SECARA kualitatif ciri-ciri obyektif dari stadium II ini adalah bahwa sumber konfliknya sudah mulai masuk ke perkara yang berkaitan dengan pemahaman dan tindakan. Bukan lagi masalah selera, meski belum sampai menyentuh perkara nilai dan cita-cinta pokok perkawinan.
Bisa dikatakan, konfliknya masih ada dalam frame perkawinan. Kalau toh ada masalah, harapan untuk bisa diselesaikan masih lumayan tinggi. Perbedaan konsep dan cara pendidikan anak adalah salah satu contohnya. Perbedaan pandangan tentang perimbangan antara karier dan peran dalam rumah-tangga baik bagi isteri maupun suami adalah contoh lain.
Kemudian, secara kuantitatif, konflik yang terjadi dalam stadium II ini cukup sering terjadi dan bisa berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Secara subyektif, beban emosional yang ditanggung salah-satu atau kedua pihak tidak lagi bisa dikatakan ringan. Bisa jadi semangat kerja sudah mulai terganggu, atau ritme tidur mulai kacau. Kadang, cèkcok mulut adu argumentasi bisa terjadi. Meski begitu, gangguan yang terjadi relatif masih bisa ditanggung dan dihadapi, meski butuh waktu yang lebih lama dibanding dengan yang terjadi dalam stadium I
Masih wajar kok
Masalah dalam stadium II ini, seperti halnya stadium I1, dari kaca-mata hukum masih dipandang sebagai hal yang normal, belum menyentuh wilayah hukum. Karena itu, tidak ada tindakan khusus yang berkaitan dengan hukum.
Sikap dan tindakan yang diambil masih serupa dengan sikap dan tindakan dalam stadium I. Hanya saja, bila dirasa perlu, pihak ketiga yang netral, syukur-syukur profesional, bisa dilibatkan sebagai penengah yang netral sebagai jembatan komunikasi.
Selain itu, diperlukan kesabaran yang lebih karena memang butuh waktu.