Beato Paus Yohanes Paulus II: Api Penyucian Perlu untuk Pemurnian

0
4,579 views

INI untuk pemurnian cinta kepada Allah dan pemurnian penyerahan diri. Sebelum kita masuk ke dalam persatuan penuh dengan Allah, setiap jejak dosa dalam diri kita harus dibersihkan dan setiap ketidaksempurnaan dalam jiwa kita harus diluruskan.

Dalam audiensi umum hari Rabu tanggal 4 Agustus 1999, Bapa Suci Yohanes Paulus II memberikan katekese tentang Api Penyucian (dari kata pe –suci, menjadi penyucian; bukan api pencucian; dari kata pe – cuci;  nanti dikira  sabun cuci atau atau pencucian uang).

Bapa Suci menjelaskan bahwa integritas fisik adalah perlu untuk memasuki persekutuan sempurna dengan Allah. Oleh karena itu,  istilah Api Penyucian tidak menunjuk pada tempat, melainkan kondisi keberadaan di mana Kristus menghapus sisa-sisa ketidaksempurnaan.

Demikian kata-kata Bapa Suci:

  1. Seperti telah kita lihat dalam katekese sebelumnya, atas dasar pilihan fundamental untuk berpihak atau melawan Allah, manusia mendapati dirinya dalam kemungkinan ini: atau hidup dalam kebahagiaan kekal bersama Allah atau tetap tinggal jauh dari Allah. Bagi mereka yang mengalami dirinya terbuka bagi Allah, namun masih belum sempurna, perjalanan menuju kebahagiaan penuh itu membutuhkan pemurnian yang dilukiskan oleh Katekismus Gereja Katolik dalam ajaran tentang Api Penyucian (no. 1030 – 1032). Supaya dapat ambil bagian dalam kehidupan ilahi kita harus secara total bersih;
  2. Dalam Kitab Suci kita menemulan beberapa unsur yang dapat membantu kita untuk mengerti arti dari doktrin Api Penyucian ini, meskipun tidak secara jelas dirumuskan. Data Kitab Suci itu mengungkapkan keyakinan bahwa kita tidak dapat mendekati Allah tanpa melakukan semacam pemurnian. Menurut hukum Perjanjian Lama, apa yang diperuntukkan bagi Allah harus sempurna. Dan konsekuensinya, keutuhan fisik juga secara khusus menuntut agar apa saja yang akan berkontak dengan Allah sebagai korban persembahan, misalnya, hewan korban, harus sempurna (Im. 22:22) atau jabatan rohani juga, misalnya imam-imam pelayan ibadah (Im. 21: 17-23). Kesempurnaan dituntut pula bagi pelayanan penuh kepada Allah Perjanjian, sesuai dengan pengajaran yang ditemukan dalam Kitab Ulangan (Ul. 6:5) ditutut pula integritas fisik bagi setiap manusia baik perorangan maupun masyarakat (bdk I Raj. 8:61). Di sini persoalannya adalah mengasihi Allah dengan seluruh diri, dengan kemurnian hati dan dengan kesaksian tindakan (bdk I Raj. 10: 12 dst). Kebutuhan akan integritas diri jelaslah menjadi sangat penting setelah kematian supaya dapat masuk ke dalam persatuan sempurna dengan Allah. Mereka yang belum memiliki keutuhan (integritas) itu harus menjalani pemurnian. Hal itu dinyatakan juga dalam surat-surat St. Paulus. Ia berbicara tentang nilai dari pekerjaan setiap orang yang akan dinyatakan pada hari penghakiman: “Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.” (I Kor. 3: 14-15.);
  3. Sering terjadi bahwa untuk mencapai keadaan integritas sempurna, pengantaraan atau mediasi seseorang diperlukan. Contonya, Musa memperoleh pengampunan Allah bagi umatnya melalui doa di mana ia mengingat-ingat kembali karya-karya penyelamatan Allah pada masa lalu, dan berdoa atas dasar kepercayaan akan kesetiaan Allah akan janji yang Ia ucapkan kepada nenek moyang mereka (Kel. 32: 30, 11-13). Figur Hamba Yahwe yang dinyatakan dalam Kitab Yesaya juga menyatakan peran pengantaraan dan silih bagi banyak orang; pada akhir penderitaannya ia akan melihat cahaya dan akan membenarkan banyak orang dengan membawa sendiri kesalahan mereka (bdk Yes. 52: 13-53; 12 dan khususnya 53: 11). Dalam perspektif PL, Mazmur 51 bisa pula dipertimbangkan sebagai rangkuman dari suatu proses reintegrasi: pendosa mengakui kesalahan-kesalahannya (ayat. 3) mohon secara sungguh-sungguh untuk disucikan dan dibersihkan (ay. 2, 9, 10, 17) sehingga dapat menyerukan kemuliaan Allah (ayat 15). Api Penyucian bukanlah suatu tempat, melainkan kondisi keberadaan.
  4. Dalam Perjanjian Baru, Kristus ditampilkan sebagai pengantara yang mengambil fungsi Imam Agung pada hari pengorbanan (Ibr. 5: 7; 7:25). Namun di dalam Dia, imamat dinyatakan secara baru dan dalam bentuknya yang paripurna. Ia masuk ke dalam tahta sorgawi satu kali untuk selamanya untuk menjadi pengantara kita kepada Allah (bdk. Ibr. 9: 23-26, khususnya ay. 24). Ia bertindak serentak sebagai Imam dan Korban persembahan bagi dosa-dosa dunia (I Joh. 2:2). Yesus yang adalah pengantara paling mulia bagi kita, akan menyatakan diri-Nya secara sempurna pada akhir kehidupan kita ketika Ia akan menyatakan diri-Nya dengan menawarkan belas kasih-Nya, namun juga dengan pengadilan yang tak terhindarkan bagi mereka yang menolak kasih dan pengampunan Bapa.Tawaran belas kasih itu tidak membatalkan kewajiban kita untuk mempersembahkan diri kita kepada Allah dalam keadaan murni dan utuh, kaya dalam kasih seperti disebut oleh St. Paulus sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan (Kol 3: 14).
  5. Dalam mengikuti nasehat Injil untuk menjadi sempurna seperti Bapa di surga (bdk Mat. 5:48) selama kehidupan kita di dunia ini, kita dipanggil untuk bertumbuh dalam cinta kasih, untuk tidak bercacat dan tidak berkerut di hadapan Allah Bapa sampai kedatangan Tuhan Yesus Kristus bersama dengan semua orang kudus-Nya” ( I Tes. 3: 12 dst). Lagi pula kita diundang untuk membersihkan diri kita dari setiap noda tubuh dan roh ( II Kor. 7: 1; bdk I Yoh. 3:3), karena perjumpaan dengan Allah mensyaratkan kemurnian sempurna. Setiap tanda adanya jejak kejahatan harus dieliminasi, setiap ketidaksempurnaan jiwa harus diluruskan. Purifikasi harus komplit dan itulah arti sesungguhnya dari ajaran Gereja tentang Purgatorium atau Api Penyucian. Istilah itu tidak menunjuk pada suatu tempat, melainkan kondisi keberadaan. Mereka yang setelah kematian berada dalam keadaan dimurnikan adalah orang-orang yang sudah berada dalam kasih Kristus yang menghapus cacat cela mereka (Konsili Florance, Decretum pro Graecis: DS 1304; Konsili Trente, Decretum de Iustificatione: DS 1580; Decretrum de Purgatorio: DS 1820). Perlulah dijelaskan bahwa keadaan dimurnikan itu bukanlah suatu perpanjangan atau lanjutan dari kondisi di dalam dunia ini, seolah-olah setelah kematian seseorang diberikan kemungkinan lain untuk mengubah nasibnya. Ajaran Gereja di bidang ini tidak seragam dan ditegaskan oleh pengajaran Konsili Vatikan II: “Karena kita tidak mengetahui hari maupun jamnya, atas anjuran Tuhan, kita wajib berjaga terus menerus, agar setelah mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia hanya satu kali saja (lih Ibr (: 27), kita bersama dengan-Nya memasuki pesta pernikahan, dan pantas digolongkan pada mereka yang diberkati (Lih. Mat 25: 31-46), dan janganlah kita seperti hamba yang jahat dan malas (lih Mat. 25:26) supaya jangan diperintahkan enyah ke dalam api yang kekal (lih Mat 25:41), ke dalam kegelapan di luar, tempat “ratapan dan kertakan gigi” (Mat 22: 13 dan 25: 30) (Lumen Gentium, n. 48).
  6. Satu aspek penting terakhir yang selalu ditunjukkan oleh tradisi Gereja dan perlu disadari saat ini ialah: dimensi komunio. Kenyataannya mereka yang berada dalam keadaan dimurnikan itu disatukan dengan mereka yang telah terberkati dan menikmati kepenuhan kebahagiaan kekal, dan juga disatukan dengan kita semua yang masih di dunia ini dalam peziarahan kita menuju rumah Bapa (Katekismus no. 1032). Sama seperti ketika hidup di dunia ini para orang beriman itu disatukan dalam satu Tubuh Mistik Yesus Kristus, demikian pula setelah kematian, mereka yang berada dalam keadaan pemurnian mengalami solidaritas ekklesial yang sama yang bekerja melalui doa-doa, doa silih dan cinta kasih bagi saudara-saudari dalam iman. Purifikasi itu dijalani dalam kesatuan hakiki yang terjadi atau terjalin di antara mereka yang hidup di dunia ini dan mereka yang telah mengalami kebahagiaan abadi.
    Sumber: l’Osservatore Romano

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here