Belenggu Masa Lalu

0
214 views
Ilustrasi -- Bertobat tinggalkan masa lalu yang kelam (Ist)

PENGAMPUNAN ternyata tidak cukup dengan tujuh kali, melainkan harus tujuh puluh kali tujuh. Satu demi satu telah sumare, beristirahat di dalam tanah, dalam damai berkat pengampunan Reva: bapak, ibu, dan Birawa.

Kelihatannya hitungan tujuh puluh kali tujuh belum terlampaui. Masa lalu kelabu harus dikuak, karena ternyata membebani dan membelenggu masa kini.

Kisah kelam ibu, tetap membayangi Reva lewat Hera.

Perjalanan pulang ziarah ke Cilacap dengan mampir di Pantai Glagah, pantai selatan sebelah barat Yogyakarta, menikmati udara pantai siang yang tidak nyaman selain menenggak es degan, es kelapa muda sebagai pelepas dahaga.

Perjalanan berlanjut dan singgah untuk menikmati nasi gudeg Yu Djum di Wijilan. Nasi hangat, dhadha menthok empuk, sayur nangka muda yang legit, sambel goreng krecek ‘kerupuk kulit’ yang kenyal, dengan nyeplus, menggigit cabai rawit matang secara utuh, membuat mata membelalak dan kantuk pun sirna.

Napas lega Reva hanya bertahan seminggu. Ia harus menjalani etape berikutnya. Sesak napas dan badan terasa terhempas terjadi senja ketika tersiar kabar Hera “menghilang”. Gelagat gelisah sudah teramati sejak pulang dari Cilacap.

Ada tanya bergelayut soal hubungan Hera dengan Romo Nico, kaitannya dengan suaminya. Apakah “menghilangnya” Hera ada kaitannya dengan itu.

Rumah singgah “Bait Damai Wanodya” yang dihuni Hera bersama Mbak Wied, dan selalu ada dua tiga mahasiswa yang magang atau menjadi relawan, kadang ada juga korban kekerasan terhadap perempuan yang ditampung di shelter ini.

Suasana rumah itu biasanya regeng. Rumah itu juga selalu dalam pantauan polisi. Sejak siang rumah itu sepi. Tukang bakso “Bagong” yang biasa mangkal di depan rumah itu mengatakan bahwa sejak siang sampai senja memang sepi.

Tak ada satu pun penghuni rumah yang keluar dan membeli baksonya. Sarno Bagong, penjual bakso itu, memang juga mendapat tugas ngawat-awati rumah singgah sekaligus kantor ”Bait Damai Wanodya”.

Mbak Wied sudah dua hari tidak di rumah, karena mengikuti pertemuan psikolog untuk melaporkan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh LSM yang dikelolanya.

Ada saksi mata yang mengatakan bahwa sekitar pukul 17.00 ada mobil yang masuk ke halaman rumah, tanpa mematikan masin mobil, langsung pergi.

Kamera CCTV ternyata mati, sehingga tidak ada gambaran mobil dan nomer kendaraan yang terekam, termasuk apa yang terjadi saat itu. Rekaman CCTV terakhir pukul 16.49.52.

Bertepatan dengan itu Sarto Bagong sedang mengantar pesanan 20 bungkus bakso ke tempat lain dan menitipkan motor baksonya kepada saksi mata yang sedang menikmati bakso tersembunyi di balik rombong baksonya.

Bukan hanya Reva, polisi pun ikut judheg. Dalam olah TKP terdapat sepertiga mie kuah dalam mangkok yang belum dimakan, dua potong kerupuk utuh tertumpuk dan setengah seperti bekas digigit di dekatnya yang sudah melempem, setengah gelas teh yang mendingin, kursi yang terjengkang, kamar berantakan, tetapi tidak ditemukan barang yang hilang, hanya tas yang biasa dipakai Hera berikut dompet dengan identitas lainnya tidak ditemukan.

Tidak ada bukti kekerasan, seperti ceceran darah atau gorden yang terkoyak karena ditarik. Pintu depan rumah tertutup dengan kunci masih menggantung di balik pintu.

Berbagai pikiran negatif berseliweran dalam benak Reva.

Apakah Hera tidak suka dan tertekan bersamanya? Apakah ia marah karena kekangan Hera, tidak leluasa pegang HP dan uang?

Apakah Hera ngambek? Apakah Hera kembali ke hidup liarnya? Apakah hiperseks Hera kumat? Apakah Hera diculik sindikat narkoba yang membencinya? Bagaimana kalau Hera dibunuh?

Bagaimana kalau Hera tak tertolong? Apakah dan bagaimana berseliweran dalam benak Reva. Pukul 22.02 ada telepon di RS. Pesan untuk Reva agar menyediakan uang Rp 800 juta bila ingin Hera balik dengan selamat.

Resepsionis berlari menggedor kamar Reva untuk memberitahukan hal itu. Reva tidak ada di kamarnya. Ia sedang piket di ruang perawatan. Ketakutan dan kepanikan resepsionis membangunkan penghuni lainnya.

Malam itu juga Hera menghubungi polisi. Tetapi polisi kesulitan melacak keberadaan penelepon, karena mereka menghubungi menggunakan telepon kabel.

Pagi itu rumah singgah sedang menangani kasus seorang ibu yang mencari anaknya. Karena panik memiliki anak hasil nikah sirinya dengan seorang sopir yang menghilang begitu tahu Dahlia hamil, ia menyerahkan bayi yang baru berumir 21 hari itu kepada tetangga yang mengantarkannya kepada seseorang. Dan mereka bersama-sama mendatangi rumah Bapak Suhanda.

Seperti dihipnotis Dahlia menyerahkan anaknya dan menandatangangi surat penyerahan dan pernyataan tidak akan menuntut dan menunjukkan hubungan darah dengan bayi yang diberi nama Ramadan Rahardian.

Bahkan ia menerima uang yang tidak tahu berapa banyak, karena uang itu sebagian diambil tetangga dan orang yang mengantarnya. Begitu pulang ke rumah dan dadanya membengkak penuh susu, ia seakan sadar bahwa ia telah ”membuang” anaknya.

Dua kali ia kembali ke rumah Pak Suhanda, tetapi diusir oleh penjaga rumah yang seram. Ia melaporkan ke polsek terdekat, tetapi tidak ada tanggapan, apalagi Pak Suhanda terkenal sebagai tokoh masyarakat yang kaya, terpandang, dan disegani.

Ketika sedang menangis karena judheg di pojok SPBU, dia diantar sopir becak ke rumah singgah ”Bait Damai Wanodya”.

Dahlia diantar Renita ke Polres Kabupaten dan didampingi 4 tim PPA yang selama ini telah mencurigai usaha Pak Suhanda yang tidak jelas dan tertutup.

Rumahnya yang bagai kastil di lembah menjadi semakin terpencil, tetapi ia adalah penyumbang terbesar kalau ada kegiatan warga, seperti Tujuh Belasan, peringatan Kemerdekaan RI, halal bihalal saat Idul Fitri, dan dua ekor sapi saat Idul Adha.

Bahkan memberi sumbangan yang besar saat membangun masjid di kampung itu dan pengecoran jalan desa.

Di rumahnya itu memang tampak ada usaha menggergajian kayu dan mebel. Tapi yang paling sering justru hilir mudik perempuan dan bayi yang cukup mencurigakan.

Pak RT tidak berani diajak mendatangi rumah megah itu. Terpaksa PPA menelepon kepala desa dan personal di Polsek terdekat untuk mendampingi mereka.

Ternyata di bagian belakang rumah ada kamar-kanar seperti kos-kosan yang berisi perempuan yang rata-rata sedang hamil, ada 8 perempuan hamil.

Selain itu ada ruangan seperti aula dengan boks bayi yang berisi 7 anak lelaki, 4 anak perempuan, dan delapan boks kosong.

Hari itu Polres Kabupaten berhasil menyingkap dan mengungkap sindikat perdagangan orang. Aiptu Renita menuntun Dahlia untuk mencari bayinya di antara tujuh bayi laki-laki.

Salah satu bayi menangis amat kencang dan Dahlia seperti dituntut tangan tak kasat mata menghampiri bayi itu. Dan bayi itu benar Ramadan Rahardian. Tembong, tompel, di balik telinga kirinya merupakan penanda yang dikenali ibunya.

Begitu anak itu diangkat dari boks, ia terdiam dan bersembunyi di balik ketiak ibunya. Dahlia pun tersenyum dengan mata memburam penuh air mata syukur dan bahagia. Ia bisa menemukan anaknya kembali.

Renita sadar ada yang masih mencurigakan. Ada satu kamar yang terkunci dan gorden tertutup di pojok paling selatan deretan kamar para perempuan hamil. Dengan bantuan temannya, polisi lelaki, Bripka Ganang, Renita mendobrak kamar itu.

Begitu lampu kamar dinyalakan, tampak di sudut ada perempuan meringkuk berpakaian cadar hitam. Renita mendekat, tetapi perempuan itu berteriak ketakutan.

”Jangan paksa aku. Aku tidak mau. Jangan siksa aku,” teriakan ketakutan itu menyadarkan Rennita bahwa ia mengenal suara itu.

”Hera, ini Mbak Renita.”

Renita mendekat.

Seketika Hera berdiri dan memeluk Renita, ”Selamatkan aku Mbak. Lelaki itu menculik aku dan akan menjual aku ke Arab untuk membayar utang ibuku pada masa lalu.” cerita Hera ditingkahi isak tangis takut dan lega.

”Mari kita pulang. Mbak Reva tentu senang kau bisa ditemukan.”

Renita menuntun Hera keluar dari kamar itu diiringi Bripka Ganang.

Ketika konferensi pers, Kapolres dengan bangga melaporkan pengungkapan sindikat besar perdagangan orang. Atas permohonan LSM ”Bait Damai Wanodya”, kasus Hera tidak ikut dilaporkan, sehingga Hera terbebas dari pemberitaan.

Namun tidak cukup sampai di situ, akibat penculikan dan pemerkosaan terhadap Hera selama diculik, kehiperseksan Hera kambuh. Ia harus menjalani serangkaian perawatan dan pendampingan lagi.

Perjalanan hidup damai Reva masih harus melewati jalan bergelombang dan penuh lumpur seperti jalan di pedalaman Kalimatan, tempat perkebunan karet dan sawit yang akan dikunjungi Reva dengan awang-awangen, gamang dan malas karena takut.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here