Belajar Keheningan Doa dan Doa Keheningan

0
1,796 views
Ilustrasi - Para suster OSA tengah melakukan doa hening bersama di kapel Augustinian Spirituality Center Ketapang, Kalbar. (Dok. OSA)

JUDUL refleksi tentang doa ini adalah kutipan hasil refleksi dari Jean Vanier. Melalui ungkapan ini, Jean merefleksikan tentang hakikat sebuah doa.

Refleksinya ini dituangkan dalam bukunya Drawn into the Mystery of Jesus through the Gospel of John.

Buku ini sudah dialihbahasakan oleh Ignatius Kardinal Suharyo dengan judul Tenggelam ke dalam Misteri Yesus, Menghayati dan Mendalami Injil Yohanes (Kanisius 2009).

Siapa itu Jean Vanier?

Jean Vanier adalah seorang perwira marinir berkebangsaan Kanada. Ketika memasuki usia akhir 30-an tahun, Jean Vanier bertekat meninggalkan profesinya sebagai seorang perwira marinir beralih profesi menjadi seorang pekerja sosial bagi anak-anak cacat mental (idiot) di Trosly-Breuil, Perancis.

Sebelum bekerja sebagai sukarelawan bagi anak-anak cacat mental ini, ia mendalami pengalaman rohaninya dengan bapak rohaninya: Père Thomas Philipe.

Père Thomas adalah pendiri karya sosial bagi anak-anak cacat mental di tempat ini. Melalui Père Thomas, Jean Vanier mengalami pertumbuhan dan perkembangan rohani yang mendalam dalam hidupnya, khususnya pengalaman hidup dalam doa.

Karena atas jasa bimbingan bapak rohaninya, Jean mampu masuk secara mendalam ke dalam misteri doa.

Dari pengalaman hidup doanya yang mendalam inilah, melahirkan sebuah refleksi yang mendalam pula tentang doa. Karena itu, ia mengungkapkan bahwa untuk menemukan kedalaman hidup dalam doa hanya melalui upaya “belajar keheningan doa dan doa keheningan”.

Para Novis suster OSA diajak berdoa bersama di kapel biara. (Dok. Kongregasi Suster OSA)

Keheningan doa

Apa artinya belajar keheningan doa dan doa keheningan?

Dalam bukunya tentang Injil Yohanes, ia menulis demikian: “Saya telah memahami bahwa doa berarti pertama-tama berdiam di dalam Yesus dan membiarkan Yesus berdiam di dalam saya.”

Lebih lanjut, ia menegaskan “Yang penting bukan mengatakan doa-doa melainkan hidup dalam saat ini dalam komunio dengan Tuhan Yesus.” (I. Suharyo, 2009: 6-7).

Yang penting bagi Jean Vanier adalah bagaimana saat ini, momen ini kita dapat masuk dan hidup di dalam kesatuan dengan Yesus.

Oleh karena itu, bagi dia doa adalah:

  • tempat (locus);
  • istirahat (rest);
  • dan keheningan (silence).

Apa artinya berdiam di dalam Yesus dan membiarkan Yesus berdiam di dalam saya?

Berdiam di dalam Yesus dan membiarkan Yesus berdiam di dalam kita. Artinya terciptanya suasana keheningan batin dan pikiran ketika kita berdoa, sehingga kita mampu bersatu dengan Tuhan Yesus dan Yesus bersatu atau berkomunio dengan kita (Bdk. Yoh 15: 1- 8: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu”).

Para suster OSA berdoa mendaraskan kidung pujian dan mazmur. (Dok. OSA)

Di sini Tuhan Yesus mengundang kita agar masuk, tinggal dan bersatu (berkomunio) dengan-Nya dan Yesus pun tinggal dan bersatu dengn kita.

Inilah visi utama hidup orang Kristen.

Tujuan hidup kita orang Kristen bukan pertama-tama bersatu dengan “uang, kekuasaan, makanan, minuman, dll, melainkan bersatu di dalam Tuhan Yesus”.  

Dengan demikian, bagi Jean Vanier, doa adalah tempat (locus) hening – bening dan tempat (locus) istirahat (rest) melepaskan lelah, tekanan, beban.

Itu karena Tuhan sendirilah yang masuk dan diam (bersemayam di dalam diri kita, sehingga  tercipta rasa damai, sejuk dan tenang (Bdk. Mat 11: 28, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu”). 

Doa sebagai medium

Jadi, menurut Jean Vanier, doa bukan melulu kata-kata atau perkataan (berbicara atau ucapan verbal). Tetapi, doa adalah tempat (locus) atau medium di mana kita menempatkan diri di hadapan Tuhan atau di hadirat Tuhan dan tempat di mana Tuhan sendiri menempatkan diri-Nya atau menghadirkan diri-Nya di hadapan kita.

Oleh sebab itu, doa membutuhkan suasana, tempat dan waktu (saat) hening-henung-bening, sepi dan sendirian atau seorang diri (Bdk. Mrk 14: 32 – 37), sehingga kita sungguh-sungguh masuk ke dalam hati dan pikiran Tuhan dan Tuhan masuk ke dalam hati dan pikiran kita.

Dengan demikian terciptalah hati dan pikiran kita yang sesuai atau searah dengan hati dan pikiran Tuhan (kehendak Tuhan).

Tentang prinsip keheningan-kehenungan-kebeningan digaribawahi oleh mistikus agung Spanyol: Santo Yohanes dari Salib. 

Ia mengatakan bahwa “keheningan adalah cara Allah berbicara kepada kita”.

Maka, Jean Vanier menyimpulkan penegasan St. Yohanes dari Salib ini degan menegaskan bahwa, “Saya harus belajar keheningan doa dan doa keheningan.” (I. Suharyo 2009: 7).

Penegasan Jean Vanier ini mendongrak hati saya, sehingga saya bertanya, apakah saya sudah mampu menciptakan keheningan doa dan doa keheningan dalam hidup saya sebagai seorang biarawan dan imam?

Jenuh berdoa

Pengalaman saya membimbing para frater sering kali terlontar ungkapan, “Doa membosankan, menjenuhkan, bahkan menjengkelkan”.

Menurut para frater, doa harian dalam hidup komunitas membiara, itu menjenuhkan dan membosankan.

Mereka melihat doa harian hanya sebagai suatu “kegiatan rutinitas yang biasa-biasa saja, hambar maknanya’.

Para suster Augustinian di kapel Biara Pusat OSA Ketapang sedang berdoa bersama. (Dok. OSA)

Doa bagi mereka adalah sebuah “beban” yang menganggu dan menghalangi kesenangan mereka untuk tidur dan bersantai-santai. 

Karena itu, kehadiran para frater di ruang doa atau di kapela hanyalah formalitas dan juridikal (demi hukum atau aturan) belaka.

Selain itu, kehadiran mereka di kapela karena di dorong oleh perasaan takut karena dinilai oleh Magister atau Ketua Rumah, sehingga mereka hadir di kapela.

Situasi batin yang dialami oleh para frater ini karena para frater belum masuk ke dalam roh doa itu sendiri.

Memang para frater ini masih berada dalam proses belajar mengenal, memahami dan menghayati hakikat doa. Mereka belum menghayati makna doa di dalam dirinya.

Mereka belum secara mendalam masuk ke dalam spirit doa sebagaimana dikatakan oleh Jean Vanier, St. Yohanes dari Salib, St. Augustinus, dan para tokoh pendoa lainnya.

Bagi orang beriman, doa adalah makanan dan minuman jiwa. Demikian juga bagi Jean Vanier, doa adalah tempat (locus) di mana kita dapat menemukan ketenangan jiwa dan kebahagiaan yang tak terucapkan.

Karena di tempat itu, pada saat itu, kita berdiam dan beristirahat di dalam jiwa Allah dan Allah berdiam dan beristirahat di dalam jiwa kita (Bdk. Yoh 10: 9 dan Mzm 23: 2).

Sebagaimana dipantunkan oleh pemazmur pada Mzm 23: 2, ibarat seekor domba yang dibarigkan di atas padang yang beruput hijau, sehingga ia menikmatinya sepuas-puasnya, sesuka hatinya.

Pengalaman Santo Augustinus

Prinsip inilah yang oleh St. Augustinus menyebutnya, ‘Hatiku gelisah sampai beristirahat di dalam Engkau” (My heart is restless until rest in You).

Hati kita selalu gelisah dan gelisah kalau kita belum berdiam dan beristirahat di dalam jiwa Allah dan Allah di dalam jiwa kita. Hati kita pasti bingung dan buyar kalau kita belum berada, berdiam dan bersatu di dalam hati Tuhan Yesus.

Ketika kita masuk, berada, berdiam dan bersatu di dalam hati Tuhan Yesus, kita pasti mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan itu.

Jiwa kita menjadi jenuh, bosan, menjengkelkan karena belum mampu menemukan doa sebagai tempat perjumpaan pribadi antara jiwa insani kita dengan jiwa Ilahi Sang kebahagiaan sejati.

Kita menjadi bosan dan jenuh karena hati kita belum menemukan doa sebagai tempat keheningan dan peristirahatan di dalam Allah.

Oleh sebab itu, kita hendaknya belajar (studiare) dari teladan hidup doa Jean Vanier, St. Augustinus, St. Monika, St. Teresa dari Kalkutta, dll.

Para tokoh pendoa tsb dalam hidup mereka, terus-menerus belajar menemukan doa sebagai tempat “keheningan-kehenungan-kebeningan” dan “keheningan dalam doa atau jiwa yang hening, henung dan bening ketika berada dalam doa agar mampu masuk ke dalam kerbersatuan dengan misteri cinta Allah”.

Kita perlu terus belajar menjadikan doa sebagai tempat keheningan dan peristirahatan jiwa dan keheningan dan keteduhan jiwa dan pikiran pada saat kita berada dalam doa.

Dengan demikian kita mampu menemukan batin/jiwa dan pikiran yang tenang, sejuk, dan bening pada saat-saat kita berdoa (laudes, hora media, vesperae, completorium, meditasi atau doa-doa yang lainnya).

Bila terciptanya suasana seperti yang diuraikan di atas, berarti kita mampu menghadirkan seluruh diri kita atau keberadaan kita di hadirat Allah, sehingga Allah pun berkenan menghadirkan diri-Nya di dalam hati–jiwa kita dan kita di dalam diri-Nya.

Menghadirkan diri berarti membawa diri kita dan membiarkannya hadir di hadapan Tuhan di kapela atau di gereja atau di atas gunung atau di pantai atau di mana saja ketika kita sedang berdoa.

Berdoa itu penting dengan cara meninggalkan kesibukan untuk sejenak bercengkerama dengan Tuhan. (Dok. OSA)

Cara berdoa

Cara berdoa seperti inilah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada para murid-Nya. Salah satu contohnya yaitu ketika Tuhan Yesus mengajak para murid-Nya pergi ke tempat yang sunyi-sepi untuk berdoa.

Cerita ini ada dalam teks Injil Mrk 6: 30 -32. Perikop ini memuat tiga aspek penting sebagai prinsip utama dalam membangun hidup doa yang bermutu.

Ketiga aspek tsb:

  1. Perlu ambil jarak dari keramaian dan kesibukan ke tempat yang sunyi-sepi. Ke tempat yang sepi-sunyi ini bisa berarti ke tempat (lokasi) yang jauh, sepi dan sunyi, tetapi juga berarti tempat di dalam hati yang sepi, yang sunyi (silence).
  2. Sendirian atau seorang diri.
  3. Beristirahat.

Kita perlu mengambil jarak dari kesibukan dan keramaian, baik keramaian kota, kesibukan kerja, kekacauan dalam hati karena persoalan-persoalan atau konflik-konflik yang terjadi. Kita perlu ke tempat yang sepi, sunyi dan tenang, yaitu ke tempat retret, ke kapela, ke gereja, ke kamar tidur, ke lubuk hati dan jiwa kita sendiri.

Karena dengan mengambil jarak dari keramaian hidup dan kekacauan pikiran, kita pasti menemukan keadaan hati/jiwa dan pikiran yang hening, bening, tenang, sejuk dan nyaman serta aman.

Dengan demikian hati dan pikiran kita mampu menangkap, memahami, menghayati dan menyatu ke dalam hadiran Tuhan dan mampu pula belajar melaksanakan kehendak-Nya.

Demikian pula karena dengan terciptanya ketenagan hati/jiwa dan pikiran, kita dapat mampu melihat dan mendengarkan apa yang Tuhan ajarkan dan wejangkan kepada kita.

Tentang aspek kesunyian, kesendirian dan istirahat ini, digarisbawahi oleh Romo Maximilian Kerit CSE melalui empat unsur yang perlu dipraktikannya (Hidup Dalam Roh, Majalah Rohani Katolik, Mei-Juni 2011):

  1. Membangun hidup di hadirat Allah melalui doa meditasi dan kontemplasi yang konstan.
  2. Menyediakan waktu-waktu khusus untuk doa meditasi dan kontemplasi.
  3. Doa yang tak kunjung putus.
  4. Berani memasuki keheningan-kesunyian-kesendirian.

Santa Teeresa dari Kalkutta mengatakan, “Kita butuh mencari Tuhan, dan Dia tidak dapat diketemuan dalam kebisingan dan ketergesaan, Tuhan adalah sahabat dari keheningan. Lihatlah pepohonan, bunga, rumput – mereka tumbuh di dalam keheningan, lihatlah bintang, bulan dan matahari – bagimana mereka bergerak dalam keheningan… Kita membutuhkan keheningan agar Tuhan dapat menyentuh jiwa kita”.

Ketika kita sendirian atau seorang diri, kita dengan sungguh-sungguh membangun suatu hubungan yang intim, mesra, khusuk dan mendalam dengan Tuhan. Hanya dalam suasana kesendirian itulah Sang Misteri bersatu atau berkomunio dengan kita.

Lalu terciptalah saat (moment or timing) yang sangat berharga, sangat berarti yaitu terjadinya puncak pengalaman persatuan dalam peristirahatan Ilahi (mistik).

Inilah pucak kesatuan yang mengelegar, yang mengetarkan dan mengasyikkan.

Melalui pengalaman puncak persatuan ini melahirkan sikap-sikap iman sejati di dalam diri kita.

Misalnya komitmen untuk setia kepada Tuhan melalui janji kaul atau imamat atau perkawinan yang telah diikrarkan oleh kita sendiri. Sikap berani membela hak-hak orang kecil yang dirampas oleh yang berkuasa.

Sikap berani mengampuni sesama yang berkonflik dengan kita, dll.

Demikianlah hasil refleksi atas hakikat keheningan dalam doa dan doa keheningan menurut Jean Vanier.

Semoga refleksi ini membantu kita memperdalam dan perkaya hidup doa kita.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here