sebelas jam perjalanan dari Kota Kinabalu –Ibukota Sabah. Dia mengajar di CLC Ladang Permodalan 1, hanya berdua dengan rekannya dari program Tahap 9.

Kadang kalau rekannya itu pergi ke Kinabalu untuk mengurus berkas para murid, Seti harus merangkap mengajar tiga kelas sekaligus. Total murid di tiga kelas itu ada sekitar 40 orang, terdiri dari kelas 1, 2 dan 3 SMP.

Semua guru CLC di Malaysia harus bisa mengajar semua mata pelajaran.

Menurut Seti, tidak sulit, yang penting punya niat untuk mencerdaskan dan membahagiakan anak-anak itu. “Tapi, yang paling pertama ketika di sekolah saya minta mereka harus pakai bahasa Indonesia, sebab mereka anak Indonesia, tanah air mereka adalah Indonesia,” kata laki-laki berkacamata itu penuh semangat ketika menceritakan bagian ini.

Murid-murid Seti adalah anak dari para pekerja ladang sawit –yang sudah puluhan tahun di sana. Kebanyakan berasal dari Suku Bugis dan dari tanah Flores.

Anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang layak, karena pemerintah Malaysia tidak memberikan kebebasan orang asing untuk sekolah. Kalau pun bisa, biayanya sangat besar. Karena itulah, pemerintah Indonesia menempatkan para guru dari Indonesia untuk mengajar.

Selain agar anak-anak itu mendapatkan pendidikan yang layak, juga agar mereka tahu tentang cerita tanah airnya, Indonesia. Kini, Seti dan para guru lainnya hanya bisa merindukan anak-anak itu dari kejauhan.

Selama pandemi, sekolah melaksanakan pembelajaran daring. Karena sinyal internet yang juga terbatas, pembelajaran masih belum dapat dilakukan optimal.

Dikutip dari review yang dibuat Nanang Rosidi di Kompasiana.com, pada tahun 2016, buku Mengindonesiakan Anak Indonesia karya Saprudin Padlil Syah, menceritakan kisah para guru di pedalaman Malaysia ini.

Pada halaman 65 buku itu, seorang anak mengungkapkan kalau dia lebih memilih menjadi warga negara Malaysia karena pengangguran di Malaysia itu digaji. Mereka seolah tidak cinta dan rindu pada Ibu Pertiwi.

Karena itu, sebenarnya ‘Mengindonesiakan anak Indonesia’ adalah tujuan para guru Indonesia di Malaysia.

Menurut Seti, sekarang anak-anak itu sudah merindukan Indonesia, bahkan mengakui kalau mereka adalah orang Indonesia. Banyak juga yang bercita-cita kembali ke Tanahair.

Kesempatan itu bisa saja datang, sebab pemerintah Indonesia membuka jalur beasiswa bagi lulusan CLC. Tahun ini, ada kuota 1.200 orang yang bisa melanjutkan ke tingkat SMA/SMK, pesantren hingga bangku kuliah di Indonesia, semuanya dibiayai pemerintah bekerjasama dengan sekolah-sekolah mitra.

Namun, biasanya tidak semua lulusan CLC akan melanjutkan sekolah, beberapa ada yang memilih langsung bekerja. Di antara murid CLC Ladang Permodalan 1 –tempat Seti mengajar misalnya , dari 12 murid yang lulus tahun ini, lima di antaranya belum dapat restu dari orang tua untuk ikut seleksi beasiswa.

“Sedih saya, beasiswa itu kesempatan mereka untuk menjahit kembali hubungan yang seolah terputus dengan Indonesia. Kalau ada peluang mereka bisa ke Indonesia, belajar di sana, mereka bisa lebih kenal sama tanah air,” ungkap Seti.

Selama ini agar para murid lebih mencintai Indonesia, yang bisa para guru lakukan selama di sekolah adalah menceritakan tentang Indonesia sebanyak-banyaknya. Semoga itu cukup untuk merajut lagi kecintaan mereka pada Ibu Pertiwi.

“Ini bikin petualangan saya kali ini cukup berat, tapi saya akan berjuang biar mereka (anak-anak Indonesia) nanti juga bisa cerita pada anak cucunya, cerita tentang Indonesia. Ini sebuah asa dari tengah ladang sawit,” ucap Seti lirih.

Cita-cita Seti ini menunjukkan kepedulian yang luar biasa. Dia mengajar tanpa pernah membedakan latar belakang ekonomi, agama, ataupun budaya.

Petualangannya kini memiliki tujuannya baru: mengenalkan Indonesia ke anak-anak buruh, agar mereka tidak lupa dan semakin cinta pada Indonesia.  

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here